Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kejanggalan yang Tak Disentuh

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan perdata PT Indobuildco. Kasus pidananya di Pengadilan Jakarta Pusat tetap dilanjutkan.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA 58 bukti yang telah disorongkan Badan Pengelola Gelora Senayan di persidangan perdata. Namun, percuma. Bukti itu ternyata tak mampu menggambarkan pelanggaran hukum proses perpanjangan dua sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas nama PT Indobuildco. Bagi majelis hakim, proses perpanjangan itu sudah berjalan sesuai dengan aturan. ”Sah dan berdasar hukum,” demikian putusan majelis hakim yang dikeluarkan pada Senin, 8 Januari lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus Hotel Hilton, yang kini namanya sudah beralih menjadi Hotel The Sultan.

Putusan ini jelas mengejutkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji. Tidak hanya lantaran pengadilan memenangkan Indobuildco, tapi juga karena sampai kini kejaksaan sedang memperkarakan pidana kasus HGB Hotel Hilton. ”Tapi saya tetap menghormati putusan itu,” ujar Hendarman.

Dari penelusuran Tempo, ada sejumlah kejanggalan dalam kasus ini. Untuk perpanjangan dua sertifikat itu, misalnya, ada dua surat yang diterima Menteri Sekretaris Negara Alirahman tujuh tahun lalu. Surat itu datang dari Badan Pertanahan Negara DKI Jakarta dan Kantor Pertanahan Jakarta. Dalam surat itu disebutkan perlunya rekomendasi Menteri Sekretaris Negara untuk mengizinkan perpanjangan dua sertifikat HGB atas nama PT Indobuildco. Pontjo Sutowo, pemilik Indobuildco, pun mengaku pernah diingatkan Badan Pertanahan Negara untuk mengurus izin ke Menteri Sekretariat Negara.

Alirahman kemudian menyerahkan kepada kuasa hukum Indobuildco, Ali Mazi, tembusan surat rekomendasi yang diteken Muladi, Menteri Sekretaris Negara sebelum Alirahman. Pengurusan rekomendasi izin perpanjangan itu memang sudah dilakukan semasa Muladi menjadi sekretaris negara.

Ali Mazi sendiri kemudian menemui Alirahman di kantor Sekretariat Negara pada 5 Januari 2000. Ia membawa surat pernyataan kesanggupan membayar kontribusi ke Badan Pengelola Gelora Senayan atas penggunaan lahan strategis itu. Jumlahnya Rp 55,9 miliar atau tiga persen dari nilai jual obyek pajak. Uang itu dijanjikan akan dibayar dalam dua tahap.

Lewat stafnya, Alirahman kemudian menyerahkan tembusan rekomendasi bertanda tangan Muladi kepada Ali Mazi. ”Namun, surat aslinya tidak diberikan kepada Kantor Pertanahan Jakarta Pusat karena menunggu realisasi pembayaran kontribusi,” kata Alirahman kepada jaksa saat pemeriksaan dirinya pada 8 Desember 2005. Tapi, surat rekomendasi itu ternyata sama sekali tidak dipakai Badan Pertanahan Negara untuk menerbitkan perpanjangan dua sertifikat itu. Alhasil, lahan itu tetap atas nama Indobuildco hingga 2023.

Tak hanya itu, uang pembayaran kontribusi seperti dijanjikan Ali Mazi ternyata tak kunjung diserahkan ke Sekretariat Negara. Inilah yang membuat Pengurus Badan Pengelola Gelora Senayan, yang diserahi tugas mengelola lahan milik Sekretariat Negara itu, merasa dikelabui. ”Kok bisa PT Indobuildco memperpanjang sertifikatnya, padahal masalahnya belum selesai,” ujar Husen Adiwisastra, pengacara Badan Pengelola Gelora Bung Karno, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Masalah yang dimaksud Husen memang soal uang pembayaran kontribusi yang setiap tahun harus dibayar Indobuildco ke Badan Pengelola Gelora Senayan. Indobuildco menyatakan kesanggupannya membayar US$ 200 ribu per tahun. Namun, Badan Pengelola Gelora meminta US$ 350 ribu per tahun. ”Kesepakatannya tak kunjung tercapai waktu itu,” ujar Husen.

Indobuildco punya alasan mengapa tidak bersedia memenuhi keinginan Badan Pengelola Gelora. Menurut Amir Syamsuddin, pengacara Indobuildco, Badan Pengelola Gelora Senayan telah bertindak diskriminatif dan ganjil. ”Mereka sampai meminta ikut mengetahui harta Indobuildco dan aset-asetnya. Ini kan aneh,” kata Amir. Kliennya, ujar Amir, baru bersedia membayar uang royalti itu jika Indobuildco diberi kesempatan melakukan pembaruan penguasaan lahan seperti yang diberlakukan terhadap Panin Bank, Ratu Plaza, dan Senayan City.

Getah kasus ini memang juga ”meleleh” ke Muladi. Muladi menyatakan dirinya tidak pernah memberikan surat rekomendasi izin perpanjangan sertifikat atas nama Indobuildco, yang kemudian disebut-sebut diterima Ali Mazi. Menurut Muladi, ia membuat disposisi yang menyatakan rekomendasi tidak dapat diberikan jika belum ada aspek hukum dan studi banding terhadap kasus-kasus sejenis.

Syarat dari Muladi itu, antara lain, untuk menentukan besarnya kewajiban yang harus dibayar Indobuildco kepada Badan Pengelola Gelora Senayan. Soal disposisi Muladi ini dibenarkan Alirahman. Tapi, kepada jaksa, Alirahman menyatakan stafnya tidak pernah menunjukkan aslinya.

Soal status Indobuildco sebagai penerima HGB tanah seluas 143 hektare ini ternyata pernah dipersoalkan Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin. Ali mengaku dulu ia mengira perusahaan itu anak perusahaan Pertamina. Karena sudah telanjur diserahkan, Ali kemudian melayangkan surat kepada Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, J.B. Sumarlin, pada 26 Juli 1976. Di surat bernomor 1528/k/BKD/1976, Ali meminta pemerintah ”menertibkan” perusahaan itu. Namun, surat Ali tak digubris hingga ”kasus perpanjangan HGB” ini meledak di pengujung tahun 2005.

Ali sendiri sudah dimintai keterangan oleh Kejaksaan Agung. Menurut Ali, pembangunan Hotel Hilton berawal saat pemerintah akan mengadakan konferensi PATA di Jakarta sehingga perlu hotel untuk menampung tamu. Ali mengetahui di Bali ada Hotel Patra Jasa yang dimiliki Pertamina. Lalu, ia pun menghubungi Direktur Utama Pertamina waktu itu, Ibnu Sutowo, agar Pertamina bersedia membangun hotel di Jakarta. ”Pemikiran saya ketika itu PT Indobuildco anak perusahaan Pertamina, sehingga hotel itu kelak tetap dimiliki pemerintah,” ujar Ali. Kenyataannya, pemerintah ternyata sekadar jadi penonton ”kemegahan” Hotel Hilton. Dan kini, hampir dua tahun, uang royalti juga berhenti mengalir ke Badan Pengelola Gelora Senayan.

Karena itulah, dengan fakta-fakta yang ada ini, Husen berharap majelis hakim persidangan pidana ”kasus HGB Indobuildco” bisa membongkar praktek pelanggaran hukumnya. ”Terutama tuduhan korupsi itu,” ujar Husen. Tapi, pengacara Indobuildco, Muchtar Luthfi, menilai persidangan pidana yang digelar di Pengadilan Jakarta Pusat itu harus dihentikan dulu. ”Sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap terhadap perkara perdata,” ujarnya.

Harapan Indobuildco rupanya tak dikabulkan hakim. Kepada Tempo, anggota majelis hakim ”kasus pidana HGB Indobuildco”, Heru Purnomo, menyatakan pihaknya akan segera memasuki tahap pembuktian. ”Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan jadi catatan hakim,” kata Heru.

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Andi Samsan Nganro, juga menepis suara-suara yang menyebut kemenangan perdata Pontjo Sutowo itu untuk melepaskan bos Indobuildco dari jerat pidana korupsi. ”Tidak ada itu. Semuanya bergantung pada majelis hakim pidana untuk menentukan sikap mereka,” ujarnya.

Maria Hasugian, Sandy Indra Pratama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus