Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung pengadilan di jantung Kota Wina seakan menghadapi perkara mahapenting. Di mana-mana tampak polisi bersenjata lengkap. Tak biasanya, balkon untuk pengunjung pun dikosongkan. Pengadilan seorang teroris kelas dunia-? Si pesakitan seorang sejarawan. Pria warga Inggris, kulit putih, usianya 68 tahun. Ia mengenakan jas lengkap, ta-ngan-nya yang diborgol memegang buku tebal, Hitler’s War.
Jaksa mendakwa: Irving mengingkari sejarah pembantaian enam juta warga Yahudi yang populer dengan isti-lah holocaust. Berdasarkan undang-undang pidana Austria, pengingkaran itu merupa-kan tindakan kriminal. Dan buku-nya, salah satu dari 30 buku yang ia tulis tentang rezim Nazi. Di situ, Irving menyebut diktator Nazi Adolf Hitler tak tahu-menahu tentang pembunuhan warga Yahudi yang terjadi hingga 1943. Hitler tak pernah memerintahkan holocaust, tulisnya.
Itulah buku yang mengukuhkan Irving- sebagai sejarawan revisionis tentang- pem-bantaian warga Yahudi di seantero Eropa menjelang akhir Perang Dunia II. Bahkan sejarawan Amerika keturunan Yahudi, Deborah Lipstadt, dalam bukunya menjuluki Irving sebagai ”salah seorang juru bicara penyangkal holocaust paling berbahaya”.
Irving naik pitam dan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan di London, Inggris, pada 2000. Tapi gugatannya ditolak, dan Irving bangkrut karena harus membayar mahal pengacaranya. Sebelumnya, hamba wet Jerman telah meminta Irving diekstradisi. Kali itu berkaitan dengan ucapannya pada 1996. Ia dituduh mengumbar pernyataan rasial dengan mengingkari holocaust, se-suatu yang dalam undang-undang Jerman merupakan tindak kriminal.
Tapi bukan karena buku itu Irving diseret ke hadapan majelis hakim yang dipimpin Peter Liebetreu di Wina. Irving- ditahan pada November tahun lalu ketika ia nekat pergi ke Austria untuk- memberikan kuliah bagi perkumpulan maha-siswa ultrakanan. Padahal aparat hukum Austria sudah mengeluarkan perintah penangkapan sejak 1989. Dia ditangkap polisi lalu lintas di Styria, provinsi selatan Austria, pada November tahun lalu.
Surat penangkapan itu dikeluarkan karena ia memberikan ceramah dan wawancara yang menyangkal keberadaan kamar gas di kamp maut di Auschwitz, Polandia. Dakwaan jaksa- setebal 22 halaman berisi bukti pernyataan Irving dalam ceramah itu, termasuk klaimnya tentang pembunuhan sistematis Nazi terhadap enam juta orang Yahudi sebagai hal yang sangat tak masuk akal.
Sidang pengadilan ini berakhir de-ngan- antiklimaks. Sebelum pengadil-an, ia menyatakan dirinya bukan pe-nyang-kal- holocaust. Irving berubah. Kisah berikutnya selama tujuh jam persidang-an mudah ditebak. Ia menjawab semua pertanyaan hakim dan jaksa dalam bahasa Jerman yang lancar yang berujung pada pengakuan bersalah. ”Saya membuat kesalahan ketika saya mengatakan tak ada kamar gas di Auschwitz,” ujar-nya.
Irving mengakui, ceramahnya pada 1989 menyangkal Nazi Jerman membunuh jutaan warga Yahudi. Tapi pada 1991 ia melihat berkas pribadi Adolf Eichmann, orang yang paling bertanggung jawab terhadap eksekusi holocaust. Sejak itu, kata Irving, dia melepas keyakinannya. Ia mengakui adanya kamar gas di kamp konsentrasi. ”Nazi membunuh jutaan orang Yahudi,” ujarnya. Tapi ia tak tahu jumlah persis orang Yahudi yang tewas. Dalam bukunya Irving menyatakan klaim enam juta orang Yahudi tewas adalah jumlah yang dibesar-besarkan. Tapi, ketika ia ditanya apa-kah ia mengakui keberadaan holocaust? ”Saya menyebutnya tragedi orang Yahudi pada Perang Dunia II.”
Tapi toh pengakuan bersalah Irving tak mampu meyakinkan tiga hakim dan enam juri. Pengadilan memvonis Irving tiga tahun penjara, tujuh tahun lebih ringan dari hukuman maksimal 10 tahun. ”Kami tak melihat bukti bahwa ia mencoba kembali ke Austria untuk me-nga-takan: saya sudah mengubah sikap dan membuktikan bahwa dia kini orang yang berbeda,” ujar hakim Liebetreu.
Irving lemas. Ia tak mengira peng-aku-annya justru diganjar hukuman penjara. ”Tentu ini soal kebebasan berbicara. Hukum sudah dikangkangi,” ujar Irving. Pengacaranya, Elmar Kresbach, meng-ajukan banding dan berharap memperoleh hukuman lebih ringan. ”Ceramahnya terjadi 17 tahun lalu. Ia warga negara Inggris, dia tak hidup di Austria, ia berusia 68 tahun. Ia sejarawan yang ter-kenal. Ia tidaklah berbahaya, khususnya di Austria,” ujar Kresbach.
Kasus Irving segera menjadi perdebatan panas tentang kebebasan berbicara yang diakui konstitusi kebanyakan negara Eropa. Apalagi masih terasa bara panas kontroversi publikasi kartun Nabi Muhammad oleh koran Denmark. Betapapun kartun itu dianggap sebagai penghinaan bagi umat Islam yang kemudian menimbulkan gelombang protes di seluruh dunia, sejumlah koran di Ero-pa dengan dalih ”kebebasan berbicara” memuat kembali kartun itu. Tapi, jika menyangkut holocaust, itu soal lain.
Maka tuduhan standar ganda peradaban Eropa pun muncul. ”Bagaimana kebebasan berekspresi ketika melibatkan anti-Semitis? Itu tak lagi merupakan kebebasan berekspresi. Itu menjadi kriminal. Tapi, ketika Islam dihina, sejumlah kekuatan memunculkan isu kebebasan berekspresi,” ujar Amr Mousa, Sekjen Liga Arab.
Namun, bagi kebanyakan komunitas Yahudi, vonis terhadap Irvin pantas- dirayakan. Organisasi Yahudi yang sa-ngat berpengaruh dan doyan menjual isu tentang kebebasan berbicara, Simon Wiesenthal Center, bersorak menyambut hukuman terhadap Irving. ”Penting mengakui dan hormat terhadap komitmen Austria melawan penyangkalan -holocaust, bentuk kebencian yang pa-ling menjijikkan, sebagai bagian dari tanggung jawab sejarah masa lalu Nazi Austria,” ujar Rabbi Abraham Cooper, tokoh Simon Wiesenthal Center.
Raihul Fadjri (BBC, The Daily Telegraph, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo