Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Sebuah Piano Tua

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehidupan itu bermula dari sebuah piano tua peninggalan seorang Belanda. Melalui piano yang dibelikan orang tuanya, Andi kecil, yang berusia tiga tahun, mendengarkan musik yang meluncur dari jari-jari kakaknya, Martani Widjajanti. Dialah guru pertamaAnanda Sukarlan yang kini telah mengajak dunia bernapas dengan musik. Pianis tingkat dunia, sepuluh jari Ananda yang berdansa di atas piano yang memainkan Piano Concerto No. 1 Opus 15, seperti kata pianis Laksmi Pamuntjak-Djohan, memberikan ”rasa aman kepada pendengarnya”. Rasa aman, masih menurut Laksmi, yang berlandaskan pada keutuhan motif dan kejelasan arah dan tujuan hampir semua karya pianistik Beethoven. ”Rasa aman bahwa, sebagai penerjemah utama Beethoven, dialah yang mengontrol, dan bukan dikontrol, musik yang dimainkannya,” demikian ditulis Laksmi Pamuntjak dalam ulasan mengenai pergelaran Ananda Sukarlan pada ”Malam Beethoven”. Lahir pada 10 Juni 1968 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, setelah lulus pada 1986 Ananda belajar piano di Sekolah Musik Walter Hautzig di Harford, Connecticut, Amerika Serikat. Setahun kemudian, ia meraih beasiswa untuk bersekolah di Fakultas Piano Koninklijk Conservatorium, Den Haag. Melalui jenjang S1 dan S2 dengan predikat summa cum laude, Andi pun didukung para seniman klasik Belanda untuk mengikuti Kompetisi Musik Nasional Belanda, Eduard Elipse Award, di Amsterdam pada 1988. Kompetisi inilah pintu Ananda menuju kesuksesan internasional. Masyarakat musik klasik di Eropa menoleh pada orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang meraih penghargaan itu. Dia pun tampil di gedung-gedung konser paling bergengsi di Eropa seperti Concertgebouw di Amsterdam, Philharmonie Berlin Auditorio Nacional di Madrid, Rachmanicov Hall di Moskow, atau Queen’s Hall di Edinburgh. Para pemusik senior tak ragu menjulukinya sebagai a brilliant young Indonesian pianist. Berbagai penghargaan yang diterimanya di Prancis, Spanyol, dan Belanda kian melontarkannya ke papan atas pianis dunia. Tak ada yang meragukan ketika dia menjadi orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang masuk dalam The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century. Buku ini memuat riwayat hidup 2.000 orang di dunia yang berdedikasi dalam bidang musik. Sebelumnya, dia juga dicatat dalam International Who’s Who in Music dan Guinness Book of Records atas keberhasilannya membawakan 38 karya baru dalam Festival Musik Modern di Alicante, Spanyol, 1995. Di tahun 2001 ini, Ananda Sukarlan mendentingkan keberhasilan di awal 2001 dengan terpilih sebagai nominee Unesco Prize, penghargaan bergengsi bagi pemusik yang dianggap sukses memperkenalkan musik negaranya di tingkat dunia. Sayangnya, dia tampil mewakili Spanyol—tempat tinggalnya sejak enam tahun lalu—dan bukan Indonesia. Dan ini mengundang pertanyaan dari sekelompok musisi Indonesia. ”Saya berkembang di sini sehingga saya lebih kenal musik Spanyol daripada Indonesia,” katanya kepada TEMPO melalui sambungan internasional. Dengan terus terang pula dia mengatakan bahwa iklim di Tanah Air tidak cukup sejuk untuk para pianis sehingga dia memilih berkiprah di negeri orang. Di Eropa, para pianis mendapat bayaran sangat baik sehingga bisa berkarya dengan tenang tanpa memikirkan ”cari makan” seperti di Indonesia. Pendapatannya sekali tampil di luar negeri adalah US$ 5.000 hingga US$ 10.000, yang tak mungkin diperoleh di Indonesia. Karena itulah, lazimnya di Indonesia Ananda lebih sering melakukan pertunjukan untuk tujuan amal. Meski akhirnya tak berhasil meraih Unesco Prize, ia tak terlalu risau. Maklum, ia sedang sibuk mengelus-elus karya operanya berjudul Flash Gordon. Dalam opera ini, Ananda mengutamakan piano sebagai bunyi utama. Jika agenda konsernya terus sepadat sekarang, dia merasa baru bisa menuntaskan karya ini dalam sepuluh tahun. ”Kecuali kalau saya mengambil sabbatical year dengan hanya mengerjakan opera ini,” tuturnya. Tampaknya opera itu baru akan selesai dalam waktu lama karena di tahun 2002 jadwal Ananda sudah penuh. Dia sudah siap menggelar konser bersama komponis besar Prancis, Pierre Boulez, di 11 kota, mulai Helsinki, Oslo, Santiago, Paris, sampai Jakarta. Dia juga siap berkeliling ke Austria dan Denmark untuk menampilkan resital piano tunggalnya. Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus