Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dendam Lama di Tanduk Afrika

Amerika Serikat menggelar serangan udara di Somalia. Medan baru aksi unilateral AS untuk pemberantasan terorisme.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kapok bukan kata populer bagi pemerintah Amerika Serikat. Setelah dipermalukan dalam operasi militer yang gagal pada 1993, yang kemudian kondang lewat buku dan film Hollywood Black Hawk Down, diam-diam AS membuka front baru di Somalia, Senin pekan lalu.

Helikopter Black Hawk, sebagaimana bisa dilihat dalam film itu, tidak lagi digunakan dalam aksi terakhir ini. AS mengirim sebuah pesawat tempur raksasa AC-130 yang memiliki empat meriam dan enam senjata mesin yang mampu memuntahkan 1.800 peluru per menit, di samping dua helikopter Apache dan kapal induk USS Eisenhower yang siaga di Teluk Aden.

Target serangan kali ini adalah dua desa di sekitar kota pelabuhan Kismayo dekat perbatasan dengan Kenya. Kismayo adalah tempat pertahanan milisi Islam yang tergabung dalam Persatuan Mahkamah Islam (UIC). Mereka baru terusir dari ibu kota Somalia, Mogadishu, yang mereka kuasai sejak Juni 2006, akibat serangan tentara Ethiopia, dua pekan lalu. Sasaran AS adalah tiga orang pentolan Al-Qaidah: Fazul Abdullah Mohammad, Abu Talha al-Sudani, dan Saleh Ali Saleh Nabhan. Namun, seperti biasa, efek sampingnya mengerikan: 30 warga sipil tewas.

Sejauh ini, pihak pemerintah sementara Somalia yakin Mohammad tewas. Laki-laki 32 tahun asal Pulau Comoro itu dituduh pengadilan New York merencanakan pengeboman Kedutaan Amerika di Kenya dan Tanzania pada 1998 dan menewaskan 257 orang. Kepalanya dihargai AS US$ 5 juta (sekitar Rp 45,5 miliar).

Selain Mohammad, tak ada kabar tentang dua “penjahat” lainnya. Al-Sudani, warga negara Sudan, dituduh sebagai pemimpin sel Al-Qaidah di Afrika Timur. Sedangkan Nabhan, warga Kenya, dipercaya terlibat pengeboman di hotel milik Israel di Kenya dan melakukan serangan rudal ke pesawat Israel yang baru tinggal landas dari bandar udara Kenya pada 2002.

Inilah pertama kalinya AS menggelar operasi militer di Somalia sejak mantan Presiden Bill Clinton menarik pasukan AS setelah milisi Somalia yang dipimpin Mohammad Farrah Aidid menembak jatuh helikopter Black Hawk dan menewaskan 18 tentara AS.

Serangan unilateral kali ini, yang menurut intelijen AS didasarkan pada informasi akurat, sama sekali tidak terduga. Entahlah, yang terang, serangan ini dilancarkan ketika pasukan Ethiopia yang bersenjata modern telah memasuki Somalia, negeri tetangganya. Bahu-membahu dengan pasukan pemerintah Somalia sekarang, mereka melanjutkan penyisiran ke selatan setelah mengusir milisi Islam dari Mogadishu, akhir Desember lalu.

Sepertinya AS lebih suka bertindak sendiri. Presiden George W. Bush yang mengusung “perang terhadap terorisme” memang telah menempatkan mesin perangnya di Djibouti, tetangga Somalia di perbatasan utara, pascaserangan 11 September 2001. Setelah Ethiopia bisa digandeng dengan diberi bantuan persenjataan, jalan untuk menghabisi milisi Islam di Somalia agaknya menjadi lebih mudah bagi AS. “Keberhasilan intervensi militer Ethiopia melapangkan jalan serangan udara AS,” ujar Perdana Menteri Ethiopia Meles Zenawi.

Dunia memprotes aksi unilateral AS. “Sekretaris Jenderal (Ban Ki-moon) prihatin dengan aksi yang bisa memicu permusuhan lebih dalam,” ujar juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa Michele Montas. Menteri Luar Negeri Italia Massimo D’Alema juga menentang inisiatif unilateral AS, karena dapat menyulut ketegangan baru di Somalia yang memang sudah tidak stabil. Memang, kawasan Tanduk Afrika itu rawan permusuhan antarsuku. Konflik Somalia dengan Ethiopia termasuk yang memiliki akar panjang.

Di Mogadishu, serangan udara AS meningkatkan sentimen anti-AS yang sudah membara akibat kehadiran pasukan Ethiopia, sosok yang telah dinilai membawakan kepentingan AS di Somalia. “Kenapa presiden kami membawa orang-orang ini? Jika mereka tetap disini, mereka akan gagal,” ujar Barwaqho Mohammed Osman, ibu dua anak, warga Mogadishu.

Raihul Fadjri (Washington Post, All Africa.com, NY Times, LA Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus