IA pernah dijuluki sebagai gadis yang malang dalam kekayaannya. Ketika ia meninggal pekan lalu, dunia hampir melupakan Christina Onassis. Ia bukan saja menghindar dari dunia jetset yang gemebyar di media massa. Kekayaannya pun menyusut. Hasil autopsi menyebutkan, matinya karena akumulasi darah pada paru-paru. Salah satu wanita terkaya sejagat ini, Sabtu lalu kedapatan tergeletak di kediaman kawan karibnya, pasangan Alberto dan Marina Dodero. Dari rumah mewah yang terletak di kawasan orang kaya, 20 mil dari Buenos Aires itu, Christina dibawa ke Clinica Del Sol, sebuah klinik swasta di ibu kota Argentina. Dalam perjalanan, ia meninggal persisnya pukul 11.10 pgi (14.10 GMT). Sebelumnya, ahli forensik mendapati sekotak pil teronggok di samping tubuh Christina. Semula ada dugaan, Christina bunuh diri. Tapi pasal ini dengan segera ditolak oleh pihak keluarganya. "Christina tengah berada pada tahapan paling bagus dalam hidupnya," kata Mary, tantenya. Jika benar, betapa singkatnya tahapan itu. Riwayatnya bisa nampak dari perjalanan jenazahnya. Jenazah itu, yang untuk sementara disemayamkan di Gereja Yunani Ortodoks Buenos Aires, akan dikuburkan di Skorpios, sebuah pulau di Yunani milik keluarga Onassis. Di samping makam ayahnya, Aristotle Socrates Onassis, dan abangnya, Alexander. Ayahnya, raja kapal yang kemudian kawin dengan janda Presiden Kennedy, Jacqueline, membawa Chistina dalam kehidupan mewah yang penuh guncangan. Selama hidupnya ia kawin cerai, seperti sang ayah. Salah satu suaminya bahkan seorang warga Soviet yang tak jelas maunya. Umur rata-rata perkawinannya pendek, hingga pernah ia diberi gelar "Si Janggut Biru Wanita" mengingatkan orang akan kisah pria yang selalu membunuhi istrinya setelah malam pertama. Kini ketika ia mati, suaminya yang keempat, usahawan kaya dari Prancis Thierry Roussel, yang mendampinginya. Tapi ia tak sekaya dulu. Warisan Christina, atau kekayaan terakhir keluarga Onassis, diperkirakan US$400 juta sampai US$1 milyar. Tapi majalah Forbes terbitan Oktober 1987 menyebutkan, akibat bisnis perkapalan memburuk, kekayaan itu kemudian menyusut menjadi US$250 juta. Christina, yang oleh mendiang ayahnya diberi nama kesayangan Chryso mou (Buah Hatiku seorang), untuk mempertahankan warisan itu memang bukannya tanpa latihan. Ketika berusia 18 tahun, ia sempat magang dalam kesekretariatan kantor ayahnya yang di Manhattan. Pada 1974, sepeninggal kakaknya, yang tewas akibat kecelakaan pesawat terbang, Si Buah Hati ini menjadi bertambah serius dalam soal industri perkapalan. Sejak kematian ayahnya, Maret 1975, ia menegakkan tekadnya mengelola usaha yang dirintis ayahnya sejak 1930-an itu. "Saya akan menjalankannya dan akan menyerahkan hidup saya untuk itu," kata Chrsitina suatu hari kepada George S. Moore, bekas kepala First National City Bank, yang kemudian ditulis The New York Times. Tapi Christina, yang namanya diabadikan oleh ayahnya untuk sebuah yacht mewah keluarga, tak mendapatkaan 100% dari seluruh aset perusahaan -- antara lain meliputi 50 armada supertanker, kapal kargo, dan kapal-kapal lebih kecil. Awal Januari 1974, Aristotle Onassis, dalam perjalanan dengan pesawat pribadi dari Acapulco ke New York, telah membuat wasiat. Isinya, bahwa 52,5% dari seluruh saham peruasahaannya harus diserahkan untuk menghidupi yayasan yang didirikan untuk mengenang Alexander, anak pertamanya. Christina mendapatkan yang 47,5% dari seluruh saham, plus gaji per tahun US$250.000. Itu jumlah yang besar bagi kebanyakan orang, tapi kecil bagi ukuran seorang anak bekas raja kapal dunia. Tapi mungkin itu lebih baik. Dunia mulai hidup tanpa seorang Onassis pun jadi berita. Sampai pekan lalu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini