Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Desakan orang druze

Pasukan druze dan tentara nasional libanon bentrok pasukan perdamaian prancis dan as ada yang tewas. walid jumblat (tokoh druze) ingin membentuk senat yang diketuai orang druze. (ln)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kapal Amerika itu artileri memuntahkan Peluru. Pasukan marinir di dekat bandar udara menembakkan mortir. Fajar esok harinya, Jumat pekan lalu, dua pesawat pembom Prancis jenis Super Etendard, terbang ke atas pegunungan yang siap siaga. Perang Dunia? Tidak, dan ini juga tak terjadi karena pesawat Korea Selatan yang ditembak jatuh. Yang berkecamuk ialah sengketa yan tak kunjung sudah di Libanon hanya kali ini dua pasukan internasional terlibat. Soalnya, selama tembak-menembak sepuluh hari di sekitar Kota Beirut, antara pasukan orang Druze dan Tentara Nasional Libanon, empat tentara AS tewas, 25 luka-luka. Prancis lebih menderita lagi: 16 orang tewas, di antaranya seorang perwira menengah paratrup, 44 terluka. Pemerintah Prancis memang mencoba bersikap kalem. Toh di Paris, Menteri Pertahanan Charles Hernu memperingatkan, bila orang Druze tak berhenti menembaki pasukan Prancis yang menjaga perdamaian, "kami akan menghancurkan deretan artileri mereka." Baik Prancis maupun AS memang kian tak sabar melihat pasukan mereka jadi korban perang saudara antara milisia Druze dan Tentara Nasional Libanon yang dituduh bersekutu dengan kaum Kristen Falangis. Tembakan dari Kapal Boen tadi, yang ditujukan ke arah posisi orang Druze, merupakan tanda pertama kejengkelan AS. Kamis lalu, bahkan Presiden Reagan menelepon langsung dari Gedung Putih kepada komandan Marinir AS di Libanon, Kol Timothy Geraghty, bahwa bantuan apa saja, yang bisa menghentikan serangan, diberikan kepada tentara yang sedang bertugas itu. Rasa cemas akhirnya berkisar pada nasib Libanon sendiri. Jika pasukan penjaga perdamaian terlibat perang, jalan keluar tampak kian tertutup untuk berdirinya suatu negeri Libanon yang bersatu seperti dulu. Pemerintahan Presiden Amin Gemayel jelas tak berdaya menghadapi perlawanan milisia Druze yang menguasai wilayah Pegunungan Syuf, di selatan Beirut. Untuk mengirim pasukan besar ke sana akan menimbulkan perang antargolongan yang lebih hebat. Untuk diam saja wibawa pemerintah nasional akan jatuh, karena jelas milisia Drue itu bermaksud menekan golongan Kristen Maronit. Orang-orang Drue -- sering disebut sebagai suatu "sekte Islam", tapi lebih merupakan kelompok agama tersendiri -- memang merasa perlu memulihkan dominasi mereka di Pegunungan Syuf. Ketika Israel tahun lalu menyerbu Libanon, pasukannya telah merusak dominasi itu dengan mempersenjatai orang Kristen Maronit. Sehingga, hubungan kelompok ini denan orang Druze jadi suatu konflik. Kini, ketika pasukan Israel mulai mundur dari selatan Beirut, orang Druze dapat kesempatan untuk mendesak orang Maronit itu agar seperti dulu: berdamai di bawah kekuasaan mereka. Tentu saja tujuan orang Druze lebih luas dari itu. Grup milisia utama mereka di bawah Walid Jumblat, dengan nama Partai Sosialis Progresif, menghendaki agar di Libanon dibentuk Senat yang diketuai orang Druze. Dalam sejarah Libanon, kekuasaan biasanya dibagi antara orang Kristen Maronit, orang Islam Sunni dan golongan Syi'ah. Kini, Walid Jumblat, yang merupakan tokoh keluarga Druze terkemuka, ingin mengubah semua itu. Namun, di Libanon kini cita-cita dan rencana siapa pun tampaknya tak akan tercapai. Yang jelas telah gagal ialah rencana sebuah negeri terkuat di Timur Tengah: Israel. Empat belas bulan yang lalu, di bawah Menteri Pertahanan yang angkuh, Ariel Sharon, Israel menyerbu masuk. Basis gerilyawan Palestina ingin dihancurkannya habis, pasukan Syria akan diusir, dan sebuah repubik Libanon yang dipimpin kaum Falangis yang pro-Israel akan dibentuk. Tapi apa yang terjadi? Sharon jatuh, dan Perdana Menteri Begin telah pula mengundurkan diri. Gerilyawan Palestina tak habis, pasukan Syria bahkan masih bisa aktif membantu gerilyawan Druze dan lain-lain yang anti-lsrael dalam bangkitnya kembali perang saudara kini. Perdana Menteri Israel yang baru, Yitzhak Samir tokoh yang lebih keras dari Begin -- tetap harus mengakui kenyataan: pasukan Israel harus mundur dari wilayah Syuf, kian ke selatan. Kalau tidak, Israel akan tercekik biaya sejuta dollar sehari untuk mengongkosi tentara. Sementara di selatan, sepanjang Sungai Awali, 40 km dari perbatasan, mereka juga bisa lebih bebas dari beban menjaga keseimbangan antargolongan orang Libanon yang sedang saling ganas itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus