Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kembalinya Sang Saudara Tua

Dibekukan seusai Perang Dunia II, Jepang kini dibebaskan membangun kembali kekuatan militernya. Negara-negara tetangga cemas.

15 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS markas Tentara Imperial Jepang itu menemukan nyawanya kembali pekan lalu. Dan, segenap ritual dan aktivitas yang terpendam sepanjang 30 tahun di sana pun mendapat ruang gerak sangat luas—seluas kegiatan sebuah kementerian.

“Hatiku berbuncah. Ini telah lama kami tunggu-tunggu,” kata Fumio Kyuma pekan lalu, saat pertama kali duduk di meja berpelat Menteri Pertahanan Jepang.

Desember lalu, tabu itu berakhir. Jepang yang kalah perang kini diperkenankan mendirikan Kementerian Pertahanan dan mengajarkan patriotisme di sekolah-sekolah. Jepang di bawah Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe adalah Jepang yang tidak lagi menghindari masalah militer. Abe sendiri pemimpin Jepang pertama yang lahir sesudah Perang Dunia II. Secara terang-terangan ia menyatakan maksudnya mengamendemen konstitusi 1947. Undang-undang yang diberlakukan oleh Amerika Serikat yang mendeklarasikan Jepang sebagai negara antiperang.

Berdasarkan UU itu, Jepang selama ini hanya boleh memiliki sebuah Badan Pertahanan, tak boleh terlibat dalam pertempuran ataupun sengketa internasional. Pasukan bersenjatanya hanya boleh tampil untuk mempertahankan diri jika negaranya diserang.

Namun, pada 1992, Jepang mulai “bermain api” saat turut serta dalam pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kamboja dan Mozambik. Meskipun Jepang bergabung dengan tim PBB untuk membantu masalah medis, pemulangan pengungsi, penyediaan logistik, pembangunan infrastruktur, dan pengawas pemilihan umum, semua ini sesungguhnya sudah “menyerempet” pelanggaran kontitusi.

Makin digdaya, tanpa persetujuan PBB, Jepang mengirim pula tentara ke Irak pada 2005. Kontingen Pasukan Pertahanan Diri Jepang datang atas permintaan Amerika untuk membantu pembangunan kembali Irak. Pengiriman ini menuai kontroversi dunia internasional. Melayangkan pasukan ke negara lain tanpa mengibarkan bendera PBB adalah pelanggaran yang telanjang. Pasal 9 Undang-Undang Jepang melarang negeri itu menggunakan pasukan perang.

Publik Jepang pun terbelah dalam isu ini. Ada yang mengecam pengiriman pasukan ke Irak yang berarti melanggar konstitusi. Berdasarkan sebuah jajak pendapat, 60 persen warga menuntut tentara Jepang, yang datang sebagai pasukan humaniter, untuk angkat kaki dari daerah konflik itu.

Walau begitu, tak sedikit kalangan yang menginginkan Jepang terus maju tak gentar di Irak bergandengan tangan dengan Amerika. Aliansi ini dianggap memberikan perlindungan bagi Jepang terhadap ancaman tetangganya, Korea Utara. Rupanya kelompok yang pro ini di atas angin. Alih-alih menarik pasukan, Perdana Menteri Abe malah memperpanjang penempatan pasukannya di Irak satu tahun lagi.

Peresmian Kementerian Pertahanan pekan lalu itu memang tak sekadar gunting pita. Jepang kini memiliki wewenang dan kucuran dana militer yang makin besar. Ini berlawanan dengan sikap low profile dan antiperang Jepang setelah kekalahan di Perang Dunia.

Bidang pendidikan pun terimbas. Undang-Undang Pendidikan yang berlaku sejak 1947 pun diamendemen lantaran Tuan Abe menyatakan sistem pendidikan Jepang tidak cukup mengajarkan “nilai moral, etika, dan disiplin diri”. Maka, sekolah-sekolah kini kembali mengajarkan mata pelajaran patriotisme. Perubahan ini, menurut Hiroo Nakasihma, anggota parlemen pendukung Abe, “untuk mengembangkan sikap hormat pada tradisi dan budaya, yang mencintai bangsa dan tanah air”.

Namun, kalangan oposisi cemas akan kembalinya Jepang ke era peperangan ketika para siswa diperintahkan mendukung militer yang imperialis. Sejumlah pemerintah lokal telah menerapkan mata pelajaran patriotisme di sejumlah sekolah dengan cara “menghukum guru atau siswa yang menolak menghormat pada bendera dan lagu kebangsaan pada upacara sekolah”.

Amerika senang, tak lagi harus menanggung ongkos operasi militer sendirian. Namun, korban pendudukan Jepang pada 1940-an (sebut saja Korea, Cina, dan Indonesia) diliputi cemas. Enam puluh tahun setelah pasukan Jepang melancarkan Perang Pasifik dengan mesin perangnya, bayangan horor itu muncul lagi.

Andari Karina Anom (AP, CNN, The Japan Times Online)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus