ARAFAT naik ke mimbar. "Bismillaahirrohmaanirrohiim," ia mulai. Lalu pemimpin PLO itu berpidato, dalam bahasa Arab yang terang: "Dewan Nasional Palestina, atas nama rakyat Arab Palestina, dengan ini menyatakan berdirinya negara Palestina di atas tanah kami, Palestina. Ibu kota adalah Al-Qoda Al-Charif (Yerusalem)." Tepuk tangan riuh. Hadirin berdiri dan balon warna-warni dilepaskan di dalam gedung itu. Hari itu, Selasa dinihari pekan lalu, adalah saat yang bersejarah: pemimpin PLO Yasser Arafat mengumumkan sesuatu yang sudah dinantikan-nantikan oleh bangsa yang tak punya lagi tanah air itu. Lagu kebangsaan Palestina pun dikumandangkan: Bilaadi, Bilaadi (Tanah Airku Tanah Airku). Sebuah bendera dengan segi tiga merah yang dibatasi tiga garis horisontal hitam, putih, dan hijau, perlahan-lahan dikerek. Dan hadirin terharu. Tapi tidakkah ini sebuah adegan teater semata, yang tak punya efek di dunia kenyataan ? Tentu, semuanya sebenarnya masih simbolis. Upacara itu memang berlangsung di Aljir, ibu kota Aljazair, bukan di sepetak tanah di Gaza atau sebidang bumi di Tepi Barat Sungai Yordan. Tanah air Palestina mereka tetap diduduki Israel. Tetapi dengan segera terlihat bahwa upacara itu bisa mempengaruhi perkembangan Timur Tengah secara baru sama sekali. Arafat mengumumkan hal penting itu dipuncak acara sidang Dewan Nasional Palestina. Dewan yang dibentuk pada 1964 itu adalah sebuah badan konsultatif yang menjadi badan legislatif tertinggi bagi 5,5 juta Falastiniyyin (orang Palestina) di dunia termasuk 120 ribu yang di Jerman dan 3.000-an yang di Brasil. Badan ini terdiri dari orang Palestina dari segala jenis kecenderungan: ada intelektuil, ada pengusaha, ada muslimin, ada yang Kristen, ada yang atheis, ada yang moderat, dan ada yang suka kekerasan. Anggotanya antara lain pengarang terkenal Prof. Edward Said dari Universitas Columbia dan juga Abu Abbas, orang yang berperan dalam peledakan kapal Achilles Lauro beberapa tahun lalu. Bahwa hari itu mereka bersatu, setelah bertahun-tahun berkutat tanpa suatu terbosan pun, memang luar biasa. Pertama-tama yang terasa adalah dampak diplomatik. Setelah bendera Palestina naik, menyusul bendera Aljazair, tanda penghormatan digunakannya negeri itu sebagai tempat parlemen Palestina itu bersidang. Tak lama, di mimbar muncul Menlu Aljazair, Bessaieh Boualem. Di sana ia segera mengumumkan sikap negaranya secara tegas. "Pengakuan dari Republik Aljazair atas negara Palestina yang merdeka adalah sebuah pengakuan total dan sah. Saya harap, negara-negara lain dan masyarakat internasional akan mengikuti langkah Aljazair," katanya. Yang mengikuti Aljazair dengan cepat berjumlah banyak. Nampaknya, memang tak mudah untuk kali ini menampik langkah baru orang Palestina. Sebab, Arafat dan Dewan Nasional kini telah menunjukkan sesuatu yang selama bertahun-tahun tak jelas dikemukakan, dan menyebabkan posisi mereka terkucil, bahkan di PBB: mereka mengakui hak Israel untuk hidup ditempatnya. INI nampak ketika hari itu sidang Dewan Nasional juga melakukan pemungutan suara untuk penentuan sikap terhadap Resolusi PBB No. 242. Dari sekitar 450 anggota DNP, 253 menyatakan setuju, 46 menentang, dan 10 abstain. Itu berarti untuk pertama kalinya sejak dirumuskan PBB pada 1967, resolusi 242 itu diterima oleh Palestina. Konsekuensinya: eksistensi negara Israel diakui, suatu perubahan besar setelah 40 tahun. Berarti, suatu kemenangan kelompok sayap moderat dalam tubuh PLO yang dipimpin Arafat. Mereka ternyata, akhirnya, berhasil bahkan melunakkan kelompok garis keras, yang dipimpin seorang Marxis seperti George Habbash, yang selama ini selalu menentang pengakuan terhadap Israel. Sejauh ini, dalam Dewan Nasional, dominasi jumlah kursi memang masih dipegang kelompok Al-Fatah, dengan 55 kursi tetap. Habbash sendiri tak hendak mengingkari pendiriannya. "Anda tahu betapa dalamnya pendirian saya," ujarnya kepada Arafat. "Saya tidak yakin dengan apa yang sudah Anda putuskan." Tapi, katanya lagi, "saya tak akan pergi sebelum mencapai kemenangan. Ketimbang mengadakan revolusi demi mencapai kemenangan, saya mengusulkan persatuan untuk mencapai kemenangan." Lalu ia menyalami Arafat, memeluknya erat-erat, sembari tersenyum. Sebetulnya, aba-aba bakal berdirinya negeri Palestina lewat Dewan Nasional ini sudah terlihat sejak pertengahan tahun lalu. Ketika berlangsung Konperensi Tingkat Tinggi Arab Juni lalu, misalnya, beredar dokumen yang menegaskan berubahnya sikap PLO. Tujuan PLO, dokumen itu menegaskan, tidak lagi menghapuskan Israel, melainkan mendirikan sebuah negara kecil di samping Israel. Sebulan kemudian, Juli, muncul isyarat lain: Raja Hussein dari Yordania -- orang yang pernah mengusir Arafat pada 1970 -- melepaskan mandatnya atas Tepi Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mungkin Raja Hussein juga sudah mencium arah angin. Ketika diwawancarai via satelit oleh TV CNN Amerika -- dalam acara Face the World -- Senin pagi kemarin, Raja Husein menekankan pentingnya deklarasi di Aljir itu. Tapi mungkin pula, ketika melepaskan mandatnya, Yordania, yang secara administratlf "menguasai" kedua wilayah itu, sudah tak tahan lagi harus menanggung beban ekonomi. Apa pun alasannya, dilepaskannya mandat atas kedua daerah itu menimbulkan "kekosongan penguasa" di daerah-daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza, yang memang sedang diduduki tentara Israel. Sejak saat itulah banyak pengamat masalah Timur Tengah sudah meramalkan bahwa kelahiran negeri Palestina hanyalah soal waktu. Tapi bagaimana reaksi sekitar 1,75 juta warga Palestina yang berada di Tepi Barat dan Jalur Gaza? Dilaporkan, mereka umumnya merasa lega. Orang-orang Palestina -- yang terakhir diusir Israel dari Libanon pada Juni 1982 sehingga tercerai-berai -- bersorak ramai. Paginya mereka melakukan intifadah di jalan-jalan kota. Mereka berbondong mengibarkan bendera kebangsaan, dan yang muslimin meneriakkan kalimat "Allahu Akbar". Orang-orang Palestina merayakan "pesta" kemerdekaan itu di kampung halamannya. Tapi Israel yang kini menemukan dirinya dalam keadaan terkucil dan sulit menentukan pilihan, bersiaga. Menurut pengamatan wartawan TEMPO Sapta Adiguna dari wilayah itu, ratusan jip, truk, dan panser yang memuat tentara Israel dikerahkan ke Tepi Barat dan Jalur Gaza. Termasuk juga ke kota tua Yerusalem. Palestina kemudian gelap. Listrik dimatikan. Sambungan telepon di beberapa daerah juga putus. Patroli tentara mengimbau warga Palestina di Kota Gaza untuk tetap tinggal di dalam rumah. Jika imbauan itu dilanggar, silakan mengambil risiko tertembak. Benar saja. Yousef Mohammad Abdallah, pemuda berusia 22 tahun, kepalanya kena tembak pasukan AD Israel di Tepi Barat, ketika ber-intifadah Sabtu pekan lalu. Sementara itu, belasan pemuda dan anak-anak lainnya terluka. Aksi intifadah, suatu siasat baru orang Palestina yang bergerak tanpa menggunakan senjata api dalam menghadapi pendudukan Israel, memang ternyata lebih efektif ketimbang terorisme. Selain berdemonstrasi, modal Falastiniyyin lainnya hanya batu. Dengan itulah mereka menghadapi pasukan Israel. Korban memang berjatuhan: 321 orang Palestina terbunuh sejak Desember tahun lalu, sementara korban di pihak Yahudi hanya 11. Tapi dampak intifadah yang baru berusia 11 bulan ini terbukti besar -- khususnya dalam perjuangan yang banyak ditentukan oleh siaran media massa dan opini publik di zaman ini. Dengan tampil sebagai pihak yang lemah dan terinjak, tapi tak hendak meneror, ia bisa menarik simpati dunia, terutama orang Amerika, yang biasanya pro-Israel. Sekaligus ia meletakkan Israel dalam posisi yang sulit: orang Israel tak bisa lagi mengklaim sebagai bangsa yang terancam, tetapi sebagai penguasa yang menindas. Dan agaknya gerakan semacam itu yang ikut mendorong keputusan Dewan Nasional yang bersejarah itu. Mungkin karena itu pulalah dukungan terhadap Palestina merdeka cepat mengalir. Sebanyak 40 negara sampai awal pekan ini udah mengakuinya. Kuwait, Malaysia, dan Irak termasuk yang segera menyatakan pengakuan. Juga Indonesia. "Bagi kami, yang senantiasa mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan merdeka, tidak ada kesulitan sama sekali mendukung kemerdekaan Palestina," kata Menlu Ali Alatas Selasa pekan lalu. Selain itu, dukungan terus bermunculan terutama dari negara-negara Arab atau negara berpenduduk muslim yang unik, mungkin, dukungan dari Turki -- merupakan negara Eropa pertama yang memberikan pengakuan -- kendati negara itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Tentu saja sikap Istambul itu mengundang rasa gusar Yerusalem. Kuasa usaha Turki di Yerusalem kontan dipanggil menghadap kantor kementerian luar negeri Israel. Namun, seorang diplomat Turki, Ekrem Guvendiren, mengingatkan Israel bahwa di tahun 1948, "Turki adalah negara Asia pertama yang mengakui Israel sebagai negara merdeka, namun Turki juga berhak menghormati hak-hak warga Palestina," katanya. Turki memang sebuah negeri yang berada di dua benua, Asia dan Eropa. Dari negara Eropa lain, dukungan masih ditunggu. Mulai pekan ini, perhatian PLO akan tertuju ke Brussels, tempat para menlu negara MEE membicarakan persoalan Timur Tengah. TAPI untunglah, dukungan Mesir yang dinanti-nantikan sudah muncul. Memang, Husni Mubarak menyatakannya sedikit lambat, yakni pada urutan ke-38, padahal negara lain seperti Uni Soviet sudah lebih dulu mengakui, pada urutan ke-31. Kendati begitu, sikap ini penting artinya bagi Palestina. Sebab, Mesir adalah satu-satunya negara Arab yang punya hubungan diplomatik dengan Israel yang mengakui Palestina Merdeka. Reaksi positif juga datang dari berbagai negara lain. Termasuk RRC. Sebelumnya, negara komunis lain memang sudah angkat bicara. Uni Soviet sendiri mengakui kemerdekaan Palestina sejak Jumat pekan lalu, melalui Wakil Menlunya, Alexander Bessnertnykh. "Uni Soviet, dengan mengutamakan prinsip-prinsip perdamaian, mengakui proklamasi negara Palestina," kata Bessnertnykh di depan wartawan. Memang belum jelas apakah pernyataan itu berarti juga pengakuan status diplomatik Palestina. Dengan Israel pun hubungan Rusia tak seberapa mesra. Soviet memutuskan hubungan dengan Israel pada 1967, sesudah Perang Enam Hari. Hubungan keduanya baru menjadi lebih baik beberapa bulan belakangan ini, antara lain dengan adanya pertukaran delegasi tingkat konsulat ataupun dengan (mempermudah) emigrasi penduduk Soviet keturunan Yahudi. Pada umumnya, secara resmi para pejabat Soviet tetap menahan diri untuk membuka hubungan diplomatik yang lebih tinggi dengan Israel sebelum adanya sebuah persetujuan dalam sebuah konperensi internasional Timur Tengah. Dan ini mungkin yang menyebabkan Soviet, dan bukan Amerika Serikat, kali ini bisa punya inisiatif yang lebih cepat dalam menangapi perubahan. Akan halnya dukungan dari negara Pakta Warsawa yang lain, ternyata juga tak sulit diperoleh. Jerman Timur, misalnya, sudah memberi dukungan sejak Jumat pekan lalu. Negara blok komunis itu memang akrab dengan Palestina rupanya. Selama bertahun-tahun lamanya Jerman Timur memberikan status diplomatik pada kantor perwakilan PLO di Berlin Timur, dan mendaftar kepala perwakilan PLO dalam dokumen resmi diplomatik negara sebagai Ambassador (Duta Besar). Sebaliknya, Jerman Timur, sebagaimana negara Pakta Warsawa lain (kecuali Rumania) sama sekali tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Belakangan memang Polandia dan Hungaria memulai hubungan diplomatik tingkat rendah, sementara Bulgaria memperbarui hubungan ekonominya dengan musuh Arab itu. Reaksi Israel? Sudah bisa diduga, pemerintah yang melihat kemenangan Partai Likud sebagai mandat rakyat Israel untuk bersikap keras dalam soal wilayah Palestina itu tak hendak bergeming oleh deklarasi PLO di Aljir. "Kami tetap melihat PLO sebagai organisasi teror," tutur juru bicara kementerian luar negeri Israel, Alon Liel. Menurut dia, deklarasi itu tetap belum menyatakan secara eksplisit keberadaan Israel. Perdana Menteri Yitzak Shamir yang keras tentu juga demikian. Shamir -- yang bakal membentuk sebuah pemerintahan baru setelah pemilu yang baru lalu -- malah menyatakan: "Adanya negara Palestina Merdeka akan berarti selangkah lebih maju bagi Palestina menuju perusakan Israel." Dan tutur seorang pejabat Israel yang lain, "Deklarasi PNC itu secara legal tak punya kekuatan apa-apa. Sebab, mereka tak punya wilayah yang jelas batasnya, tak ada otoritas kenegaraan, tak bisa memerintah rakyatnya." Pendapat itu kalaupun benar menunjukkan bahwa Israel menyepelekan dampak internasional dari deklarasi Aljir. Tapi toh memang masih harus dilihat, sejauh mana pengaruhnya di sebuah negara yang sangat penting dan sangat menentukan dalam diplomasi Israel: Amerika Serikat. Sejauh ini, respons yang muncul dari sana belum jelas. Presiden Reagan sendiri memang menilai pengakuan Arafat atas Resolusi 242 itu suatu kemajuan. "Kendati begitu, saya kira masih banyak masalah yang harus diatasi," ujar Reagan selanjutnya. Perdana Menteri Thatcher dari Inggris sempat mengkritik sikap Amerika Serikat itu, walaupun ia sendiri tak luput mengemukakan kritiknya kepada PLO. Adakah ini tanda London akan segera mengakui negara Palestina, entahlah. Yang jelas, sikap hati-hati memang bisa diharapkan terutama dari Amerika Serikat. Presiden Reagan, yang sebentar lagi harus undur dari Gedung Putih, tak hendak menyulitkan posisi penggantinya -- yang sangat didukungnya selama kampanye dalam pemilu yang baru lewat. Presiden terpilih George Bush sendiri, yang akan mulai memerintah Januari mendatang, belum menentukan sikap. Terhadap deklarasi itu, Bush cuma bilang, "Bila pimpinan PLO sudah memutuskan untuk mendukung Resolusi 242, itu sudah sangat bagus. Ini suatu langkah yang penting." Mungkinkah Bush berani mendukung Palestina, sementara lobi Yahudi masih sangat kuat mendominasi para pengambil keputusan di Amerika Serikat? Tak jelas. Mungkin, kini Abu Ammar perlu terus berdoa: Allahumma Taqabbal (Kabulkanlah, Tuhan). Syafiq Basri, Ahmed K. Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini