BEGITU dinding setinggi 4,5 m berdiri 28 tahun lalu, di perbatasan Jerman Timur dan Barat, dunia segera tahu itulah dinding maut. Dinding yang melambangkan perang dingin Timur-Barat, dinding yang dilumuri darah warga Jerman Timur yang mencoba melompatinya dengan berbagai cara untuk sampai ke Jerman Barat mencari udara kebebasan. Dinding algojo yang siap membantai siapa saja yang mencoba mengganggunya: dengan peluru, dengan anjing galak, dengan ranjau. Tapi hari itu, Kamis pekan lalu, keangkeran itu pun runtuh. Yakni setelah Pemerintah Jerman Timur mengumumkan dibolehkannya warganya bepergian bebas ke Jerman Barat. Upacara resminya berlangsung Minggu pekan lalu, ketika Wali Kota Berlin Barat Walter Momper bersalaman dengan rekannya, Erhard Krack, dari Berlin Timur di sebuah tempat yang disebut Postdammer tempat Hitler bunuh diri. Seekor beruang betina kecil -- lambang Kota Berlin Barat dan Timur -- dari sebuah grup sirkus di Berlin Barat dibawa serta dalam upacara. Erhard Karch memberinya dua genggam gula, lalu bertepuklah mereka yang berada di sekitar tembok. "Pada mulanya, hanya sebuah dinding," tutur Peter Werner mengenang pembangunan Tembok Berlin pada 13 Agustus 1961. Lama-kelamaan, "mereka membuatnya semakin sempurna, dengan menambahkan dinding di sisi lainnya, kawat berduri, meratakan tanah, dan mengubahnya seperti sebuah kawasan perang," kata arsitek Jerman Barat berusia 49 tahun itu. Pembangunan dinding yang bak layar hitam yang menyuguhkan panggung tragedi -- itulah sebutan yang diberikan oleh bekas Kanselir Willy Brandt -- melibatkan 70 ribu tentara di bawah pengawasan langsung Erich Honecker. Dinding pembatas yang oleh penguasa Jerman Timur disebut sebagai "Tembok Penangkal Anti-Fasis" itu dimaksudkan untuk membendung warga Jerman Barat tetap di tempatnya. Sebuah alasan yang cepat ketahuan belangnya. Sesungguhnya, tembok itu merupakan benteng nyata untuk menjaga agar warga Berlin Timur tak menyeberang ke Barat. Itu soalnya bila tembok sepanjang 45 km itu dilengkapi dengan kawat berduri, dan batang-batang besi runcing. Dari menara pengawas yang berjumlah lebih dari 245 buah, tentara perbatasan Jerman Timur siap menembak mati para pelarian yang mencoba melewati "jalur kematian tak bertuan" selebar 5 m, yang penuh kawat duri dan beraliran listrik di bawahnya. Setiap jam, dua tentara bersepeda motor melakukan patroli. Tak hanya itu. Lebih dari 102 tempat khusus disediakan bagi serigala pemburu yang diikat rantai sepanjang 100 m. Binatang buas ini tak hanya dilatih menyerang mereka yang mencoba menerobos, tetapi sekaligus juga menjaga agar para tentara dan opsir Jerman Timur berpikir sepuluh kali bila coba-coba menyeberang. Tapi bisakah hasrat lepas dari tempat yang dirasakan menindas dibatasi oleh sebuah tembok? Mungkin, bagi sejumlah orang tertentu adanya tembok justru dianggap sebagai tantangan. Sejak tahun 1961 tercatat 5.000 orang berhasil melarikan diri, sementara 4.000 orang gagal dan dijebloskan ke penjara Berlin Timur, dan setidaknya 80 orang tewas di sekitar tembok. Di awal Agustus, 1961, seorang tentara perbatasan dipecat atasannya karena menguakkan pagar kawat berduri bagi seorang bocah yang menyeberang ke Barat. Disusul kemudian dengan melompatnya seorang tentara perbatasan Berlin Timur yang sedang bertugas, ke Barat. Ketika tembok itu masih dalam pembangunan, mereka yang berumah di perbatasan dag-dig-dug juga, rumah mereka akan masuk ke Timur atau Barat. Syahdan, penghuni sebuah apartemen di Jalan Bernauer suatu hari menyadari bahwa tempat tinggal mereka ditarik ke wilayah Berlin Timur, meski pekarangannya tetap masuk ke Barat. Empat penghuni yang panik segera meloncat dari jendela, dan tewas. Pelarian terbesar terjadi pada 1964. Selama enam bulan sebuah terowongan digali oleh 36 mahasiswa Berlin Timur. Upaya besar itu berhasil menyelamatkan 57 jiwa sanak saudara dan pacar mereka. Sejarah tembok pun mencatat peristiwa tertembaknya Peter Fechter. Anak lelaki berusia 19 tahun ini ditembak dadanya, ketika berusaha melarikan diri melewati Tembok Berlin di pintu gerbang Charlie. Disaksikan para wartawan dan tentara Berlin Barat dari sisi Barat, Peter mengerang kesakitan selama sejam, sebelum ia mati dan mayatnya diangkut kembali ke Berlin Timur. Bermacam akal dicari untuk melewati tembok itu. Antara lain dengan menggunakan balon gas pada 1979, yang sukses membawa kabur keluarga Frank Streizyk dan Gunter Wetzel yang berjumlah delapan orang. Berbagai alat transportasi seperti pesawat ringan, mobil untuk menyelundupkan orang, kerekan bertali panjang yang pernah dipakai untuk melintasi Tembok Berlin kini dapat dijumpai di museum yang terletak di Pintu Gerbang Charlie. Malah, di tahun 1986, Heinz Braun sempat menipu dunia dengan pelarian spektakulernya. Ia mengaku menggunakan mobil bercat mirip warna kendaraan militer Soviet dan menaruh tiga boneka berseragam tentara Soviet, sementara ia sendiri duduk di belakang kemudi. Pembuatan Tembok Berlin tak terlepas dari campur tangan tentara Sekutu yang terdiri atas AS, Prancis, Inggris, dan Rusia. Seusai PD II dan Hitler bunuh diri pada 1945, Rusia menguasai wilayah timur Jerman, sementara negara Barat lainnya menguasai kawasan selatan, barat, tengah, dan utara, sesuai dengan perjanjian London 1944. Sementara Kota Berlin di bawah kekuasaan blok Barat, meski berada di wilayah yang dikuasai Soviet. Sayangnya, perjanjian London itu tak memberi jaminan tertulis bahwa Soviet tak akan menuntut apa pun atas Berlin. Maka, tatkala negara-negara Barat memutuskan untuk menyatukan wilayah Jerman yang mereka kuasai menjadi satu bagian, empat tahun kemudian, Soviet pun protes dan menyatakan mundur dari Dewan Pengawas Sekutu. Pihak Barat terus melangkah dengan rencananya, malah kemudian memberlakukan mata uang sendiri di wilayah Barat, termasuk Berlin Barat, yang berbeda dengan mata uang di Jerman Timur. Soviet pun berang, dan memblokade Berlin Barat. Pihak Barat tetap memasok barang-barang kebutuhan ke Berlin Barat lewat jembatan udara, sehingga akhirnya pihak Soviet terpaksa membentuk pemerintahan sendiri dengan menunjuk seorang wali kota di Berlin Timur, pada 30 November 1948. Sejak itu Berlin pun terpecah menjadi blok Timur dan Barat. Tatkala 50 ribu pekerja melakukan pemberontakan di Berlin Timur, pada 1953, Pemerintah Soviet mendukung pemerintahan Berlin Timur dengan mengirimkan tentaranya untuk memadamkan kerusuhan karena tekanan ekonomi itu. Soviet pun akhirnya menyetujui langkah Berlin Timur membangun Tembok Berlin, untuk membendung pengungsian besar-besaran ke Berlin Barat. Kini, Tembok bersejarah itu telah terbuka kembali. Ia seperti tak berarti apa-apa dan meninggalkan sejumlah peristiwa pahit bagi warga Jerman Timur. Adakah ia mesti diruntuhkan? Bekas Menteri Kehakiman Jerman Barat Jurgen Schmude tak setuju. Ia menyarankan agar tembok itu dibiarkan tegak berdiri. "Supaya bangsa manusia pada 200 tahun mendatang dapat mempelajari peristiwa tragis yang pernah terjadi di dunia ini," katanya. Dua bersaudara dari Cincinnati, AS, dikabarkan menawar Tembok Berlin US$ 1 juta. Lawrence dan Martin Horwitz, dua bersaudara itu, memberi batas waktu seminggu kepada Pemimpin Jerman Timur Egon Krenz, untuk memberikan jawabannya. Bila disetujui, mereka akau menyumbangkan 10 bagian dari tembok sepanjang 45 km itu kepada museum, sementara sisanya akan dijual kepada umum. Dalam suratnya kepada Egon Krenz, Horwitz bersaudara itu ingin membeli Tembok Berlin "lengkap dengan kawat berduri, kunci gerendel, pintu gerbang besi, kawat listrik, dan batu batanya". Ia tak menyebutkan nisan-nisan yang dipasang di tempat-tempat para pelarian ditembak, akan jugakah dibelinya. Bisa jadi Krenz akan menolak. Bila bukan karena alasan mirip dengan alasan Schmude -- agar tembok maut itu menjadi pelajaran sejarah -- setidaknya alasan Tembok bisa jadi obyek turis yang menghasilkan devisa negara, masuk akal juga. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini