MENDENGAR hakim menyebut hukuman 20 tahun penjara Henky
Dirgantara alias Aceng tak bisa menahan emosi. "Jaksa brengsek!
Mana keadilan?" serunya lantang. la lalu menyambar perangkat
pengeras suara dan melemparkannya ke Jaksa Haryadi Widyasa.
Untung sasarannya sigap. Jaksa itu mendorong meja di hadapannya
sampai terbalik. Luput. Drama singkat di Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, Senin pekan lalu itu, berakhir karena Henky
segera diringkus petugas.
Henky, 28 tahun, sejak semula memang menolak tuduhan sebagai
otak dan pelaku utama percobaan perampokan disertai kekerasan,
hingga Nyonya Arief, yang sedang hamil lima bulan, meninggal.
Risidivis yang cukup dikenal itu kepada TEMPO selalu mengatakan,
"saya tidak merasa melakukan apa-apa."
Apa mau dikata, bukti-bukti dan keterangan para saksi,
memberatkan dia. Dari saksi Go Tjin Moy, istrinya sendiri,
misalnya. Dalam kesaksian yang dibacakan dalam sidang, Tjin Moy
menyatakan bahwa suatu hari, Desember 1981, Henky dan beberapa
kawannya mengaku baru saja merampok di Kebon Jeruk, Jakarta
Barat, namun tidak berhasil. Tapi, Tjin Moy melihat ada noda
darah di baju-baju suaminya, Ujang Rachman, dan Cecep. Di
samping itu saksi juga tahu persis bahwa Henky mempunyai sepucuk
pistol FN 46 lengkap dengan pelurunya.
Berdasar bukti yang cukup, Juni lalu, jaksa menuntut hukuman
mati bagi Henky. Dan itulah, tampaknya, yang membuat Henky
berang. Ia menuduh Jaksa Haryadi menuntut hukuman berat, karena
ia tak mampu memberi sogokan (Lihat: Jawab Jaksa).
Percobaan perampokan di siang bolong terhadap Arief Effendy,
pengusaha pabrik plastik di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat,
bermula dari info Hasan Basri bin Lili. Kepada Ujang Rachman,
temannya sesama sopir, Hasan pernah bercerita bahwa majikannya
sering membawa uang sampai puluhan juta rupiah. Kalau tak
disetor ke bank, begitu ceritanya, uang tadi disimpan di lemari
besi di rumahnya.
Ujang kemudian menyampaikan kabar tersebut kepada Mochamad Zein
yang lalu meneruskannya kepada Henky. Penjahat yang gemar
menganiaya korban dan bila bekerja selalu mengacungkan pistol
itu, segera menyusun rencana bersama Ujang Zein, Lie Koen Hwa
alias A Kun, dan Sed'han alias Arab. Kawanan tadi merencanakan
mencegat dan merampok Arief Effendy di daerah Pesing.
Sebagai tanda bahwa Arief membawa uang, disepakati bahwa Hasan,
yang mengemudikan mobil, akan melilitkan karet gelang berwarna
hijau pada plat nomor mobil. Sebaliknya, bila majikannya tidak
membawa uang, Hasan akan memberikan tanda lilitan karet gelang
berwarna merah. Untuk pekerjaan itu, Hasan akan mendapat bagian
yang cukup untuk membeli sebuah rumah. Tapi nyatanya, setiap
kali lewat di Pesing karet yang dililitkan ternyata selalu yang
berwarna merah.
Kesabaran Henky habis. Ia memutuskan untuk langsung merampok
saja brankas di rumah Arief. Kebetulan, ketika itu, Arief ke
luar negeri. Maka, 23 Desember 1981 lalu, sekitar pukul 09.00,
operasi dilaksanakan. Henky bersama A Kun berlagak sebagai tamu
dan diterima sendiri oleh Nyonya Arief. Korban langsung ditodong
dan dipaksa menyerahkan kunci brankas. Ketika menolak, ia pun
dianiaya. Henky memukulkan gagang pistol. Lalu, Ujang, seperti
diakuinya di sidang, menginjak-injak perut korban, sedangkan
Cecep selain memukul juga menyiramkan minyak tanah dan mengancam
mau membakar korban.
Sampai di situ tak jelas, apa yang selanjutnya mereka lakukan.
Hanya siang itu juga, korban diketahui meninggal dengan tubuh
luka-luka penuh darah. Akan halnya brankas, meski dicoba dibuka
dengan berbagai cara, ternyata tetap tertutup. Tampaknya Henky
memang tak tahu banyak bagaimana cara "menjinakkan" lemari besi.
Dan kawanan itu pun, akhirnya, ngeloyor pergi dengan tangan
hampa yang bersimbah darah.
Henky dan kawan-kawan diajukan ke pengadilan, November tahun
lalu. Dengan begitu, sidang atas mereka berlangsung selama
hampir satu tahun. Maka, pembela mereka, Poltak Silaban dan
Starrena, merasa heran. "Ini sidang paling aneh yang saya
ikuti," kata Starrena. Aneh karena, katanya, sidang sering
sekali ditunda. Karena seringnya penundaan itu, terdakwa
Sed'han, A Kun, dan Hasan Basri, berdasar ketetapan majelis
hakim mendapat tahanan luar, Februari lalu. Ujang Mochamad Zein
dan Cecep yang diadili oleh mejelis hakim pimpinan Silafahi,
juga mendapat tahanan luar.
Para terdakwa ini akhirnya diperintahkan ditahan kembai, karena
mereka bergantian tak menghadiri sidang. Cecep dan Hasan Basri,
akhirnya memang ditahan kembali. Namun yang lain -- Ujang, Zein,
A Kun, dan Sed'han -- menggunakan peluang emas ditahan luar itu
untuk melarikan diri. Sampai kini mereka masih buron. Akhirnya,
yang perkaranya bisa diputus baru Henky, dan Hasan (kena 2
tahun), sedang Cecep oleh majelis hakim pimpinan Silalahi
diganjar 9 tahun.
Hasan tampaknya pasrah dan mengaku bersalah telah memberi
informasi sampai terjadinya perampokan dan istri majikannya
terbunuh. Namun Henky, yang sudah beberapa kali berurusan dengan
hamba wet, tetap merasa tak bersalah. Keterangannya selama
sidang selalu berbelit-belit atau, kalau tidak, ia menyangkal
keras.
Sebelum perkaranya yan ini, Henky paling tidak pernah dihukum
dua kali untuk 10 dan 6 bulan. Kini, ia pun bakal menghadapi dua
sidang lagi dengan tuduhan sama: melakukan pencurian dengan
kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini