Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sea World Untung, Ancol Buntung

Pengelola wahana Sea World dan PT Pembangunan Jaya Ancol saling gugat soal pengelolaan wahana itu. Putusan arbitrase tak serta-merta membuat sengketa selesai.

13 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagar besi setinggi hampir dua meter mengelilingi wahana kawasan Sea World, Ancol, Jakarta Utara, sejak 27 September lalu. Deretan spanduk putih yang menempel di pagar besi memberitahukan bahwa PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk menutup kawasan hiburan aneka binatang laut itu.

Ditutupnya Sea World membuat beberapa pengunjung yang telanjur membeli tiket serta-merta kecewa. Jalan keluarnya: petugas mengganti tiket itu dengan uang atau menawarkan penukaran dengan tiket wahana lain. "Setiap hari ada saja yang datang mengunjungi Sea World," kata petugas keamanan di Sea World, Syarifuddin, Kamis pekan lalu.

Menurut Syarifuddin, dalam dua pekan terakhir, ada 45 orang datang mengunjungi Sea World. Meski Sea World tertutup untuk pengunjung, pengelola wahana, Sea World Indonesia, masih diizinkan merawat biota laut di sana.

Wahana Sea World merupakan hasil kerja sama antara Jaya Ancol dan PT Laras Tropika Nusantara—perusahaan yang terafiliasi dengan Lippo Group. Dalam kerja sama itu, Jaya Ancol menjadi penyedia lahan. Adapun Laras Tropika sebagai investor dan pengelola. Kedua belah pihak meneken kontrak dengan pola build, operate and transfer (BOT), yang berlaku 20 tahun. Kontrak itu berakhir pada 6 Juni 2014.

Menjelang masa kontrak berakhir, Laras Tropika mengirimkan surat penawaran untuk melanjutkan pengelolaan. Namun surat itu tak ditanggapi Jaya Ancol. Soalnya, pihak Jaya Ancol menginginkan penyerahan bangunan dan fasilitas lebih dulu sebelum kontrak pengelolaan diperpanjang.

Karena tak ada titik temu, Jaya Ancol menutup dan memagari wahana Sea World. Perusahaan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu menuduh Laras Tropika menduduki lahan milik mereka secara ilegal. "Tak ada dasar hukum mereka tetap beroperasi dan menggunakan lahan kami," kata Direktur Utama Jaya Ancol Gatot Setyowaluyo, Kamis pekan lalu.

Mewakili pihak Laras Tropika, Presiden Direktur Sea World Indonesia Yongki E. Salim menyatakan hal sebaliknya. Dia mengklaim memiliki "hak opsi" yang berlaku otomatis untuk melanjutkan pengelolaan buat 20 tahun ke depan. "Permintaan perpanjangan kontrak telah kami sampaikan tiga tahun sebelum kontrak berakhir," ujar Yongki.

Setelah Sea World ditutup, Laras Tropika melapor ke Kepolisian Resor Jakarta Utara. Mereka meminta perlindungan hukum. Kepala Polres Jakarta Utara Muhamad Iqbal menjadi perantara pertemuan kedua pihak pada Rabu pekan lalu. Pertemuan selama dua jam di kantor polisi itu dihadiri perwakilan kedua pihak, antara lain Gatot dan Yongki. Namun pertemuan itu tak membuahkan kesepakatan apa pun.

l l l

Kontrak kerja sama antara Jaya Ancol dan Laras Tropika diteken pada 21 September 1992 dengan akta Nomor 81 Tahun 1992. Tercatat dalam kontrak itu, Ancol menyediakan lahan seluas 3 hektare. Adapun Laras Tropika, sebagai investor, menyediakan dana US$ 25 juta—setara dengan Rp 275 miliar dalam kurs saat ini—untuk membangun wahana seluas 4.500 meter persegi.

Peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan Sea World dilakukan pada 2 Oktober 1992. Seremoni yang juga dihadiri Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto itu berbarengan dengan ulang tahun pertama PT Pembangunan Jaya Ancol.

Dua tahun setelah peletakan batu pertama, wahana Sea World selesai dibangun dan dibuka untuk umum. Sejak dibuka, Sea World langsung menyedot perhatian publik. Beberapa tahun terakhir, jumlah pengunjung wahana ini rata-rata 1 juta orang per tahun.

Dari uang tiket saja, dengan harga Rp 80 ribu pada hari biasa dan Rp 100 ribu pada akhir pekan, wahana ini meraup pendapatan sekitar Rp 85 miliar dalam setahun. Sesuai dengan kontrak, Jaya Ancol hanya memperoleh bagi hasil lima persen pendapatan dari tiket. Jaya Ancol pun berhak atas enam persen keuntungan penjualan makanan, minuman, dan suvenir di wahana itu. Total pendapatan Jaya Ancol dari Sea World hanya Rp 4-5 miliar dalam setahun.

Pada 2011, Laras Tropika mengajukan perpanjangan kontrak. Kali ini mereka mengajukan penawaran bagi hasil sebesar tiga persen—merosot dari kontrak lama.

Permohonan perpanjangan kontrak ini telah dibahas dalam enam kali pertemuan. Perundingan terakhir yang berlangsung pada Agustus lalu menemui jalan buntu. "Sejak awal, kami meminta dilakukan penyerahan bangunan dan fasilitas lebih dulu," ucap Gatot.

Kuasa hukum Ancol, Iim Zovito Simanungkalit, menjelaskan, tuntutan penyerahan bangunan dan fasilitas Sea World itu sesuai dengan kontrak kerja. Pasal 8 ayat 5 kontrak menyebutkan, pada saat perjanjian berakhir, Laras Tropika menyerahkan kembali tanah beserta bangunan proyek kepada Jaya Ancol, termasuk sarana penunjang dan hak pengelolaannya.

Kewajiban pihak pengelola dipertegas dalam pasal 13 ayat 14. Disebutkan, setelah perjanjian berakhir, Laras Tropika wajib menyerahkan kembali tanah beserta proyek dan fasilitasnya dalam keadaan lengkap dan berfungsi baik.

Menurut Iim, poin-poin pada kontrak BOT itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Daerah. Pasal 1 ayat 12 menyebutkan skema bangun-guna-serah (BOT) merupakan pemanfaatan tanah milik negara/daerah oleh pihak lain untuk selanjutnya diserahkan kembali kepada pemerintah saat berakhirnya jangka waktu kerja sama. "Jadi, sebelum perpanjangan kontrak, semestinya ada penyerahan dulu," kata Iim.

Sebaliknya, pihak Laras Tropika beranggapan kontrak otomatis diperpanjang berlandaskan pasal 8 ayat 6 dokumen kontrak. Menurut Yongki, ayat itu intinya menyebutkan Laras Tropika mempunyai opsi memperpanjang masa pengelolaan selama maksimal 20 tahun lagi. Untuk keperluan itu, Laras Tropika harus memberitahukan secara tertulis kepada Jaya Ancol sekurang-kurangnya dalam waktu satu tahun sebelum masa perjanjian berakhir.

Pada April 2013, Jaya Ancol membawa perkara ini ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). "Karena kami melihat pihak Laras Tropika akan berkeras," ujar Iim.

Perkara ini ditangani majelis arbitrase dengan ketua Fatimah Achyar. Anggota majelisnya Humphrey R. Djemat, yang dipilih Jaya Ancol, dan H. Basoeki, yang dipilih Laras Tropika.

Pada 5 Juni 2014, majelis arbitrase BANI mengeluarkan putusan. BANI menyatakan klausul perpanjangan kontrak yang tercantum pada pasal 8 ayat 6 tak berlaku secara serta-merta atau otomatis. Kontrak hanya bisa diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak.

BANI juga meminta Sea World Indonesia menyerahkan bangunan—termasuk semua peralatan, fasilitas, dan barang inventaris—ketika masa pengelolaan berakhir, yakni pada 6 Juni 2014.

Tak puas atas putusan BANI, Sea World lantas menggugat putusan tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pada 29 September 2014, majelis hakim, yang terdiri atas Dasma (ketua) serta I B.N. Oka Diputra dan Tenri Muslinda (anggota), membatalkan putusan BANI.

Majelis membatalkan putusan BANI karena menganggap putusan itu tercemar konflik kepentingan. Dasarnya: laporan pihak Sea World yang menyebutkan salah satu saksi ahli, Elijana Tansah, pernah bekerja di kantor advokat milik Humphrey.

Hubungan kerja itu dibantah oleh Humphrey dalam surat elektronik yang dikirim kepada Ketua BANI Ismudakir. Menurut Humphrey, Elijana tak pernah bekerja di kantornya. Hubungan dia dengan Elijana sebatas untuk berdiskusi, berkonsultasi, atau bersaksi di persidangan.

Keterangan Humphrey itu justru menjadi dasar bagi majelis hakim untuk menyimpulkan adanya konflik kepentingan antara Humphrey dan Elijana. "Mereka menjalin hubungan komunikasi yang cukup erat dan berkesinambungan," demikian tertulis dalam pertimbangan putusan hakim.

Setelah putusan BANI dibatalkan, menurut kuasa hukum Sea World Indonesia, Peter Kurniawan, tindakan pihak Jaya Ancol memagari Sea World tak memiliki landasan hukum. "Kami siap menuntut balik Ancol atas tindakan sepihak itu," ucap Peter. 

Tak mau kalah, Jaya Ancol akan mempersoalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara ke Mahkamah Agung. Gatot Setyowaluyo menegaskan, pihaknya juga bersiap-siap membawa kasus ini ke ranah pidana bila Laras Tropika tak kunjung menyerahkan bangunan dan fasilitas Sea World. "Itu harga mati," katanya.

Yuliawati, Dewi Suci, Moyang, Istman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus