Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cara Kuno Menindas Hamas

Tekanan ekonomi terhadap Palestina makin nyata setelah Ismail Haniyah terpilih. Mencari alternatif dan memerangi korupsi.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERPILIHNYA Ismail Haniyah sebagai Perdana Menteri Otoritas Palestina membuat Barat dan Is-rael- makin pitam. Maklum, dari tiga kandidat perdana menteri, bisa dibilang Haniyah satu-satunya ahli waris ”darah biru”: orang terdekat Syaikh- Ahmad Yasin—pendiri Hamas.

Meski Haniyah dikenal moderat, tetap saja Israel dan para pengekornya mencap Haniyah sebagai bagian dari kelompok teroris. Janji Hamas merangkul tokoh-tokoh moderat dan para teknokrat dalam kabinet baru—yang harus terbentuk dalam lima minggu ini—tak mereda-kan kegusaran lawan.

Tambahan pula, menjelang pemilihan umum Israel, 8 Maret, suhu politik di negeri Yahudi itu makin panas. Tekanan untuk bersikap keras terhadap Palestina, kepada penjabat sementara Perdana Menteri Ehud Olmert, juga kian terasa.

Senjata kuno—tapi ampuh—itu pun digunakan: tekanan ekonomi. Israel mulai menahan dana US$ 50 juta, yang selama ini setiap bulan mereka setorkan- kepada Otoritas Palestina, sesuai de-ngan- perjanjian 1990. Uang dari pungut-an pajak dan bea lainnya itu setara de-ngan seper-tiga anggaran Palestina, dan dipakai menggaji 140 ribu pegawai, 57 ribu di antaranya di bidang keamanan.

Amerika Serikat juga makin nyata- me-nindas Palestina. Menteri Luar Nege-ri Condoleezza Rice berkunjung ke nege-ri-negeri di Timur Tengah, merayu peme-rintah di sana agar menahan bantuan Palestina kecuali bagi kepentingan kemanusiaan. Tapi, di Mesir dan Arab Saudi, rayuan Rice itu ditampik telak.

Amerika juga meminta Palestina me-ngembalikan dana US$ 50 juta yang be-lum digunakan namun sudah dialoka-sikan untuk proyek infrastruktur. Departemen Keuangan negara adidaya itu juga membekukan aset milik KindHearts, organisasi nonpemerintah yang membantu Hamas.

Ketergantungan Palestina pada bantuan dari luar, termasuk Israel, memang sangat besar. Menteri Keuangan dan Perdagangan Palestina, Mazin Sonnoqrot, mengatakan negaranya membutuh-kan US$ 2,2 miliar-2,5 miliar untuk pembangunan.

Sekitar US$ 1 miliar mereka peroleh da-ri perdagangan dengan Israel. Sisa-nya, US$ 1,5 miliar, dari negara donor, se-per-ti negara-negara maju dalam Ke-lompok Delapan, dan negara-negara Arab.

Bank Dunia memperkirakan, pertumbuhan riil produk domestik bruto di Tepi Barat dan Gaza pada 2005 mencapai 8-9 persen. Fiskal negara ini memburuk dengan defisit anggaran mencapai US$ 800 juta pada 2005. Dari jumlah itu, US$ 340 juta ditutup negara donor berbentuk dana langsung. Sisanya diperoleh dari bank dengan beragam skema pinjaman.

Untuk 2006, Dana Moneter Internasional memperkirakan defisit keuangan Palestina naik menjadi US$ 940 juta, atau hampir 19 persen dari produk domestik bruto. Jumlahnya tidak akan berkurang pada 2007-2008. Dengan kondisi seperti ini, Palestina terpaksa mencari bantuan lebih banyak lagi.

Perkiraan ini, tentu, membuat Hamas makin cemas. Apalagi, perekonomian- Palestina sebenarnya sudah sakit ber-kepanjangan. Krisis terparah terjadi pada 2000-2002: pendapatan produk bruto turun sampai 36 persen.

Pada 2003-2005, ada perbaikan bertahap dengan pertumbuhan ekonomi tujuh persen per tahun, tapi masih di bawah potensi maksimal yang bisa mere-ka capai. Dibandingkan dengan pada 1999, pertumbuhan ekonomi Palestina pada 2000-an masih 30 persen lebih rendah.

Pembatasan gerak—dengan penjagaan ketat dan dibangunnya dinding-dinding- pemisah—yang diberlakukan Israel meng-hambat arus distribusi berbagai barang dan jasa. Peneliti ekonomi Palestina, Jamil al-Abbasi, dalam sebuah studinya mengungkapkan blokade Israel terhadap bahan mentah untuk produksi yang dibutuhkan Palestina, yang dilakukan sejak 1967.

Pada 2000-2003, pertumbuhan ekonomi turun drastis. Kemiskinan mencapai 60 persen, pengangguran naik hingga 50-56 persen. Utang naik dari US$ 607 juta pada 2000 menjadi US$ 1,2 miliar pada 2003. Uang Palestina yang dibekukan Israel mencapai US$ 190 juta. Selama tiga tahun, kerugian Palestina akibat tekanan Israel mencapai US$ 13,9 miliar.

Badan Pembangunan dan Perdagang-an PBB (UNCTAD) melaporkan, ekonomi Palestina hancur akibat pemblokiran jalan, penggusuran rumah dan tanah pertanian, perusakan sumber air, penerapan jam malam, dan penyitaan tanah milik warga Palestina untuk- pem-bangun-an perumahan Yahudi-. Panen- -zaitun, salah satu produk utama per-tanian Palestina, kini anjlok lebih dari 80 persen.

Bank Dunia memperkirakan, hingga 2012 sulit bagi Palestina mencapai le-vel pendapatan per kapita hingga seperti sebelum gerakan intifadah (1987). Soalnya, kondisi sosial-ekonomi tidak stabil dan angka pengangguran tinggi.

Data kuartal ketiga 2005 menunjukkan rata-rata angka pengangguran men-capai 23 persen, dua kali lipat sebelum me-rebaknya intifadah. Masih ditambah ke-bobrokan internal, seperti korupsi di berbagai jenjang pemerintahan, yang makin menggurita.

Suka atau tidak, Hamas sadar tak ha-nya berhadapan dengan Israel, tapi juga dengan negara-negara yang selama ini menjadi donor tetap. Tapi, Perdana Menteri Haniyah, Senin pekan lalu, menyatakan penalti ekonomi tak akan berdampak banyak. ”Mempersulit dana bantuan untuk menekan Palestina adalah trik lama,” katanya.

Haniyah yakin punya banyak alternatif lembaga donor, seperti negara-nega-ra Arab, Islam, Ikhwanul Muslimin, dan anggota masyarakat internasional. Hamas akan memanfaatkan jaringan in-formal, zakat dunia Islam dari berba-gai negara, pebisnis Islam, atau sa-lur-an tak resmi, yang bisa mem-bawa uang tunai ke Palesti-na. Liga Arab, misalnya, menyu-mbang Rp 462 miliar per bulan.

Jika Hamas mampu membe-ran-tas korupsi warisan peme-rintahan lama, bisa saja simpati dari luar semakin besar. Selain itu, Kuartet—pihak-pihak yang mengawal pelaksanaan Peta Per-damaian, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia—juga harus hirau terhadap kelangsungan perdamaian di Timur Tengah. Atau, mereka membiarkan Palestina tidak punya pilih-an—kecuali kekerasan.

Leanika Tanjung (The Economist, The Daily Star, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus