Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Delta Emas di Tepi Sungai

Tanah milik Kedutaan Besar Indonesia di Korea Selatan menjadi incaran pengusaha. Tawaran menggiurkan silih berganti.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN empat lantai itu t-erletak di 55 Yeouido-dong, Yeongdeungpo-gu, Seoul. Umur-nya se-kitar 30 tahun. Diapit jalan u-ta-ma yang menghubungkan Ko-ta Seoul dengan bandar udara, dan su-ngai yang membelah Korea Selatan. Tiap sekitar sepuluh meter jembatan me-lin-tasi sungai.

Bangunan pencakar langit bertebar-an di sekitarnya. ”Tempatnya istimewa, t-a-nahnya berbentuk delta kecil, view-nya- bagus,” kata Yasril Ananta Baharud-din, politisi Golkar, menggambarkan ke-is-ti-mewaan lahan Kedutaan Indonesia di- Ko-rea Selatan, yang tiga kali dikunjunginya.

Belakangan, kompleks kedutaan yang meliputi tiga bangunan itu menjadi pusat- perhatian. Pemicunya adalah surat Sek-re-taris Kabinet, Sudi Silalahi, pada 20 Ja-nuari dan 21 Februari 2005. Surat itu ber-isi permintaan agar dua perusaha-an, PT Sun Hoo dan PT Coin Nusantara, menjadi pelaksana renovasi kompleks itu.

Lewat perjalanan waktu, kawasan itu menjadi sentra bisnis dan pemerintahan, sejak 1980-an. Gedung-gedung pencakar langit, pasar, mall, perkantoran, sekolah, bahkan rumah sakit, kini ”berkumpul” di sana. ”Daerah itu seperti Tham-rin, Cempaka Putih, Pondok Indah, atau Kuningan di Ja-karta,” kata R.K. Sembiring Me-liala, anggota Komisi Bidang Luar Negeri DPR.

Dulu, pada 1974, Yeongdeungpo-gu kawasan sepi. Itulah saatnya pemerintah- Korea Selatan meminta kedutaan asing- pindah ke kawasan itu. Hanya almar-hum Sarwo Edi Wibowo, duta besar In-do-nesia pada waktu itu—dan mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—yang berminat.

Duta besar periode 1973-1978 itu kemu-dian membeli tanah yang harganya masih relatif murah. Pada awal 1974 Sarwo Edi membangun bagian utama gedung bertingkat empat. Wisma Kedutaan di-bangun tujuh lantai di belakang gedung- utama, dihubungkan bangsal yang ber-dekatan dengan bangunan dua lantai—tempat tinggal duta besar.

Pada 1980-an kawasan itu berkembang gesit. Pengusaha Korea Selatan dan Indonesia mulai melirik tanah kedutaan ini. Gerilya untuk mendapat-kannya mu-lai dilakukan para pengusaha. Perusaha-an Korea umumnya menjalin kerja- sa-ma dengan mitra dalam negeri dan membentuk konsorsium. Ada pula yang meng-gandeng penghubung saja.

Pengusaha lokal dan penghubung ber-tugas melobi para pejabat agar peme-rintah dan kedutaan bersedia men-ukar guling ”lahan emas” itu. Sasaran mere-ka anggota parlemen, pejabat De-partemen Luar Ne-geri, pejabat kedutaan, atau petinggi Istana Negara.

Semasa pemerintahan Abdurrahman Wahid, pengusaha ”amatiran” ini sudah wi-ra-wiri mendekati pemerintah dan anggota DPR. Mereka mulai mengajukan proposal menjelang akhir jabatan Duta Besar Jauhari Kartaatmadja. Tawaran ke kedutaan makin gencar ketika posisi duta dipegang Abdul Ghani.

Sembiring Meliala, yang menjabat wakil Ketua Komisi Pertahanan dan Ke-amanan perio-de 1999-2004, menga-ku pernah di-titipi proposal dua peng-usaha Korea pada sekitar akhir 2002. Anggo-ta Dewan dari Fraksi PDI Perjuangan ini meneruskan proposal itu ke rekannya- di Komisi Luar Negeri. ”Nama perusa-ha-an-nya tak perlu saya katakan,” ujarnya.

Yasril Ananta menambahkan, dia ju-ga pernah menerima ”titipan” seperti itu. Pada awal 2003, beberapa anggota Ko-misi Pertahanan bahkan mendapat tiket perjalanan ke Korea. Bersama keluarga, mereka sempat ke rencana relokasi kompleks kedutaan. ”Dana kunjungan, ya, dari pengusaha itu,” ujar sumber yang tak mau dikutip namanya.

Soal dana ini dibantah Yasril Anan-ta dan Sembiring Meliala, yang ikut da-lam rombongan. Yasril mengatakan, itu resmi kunjungan Komisi Pertahan-an, de-ngan biaya Dewan. Sedangkan Sembiring mengaku kunjungan itu menggunakan biaya pribadi dan dana dari Departemen Luar Negeri.

Namun upaya lobi ke pemerintah tak berjalan mulus. Tekanan Komisi Perta-hanan ke Departemen Luar Negeri g-a-gal merontokkan hati Menteri Hassan Wi-rajuda maupun Duta Besar Abdul Ghani. Pada masa pemerintahan Megawati, Abdul Ghani mengaku jengkel ber-urusan dengan para pengusaha itu. ”Gagal lewat saya, malah melalui sekretaris pribadi saya,” ujar Abdul Ghani.

Pendekatan para pengusaha ini bahkan sampai ke Megawati Soekarnoputri. Wakil Ketua PDI Perjuangan, Pramono Anung, sempat menyampaikan propo-sal itu. Tapi Megawati menolak. ”Alah, tidak ada urusan,” kata Pramono Anung, menirukan jawaban Mega.

Ada ratusan pengusaha yang tertarik pada lahan itu. Tapi hanya puluhan yang ngotot mendapatkannya. Biasanya,- peng-usaha-pengusaha ini mengaku telah mendapat persetujuan pejabat.

Cara lain yang ditempuh ialah membawa anggota Dewan, seperti kunjung-an DPR pada awal 2003 lalu. ”Orangnya itu-itu saja, perusahaannya yang bergan-ti,” kata Abdul Ghani. Ia mengaku tak tahu apakah orang-orang yang sama ber-ada di belakang PT Sun Hoo.

Pada masa awal jabatan Ghani, tawar-an tukar guling disampaikan dua kali oleh para pengusaha. Relokasi yang ditawarkan berbeda-beda. Tempat pertama berbentuk segi tiga dan sempit, di dekat lokasi sekarang. Tempat lainnya di kawasan pinggiran, daerah perbukit-an yang aksesnya susah. Tawaran itu me-nemui jalan buntu.

Ada juga pengusaha yang menawarkan ”pemekaran” gedung empat lantai- itu menjadi 23 lantai. Lantai bawah akan digunakan untuk kegiatan bisnis, bagian atas untuk kedutaan. Tapi, ketika berkunjung ke Korea Selatan, Presi-den Megawati Soekarnoputri melarang penjualan aset negara.

Dua bulan lalu, Hilman Rosyad Syi-hab- juga menerima proposal dari satu per-usahaan Korea, PT Myung Sun Enginering Corp Ltd. Anggota Komisi Per-tahanan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini mengaku memperoleh i-ming-iming uang. ”Saya sempat dihubungi dua kali, tapi sekarang sudah tidak lagi,” katanya.

Tak pasti alasan bermunculannya pro-posal itu. Padahal pekan lalu Departemen Luar Negeri membantah sudah memiliki rencana renovasi. ”Sejak dulu be-lum pernah ada,” kata juru bicara Menteri Luar Negeri, Yuri Thamrin.

Namun Jacob Tobing mengaku pernah memberikan angin segar bagi pengusaha. Duta Besar periode 2003-2006 ini pernah menyampaikan usul renovasi kedutaan ke Departemen Luar Ne-ge-ri. Setelah itu Departemen Luar Nege-ri menerima banyak proposal.

Salah satu yang tertarik dengan rencana renovasi ini adalah Seno Adji, adik kandung Setiawan Djody. Ia menggaet kontraktor Dawoo Construction, d-engan ujung tombak mantan komisaris PT Coin Nusantara Gas, Welly Ma-ningkas. Mereka memakai bendera PT Indokor Langowan Gemilang.

Purwanto, Budi Setiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus