DARI kapal Amerika itu artileri memuntahkan Peluru. Pasukan
marinir di dekat bandar udara menembakkan mortir. Fajar esok
harinya, Jumat pekan lalu, dua pesawat pembom Prancis jenis
Super Etendard, terbang ke atas pegunungan yang siap siaga.
Perang Dunia? Tidak, dan ini juga tak terjadi karena pesawat
Korea Selatan yang ditembak jatuh. Yang berkecamuk ialah
sengketa yan tak kunjung sudah di Libanon hanya kali ini dua
pasukan internasional terlibat. Soalnya, selama tembak-menembak
sepuluh hari di sekitar Kota Beirut, antara pasukan orang Druze
dan Tentara Nasional Libanon, empat tentara AS tewas, 25
luka-luka. Prancis lebih menderita lagi: 16 orang tewas, di
antaranya seorang perwira menengah paratrup, 44 terluka.
Pemerintah Prancis memang mencoba bersikap kalem. Toh di Paris,
Menteri Pertahanan Charles Hernu memperingatkan, bila orang
Druze tak berhenti menembaki pasukan Prancis yang menjaga
perdamaian, "kami akan menghancurkan deretan artileri mereka."
Baik Prancis maupun AS memang kian tak sabar melihat pasukan
mereka jadi korban perang saudara antara milisia Druze dan
Tentara Nasional Libanon yang dituduh bersekutu dengan kaum
Kristen Falangis.
Tembakan dari Kapal Boen tadi, yang ditujukan ke arah posisi
orang Druze, merupakan tanda pertama kejengkelan AS. Kamis
lalu, bahkan Presiden Reagan menelepon langsung dari Gedung
Putih kepada komandan Marinir AS di Libanon, Kol Timothy
Geraghty, bahwa bantuan apa saja, yang bisa menghentikan
serangan, diberikan kepada tentara yang sedang bertugas itu.
Rasa cemas akhirnya berkisar pada nasib Libanon sendiri. Jika
pasukan penjaga perdamaian terlibat perang, jalan keluar tampak
kian tertutup untuk berdirinya suatu negeri Libanon yang bersatu
seperti dulu. Pemerintahan Presiden Amin Gemayel jelas tak
berdaya menghadapi perlawanan milisia Druze yang menguasai
wilayah Pegunungan Syuf, di selatan Beirut. Untuk mengirim
pasukan besar ke sana akan menimbulkan perang antargolongan yang
lebih hebat. Untuk diam saja wibawa pemerintah nasional akan
jatuh, karena jelas milisia Drue itu bermaksud menekan
golongan Kristen Maronit.
Orang-orang Drue -- sering disebut sebagai suatu "sekte Islam",
tapi lebih merupakan kelompok agama tersendiri -- memang merasa
perlu memulihkan dominasi mereka di Pegunungan Syuf. Ketika
Israel tahun lalu menyerbu Libanon, pasukannya telah merusak
dominasi itu dengan mempersenjatai orang Kristen Maronit.
Sehingga, hubungan kelompok ini denan orang Druze jadi suatu
konflik. Kini, ketika pasukan Israel mulai mundur dari selatan
Beirut, orang Druze dapat kesempatan untuk mendesak orang
Maronit itu agar seperti dulu: berdamai di bawah kekuasaan
mereka.
Tentu saja tujuan orang Druze lebih luas dari itu. Grup milisia
utama mereka di bawah Walid Jumblat, dengan nama Partai Sosialis
Progresif, menghendaki agar di Libanon dibentuk Senat yang
diketuai orang Druze. Dalam sejarah Libanon, kekuasaan biasanya
dibagi antara orang Kristen Maronit, orang Islam Sunni dan
golongan Syi'ah. Kini, Walid Jumblat, yang merupakan tokoh
keluarga Druze terkemuka, ingin mengubah semua itu.
Namun, di Libanon kini cita-cita dan rencana siapa pun tampaknya
tak akan tercapai. Yang jelas telah gagal ialah rencana sebuah
negeri terkuat di Timur Tengah: Israel. Empat belas bulan yang
lalu, di bawah Menteri Pertahanan yang angkuh, Ariel Sharon,
Israel menyerbu masuk. Basis gerilyawan Palestina ingin
dihancurkannya habis, pasukan Syria akan diusir, dan sebuah
repubik Libanon yang dipimpin kaum Falangis yang pro-Israel
akan dibentuk. Tapi apa yang terjadi?
Sharon jatuh, dan Perdana Menteri Begin telah pula mengundurkan
diri. Gerilyawan Palestina tak habis, pasukan Syria bahkan masih
bisa aktif membantu gerilyawan Druze dan lain-lain yang
anti-lsrael dalam bangkitnya kembali perang saudara kini.
Perdana Menteri Israel yang baru, Yitzhak Samir tokoh yang
lebih keras dari Begin -- tetap harus mengakui kenyataan:
pasukan Israel harus mundur dari wilayah Syuf, kian ke selatan.
Kalau tidak, Israel akan tercekik biaya sejuta dollar sehari
untuk mengongkosi tentara. Sementara di selatan, sepanjang
Sungai Awali, 40 km dari perbatasan, mereka juga bisa lebih
bebas dari beban menjaga keseimbangan antargolongan orang
Libanon yang sedang saling ganas itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini