Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Daud Belum Menang atas Goliath

Demonstran telah menyurut di Hong Kong. Tapi ancaman aktivis belum reda. Apalagi setelah pertemuan dibatalkan.

13 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Daud Belum Menang atas Goliath
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Judul novel karya Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, bisa menggambarkan suasana di sekitar gedung kompleks pemerintah Hong Kong. Ada tenda berisi bermacam makanan dan botol minuman. Ada orang berjalan dengan santai. Ada juga yang mengobrol atau ber-selfie dengan teman-temannya.

Memasuki minggu kedua, zona demonstrasi utama, Occupy Central, memang lebih kelihatan seperti pasar malam. Berbagai spanduk raksasa menggelantung dari jembatan penyeberangan, bertulisan "Do U Hear the People Sing", dari film Les Miserables, yang telah menjadi "lagu kebangsaan" demonstrasi Hong Kong. Selain itu, ada kutipan dari lirik lagu John Lennon, "You May Say I'm a Dreamer but I'm Not the Only One".

Di dinding dekat kantor pemerintah dan parlemen Hong Kong ada "Tembok Lennon", yang dipenuhi Post-it Note (tempelan kertas) berwarna-warni berisi pesan dukungan, seperti "Jangan Menyerah", "Kami Hanya Berjuang untuk Demokrasi", dan "Harapan". Bagian atas dinding yang sama menjadi layar untuk menunjukkan pesan-pesan dukungan dari seluruh dunia yang disorotkan dengan proyektor. "Dunia Berdiri di Belakang Kalian. Jangan Menyerah!" kata Rose dari Skotlandia. Sementara itu, patung Umbrella Man karya seniman Milk, yang diilhami oleh demonstran memayungi polisi sewaktu hujan deras, seperti berdiri memandang pesan-pesan tersebut.

Jumlah demonstran prodemokrasi di Admiralty, distrik perkantoran, mal, dan kantor pemerintah, akhirnya memang menyusut drastis. Pada Selasa malam pekan lalu, tinggal ribuan orang berkumpul di sini—jauh lebih sedikit dari puluhan ribu yang turun ke jalan pekan sebelumnya. Udara musim panas juga telah pudar, digantikan oleh semilir angin musim gugur yang sejuk.

Pada waktu siang, banyak karyawan kantor berpiknik di bawah langit biru. Dengan jalanan besar ditutup untuk lalu lintas kendaraan, polusi udara turun drastis dan kicauan burung bisa terdengar. Waktu malam, orang banyak berjalan kaki dan ada pula yang berjoging di highway yang bebas mobil.

Eva Leung, mahasiswi seni di Universitas Hong Kong (HKU), dan ketiga temannya menghabiskan waktu di Admiralty setelah kelas mereka selesai. "Ini waktu yang sangat penting untuk Hong Kong," kata Leung. "Kami harus ikut serta."

Para demonstran—banyak yang memakai simbol pita kuning—toh berkeras menuntut pemilihan umum bebas dan langsung untuk memilih pemimpin mereka pada 2017, bukannya memilih para kandidat yang dipilih komite yang pro-Beijing. Selain itu, mereka mendesak Kepala Eksekutif Hong Kong Leung Chun-ying mundur.

Setelah menyaksikan demonstrasi tak bisa ditundukkan walau sudah dicoba dibubarkan dengan semprotan lada dan gas air mata, pemerintah Hong Kong akhirnya bersedia bernegosiasi. Pertemuan pertama dengan Federasi Pelajar Hong Kong (Hong Kong Federation of Students atau HKFS) dijadwalkan Jumat sore pekan lalu.

Namun banyak pihak yang tak berharap banyak pada pertemuan itu. "Saya tak begitu optimistis," ujar Eva Leung. "Saya kira mereka tak akan mencapai sesuatu yang penting. Ini hanya taktik pemerintah untuk menunda-nunda."

l l l

Sepanjang hampir dua pekan, demonstrasi Occupy—yang diorganisasi kelompok prodemokrasi Occupy Central with Love and Peace (OCLP), HKFS, dan Scholarism, asosiasi pelajar sekolah menengah—telah menyebar luas. Mulanya di kawasan Admiralty/Central, tapi lalu ke pusat belanja Causeway Bay di Hong Kong Island dan Mong Kok di Kowloon, di seberang Victoria Harbor. Para demonstran membuat kagum dunia dengan prinsip anti-kekerasan dan kesopanan. Mereka membereskan sampah, memilah sampah untuk daur ulang, tak menginjak-injak rumput, membersihkan grafiti, sampai menjaga kebersihan toilet umum. Tak ada alkohol dikonsumsi. Banyak pelajar yang mengerjakan pekerjaan rumah di lokasi protes.

Namun, semakin lama aksi protes berlanjut, semakin banyak tantangan muncul. Misalnya penentangan dari beberapa kelompok masyarakat, seperti penduduk sekitar dan penentang Occupy (yang memakai simbol pita biru). Bahkan ada serangan "preman", yang dicurigai sebagai anggota kelompok kejahatan terorganisasi Triad.

Sempat terjadi serangan fisik terhadap demonstran di Causeway Bay dan Mong Kok. Juga ada insiden pelecehan seksual terhadap demonstran wanita. "Polisi tak adil," kata Tommy Ng, mahasiswa yang menyaksikan konflik di Mong Kok pada Jumat dua pekan lalu. "Para anti-Occupy terus-menerus berbuat kekerasan malam itu. Polisi menangkap dan melepas mereka lagi."

Sejak awal Oktober, para pendukung "Pita Biru" memang sering muncul di ketiga tempat demonstrasi untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka. Pendukung Occupy menanggapinya dengan menyanyikan lagu Happy Birthday. Pada Selasa malam pekan lalu, aksi Pita Biru tak terdengar sama sekali karena, sekeluarnya mereka dari stasiun MTR (MRT itu di Singapura, MTR di Hong Kong), mereka langsung dikelilingi puluhan pendukung Occupy yang bertepuk tangan dan menyanyikan lagi Happy Birthday. Para anti-Occupy pun langsung angkat kaki.

Ada juga ancaman terhadap pemimpin demonstrasi. Alamat Joshua Wong, pemimpin grup pelajar Scholarism yang merayakan ulang tahun ke-18 pada pertengahan Oktober, disebar di Facebook dan pesan WhatsApp. Wong kemudian menyatakan alamat itu salah. Informasi pribadi Alex Chow, Sekretaris Jenderal HKFS, dan Jimmy Lai, pemilik Next Media yang prodemokrasi, juga disebar di dunia maya.

Tantangan paling besar datang dari Beijing, atau lebih tepatnya Partai Komunis Cina. "Beijing tak akan mundur," ucap Yuen Chan, pengajar ilmu jurnalistik di Chinese University of Hong Kong (CUHK), yang banyak menulis tentang gerakan prodemokrasi di kota itu.

Memang, bila dibandingkan dengan kekuasaan di Cina, gerakan prodemokrasi Hong Kong kelihatan seperti Daud yang menghadapi Goliath. Tapi justru sang Goliath yang terlihat sangat khawatir. Aplikasi perbincangan buatan Cina, WeChat, menyensor gambar protes Occupy di Hong Kong. Sina Weibo, platform lokal semacam Twitter (Twitter sendiri diblok di Cina), menyensor kata-kata "Occupy Central", "polisi Hong Kong", dan "payung"—referensi terhadap simbol aksi pembangkangan sipil di Hong Kong.

l l l

Demonstrasi Occupy Central dipicu oleh kemarahan rakyat terhadap kelas elite di Hong Kong, yang dipandang enggan memberikan hak politik dan menguasai ekonomi kota itu. Pengukur kesenjangan pendapatan (Rasio Gini) di Hong Kong merupakan salah satu yang tertinggi di negara-negara maju. Sementara pada 1996 Rasio Gini Hong Kong sebesar 0,518, pada 2011 mencapai 0,537.

Pada pekan ketiga September, saat mahasiswa dan pelajar Hong Kong meluncurkan pemboikotan kelas, yang kemudian memicu Occupy Central dan Gerakan Payung, para konglomerat di Hong Kong diundang bertemu dengan President Cina Xi Jinping di Beijing untuk berbicara soal politik. Delegasi grup orang terkaya di Hong Kong ini dipimpin Tung Chee-hwa, pemimpin pertama Hong Kong setelah serah-terima dari Inggris ke Cina pada 1997. Keluarga Tung dikenal sebagai dinasti pengusaha pelayaran.

"Pemerintah Hong Kong berpihak kepada pengusaha real estate alias para tycoon," kata Grace Tsoi, wartawan Hong Kong yang mengambil cuti dari pekerjaannya di Taiwan untuk menyaksikan demo Occupy. "Mereka tak ada strategi ekonomi, hanya berfokus pada pendapatan mudah seperti turis dari Cina. Tak ada inovasi."

Banyak dari tujuh juta penduduk Hong Kong yang merasa daerahnya dibanjiri pendatang dari Cina, baik turis yang membeli susu formula (yang dipandang lebih aman di Hong Kong) maupun orang kaya yang membeli properti di Hong Kong. Dengan hak-hak seperti kebebasan pers dan jaminan hukum yang lebih baik, warga Hong Kong tak mau dan malah khawatir terhadap campur tangannya Cina. Tak mengherankan bila survei pada Juni lalu oleh Universitas Hong Kong menunjukkan identifikasi pertama warga Hong Kong adalah "orang Hong Kong". Kemudian "orang Asia" dan "warga dunia". "Warga negara Rakyat Republik Cina" berada paling bawah.

Maka wajar jika "perlawanan" terhadap Beijing terlihat besar. Meski demikian, banyak yang pesimistis terhadap hasil akhirnya, bahkan meski ada pertemuan antara pemerintah dan demonstran. "Saya tak optimistis kemungkinan pertemuan (antara pelajar dan pemerintah) akan berhasil," kata anggota Dewan Legislatif pro-demokrasi, Lee Cheuk-yan. "Keputusan akhir tetap di National People's Congress (parlemen Cina)." Lee sendiri meyakini Beijing tak akan mengalah dan memberikan konsesi kepada Hong Kong.

Pemimpin aktivis pelajar, Joshua Wong dan Alex Chow, juga Wakil Sekretaris Jenderal HKFS Lester Shum, meminta dukungan demonstran dan mengimbau mereka tetap menduduki tempat-tempat aksi di kota Hong Kong untuk mendukung para pelajar dalam negosiasi. "Rakyat siap turun ke jalan bila pemerintah gagal menunjukkan keikhlasan untuk memecahkan krisis politik," tutur Shum dalam konferensi pers, Selasa malam pekan lalu.

Namun seruan itu belum tentu bisa mendapat respons besar seperti dua-tiga pekan lalu. Semakin lama protes berlangsung, lalu lintas beberapa jalan jadi bertambah macet. Sebagian pendukung malah kemudian berubah pendapat. Dewan distrik (district councilor) Paul Zimmerman dan Kardinal Joseph Zen, pendukung setia demokrasi di Hong Kong, sudah meminta para pelajar tak lagi menduduki jalanan. Mereka menyeru pemerintah untuk benar-benar memikirkan konsesi bagi demonstran. "Kami perlu usul yang konkret dan terukur dari pemerintah Hong Kong untuk mengakhiri pendudukan," kata Lee. "Kami perlu konsesi yang sungguh-sungguh."

Selain itu, ada kekhawatiran apakah para pemimpin protes bisa mengontrol demonstran. Saat Mong Kok dan Causeway Bay genting, para pemimpin protes mengimbau demonstran di kedua tempat itu angkat kaki. Tapi imbauan itu tak digubris.

Hal lain adalah tuntutan Leung Chun-ying mundur mungkin bisa terjadi. Ada tanda-tanda Leung bisa dipaksa meletakkan jabatannya setelah terbit berita yang menyebutkan bahwa dia mendapat bayaran 4 juta pound sterling yang tak diumumkan dari perusahaan Australia. Media lokal berspekulasi bocoran tentang hal ini datangnya dari Beijing.

Tapi para aktivis prodemokrasi sudah menyiapkan strategi baru bila pertemuan dengan pemerintah buntu: meningkatkan pembangkangan sipil. Kamis sore pekan lalu, para legislator prodemokrasi menyatakan mereka bergabung kekuatan dengan aktivis Occupy Central dan pelajar. Mereka mengeluarkan ancaman akan mengganjal jalannya pemerintahan dengan cara memblokir penyetujuan dana untuk pemerintah sebagai bagian dari pembangkangan sipil.

Pembangkangan rencananya akan diterapkan di berbagai arena. "Gerakan Occupy dan pemboikotan kelas akan berlanjut," ujar Alex Chow, yang mewakili HKFS. Joshua Wong, yang mewakili kalangan pelajar sekolah menengah, juga mengancam melancarkan aksi pemboikotan lagi.

"Hong Kong telah memasuki era pembangkangan sipil dan nonkerja sama," ucap anggota Dewan Legislatif prodemokrasi, Alan Leong, dalam konferensi pers, Kamis sore pekan lalu.

Ancaman itu bisa jadi dilaksanakan. Selang beberapa jam setelah konferensi pers para aktivis prodemokrasi, Kepala Sekretaris Carrie Lam juga berbicara ke media. Kata dia, pertemuan yang rencananya digelar Jumat dibatalkan.

Yenni Kwok (Hong Kong)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus