MATA dunia kini mengarah ke Myanmar. Soalnya, rezim yang kini memerintah memburu suku Rohingya -- keturunan Bengali yang sudah beranak-pinak di lereng Gunung Apaukwa, Provinsi Arakan, Myanmar, sejak abad ke-8. Bahkan, leluhur suku Rohingya pernah memerintah di Arakan selama 350 tahun. Pada tahun 1406, Arakan memang sempat ditundukkan suku Burma dan rajanya mengungsi ke tanah leluhur, Gaur, ibu kota Bengali. Selang 124 tahun kemudian, anak keturunan raja yang terbuang itu berhasil merebut kembali Arakan. Jumlah suku Rohingya, yang berkulit gelap dan berhidung mancung sebagaimana keturunan Bengali lainnya, yang berdiam di seantero Myanmar (terbesar di Arakan) sekitar 1,5 juta jiwa -- 5% dari total penduduk negeri lumbung beras tersebut. Ketika Inggris memerdekakan Burma pada 1948, Arakan menjadi provinsi yang merdeka. Pada 1959, Perdana Menteri U Nu dan Menteri Pertahanan U Ba Swe menegaskan bahwa Rohingya sederajat dengan suku lainnya, seperti suku Shan, Chin, dan Kachin. Sewaktu Jenderal Ne Win berkuasa pada 1962, nasib suku Rohingya dan minoritas lainnya berputar ke bawah. Tuntutan persamaan derajat dengan suku mayoritas, Burma, yang sudah lama mereka perjuangkan langsung dibungkam Ne Win. Selang beberapa waktu kemudian lahir Organisasi Solidaritas Rohingya (OSR) dan Front Islam Rohingya (FIR). Kedua organisasi, yang mempunyai perwakilan di Arab Saudi dan Muangthai, itu mulai menggalang simpati dunia dan membeli senjata (AK47 dan M16) dan berani menyerang pos militer Myanmar. "Tujuan kami sebetulnya untuk mendapatkan hak otonomi, hak demokrasi, dan kebebasan beragama dalam sebuah negara persatuan Burma. Kami bukan ingin merdeka," kata Sekjen OSR, Sayedur Rahman, kepada Yuli Ismartono dari TEMPO, Februari lalu. Tahun 1989, pemerintah militer Myanmar mencoba mengosongkan Arakan dari orang-orang Rohingya dengan paksa. Rumah-rumah mereka dibakar, harta dirampok, kaum lelaki menjalani kerja paksa tanpa dibayar, dan kaum wanita diperlakukan tak senonoh. Tak heran bila kepanikan melanda Arakan dan penduduk lari lintang pukang menuju Bangladesh. Jumlah pengungsi Rohingya saat ini diperkirakan lebih 200.000 orang. Sekalipun Bangladesh bukan negeri kaya, toh, sejak awal mereka telah berniat menolong pengungsi Rohingya. Ada sebelas kamp penampungan yang mereka sediakan dengan kondisi ala kadarnya -- hampir sama dengan kandang sapi. Biaya makan dan keperluan obat-obatan mereka dapatkan dari badan urusan pengungsi dunia, UNHCR, yang menyediakan dana US$ 3 juta. Jepang mengirimkan bantuan US$ 1 juta. Ketika PM Begum Khaleda Zia bertemu dengan Presiden George Bush di Washington, Kamis pekan lalu, Amerika menjanjikan sumbangan US$ 3 juta. Buruknya kondisi tempat penampungan pengungsi menyebabkan penyakit bermunculan, antara lain diare, dan ratusan orang terkapar. Seorang dokter di kamp Dhechua Palong, sekitar 25 km dari Distrik Cox Bazar, mengeluh kekurangan makan dan obat. Sementara itu, bahaya berikutnya sudah mengancam pula: musim hujan. Soalnya, Bangladesh rawan banjir. Melihat penderitaan pengungsi Rohingya, Indonesia, Malaysia, dan Singapura minta pemerintah Myanmar tak sembarang main usir warganya. Tapi, mereka tak peduli. "Kami mengusir imigran gelap. Kalau mereka bisa membuktikan surat bukti diri sebagai warga Myanmar boleh datang kembali," kata seorang pejabat Myanmar. Sebuah permintaan berat mengingat orang-orang Rohingya sejak dulu selalu dipersulit mendapatkan KTP, apalagi paspor. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini