CUACA musim gugur Spanyol yang sejuk tampaknya tak berpengaruh
banyak terhadap Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Gromyko.
Ketika tampil di Madrid, Kamis pekan lalu, langkahnya tampak
gontai. Isyarat tangan yang menyertai ucapannya serba tak pasti.
"Tak ada yang bisa saya sampaikan saat ini," katanya kepada
wartawan yang mencegatnya di pintu gedung Konperensi Keamanan
dan Kerja Sama Eropa (CSCE).
Sebaliknya dengan Shultz. Merasa di atas angin, Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat itu menyebut penjelasan sejawatnya dari
Uni Soviet "lebih tidak memuaskan". Sehari sebelumnya, Gromyko
memang berusaha menimpakan tanggung jawab penembakan pesawat
B-747 KAL itu ke pundak Amerika Serikat.
Memasuki minggu kedua insiden Sakhalin, carut-marut makin
mewarnai bahasa diplomatik yang dilontarkan ke alamat Soviet.
Apalagi setelah Amerika Serikat, sejak minggu silam, mulai
memutarkan rekaman percakapan pilot Soviet dalam peristiwa yang
mengerikan itu. Rekaman ini membantah dalih Soviet sebelumnya,
bahwa awak pesawat tempur mereka menemukan "pesawat asing yang
tidak berlampu." Hinga awal pekan ini, Soviet tidak menyangka
keabsahan rekaman tersebut.
Pukul 01.18:34 WIB, 1 September, seorang pilot SU-15 Soviet
melapor kepada Deputat (tanda panggilan stasiun bumi Soviet):
"Lampu-lampu navigasi menyala, lampu isyarat berkedip-kedip."
Pukul 01.18:56 WIB, pilot Mig-23 kepada Deputat: "Ganti, saya
berada pada ketinggian 7.500, dengan arah 230."
Pukul 01.19:02 WIB, pilot SU-15 kepada Deputat: "Saya mendekati
sasaran."
Pukul 01.26:20 WIB, SU-15 kepada Deputat: "Saya telah melepaskan
rudal.
Pukul 01.26:22 WIB, SU-15 kepada Deputat: "Sasaran sudah
dihancurkan."
Pukul 01.26:27 WIB, SU-15 kepada Deputat: "Saya menghentikan
serangan."
Rekaman ini, yang konon dibuat oleh Dinas Sekuriti Nasional
(NSA) Amerika Serikat, agak berbeda dengan versi yang banyak
disiarkan pers Jepang. Dalam versi NSA percakapan terjadi satu
arah. Tidak ada sahutan dari stasiun bumi. Tetapi dalam versi
Jepang, hubungan radio berlangsung bersahut-sahutan.
Komandan: "Bidik sasaran."
Pilot: "Sasaran sudah dibidik."
Komandan: "Tembak."
Pilot: "Sudah ditembak."
Suara tak dikenal: "Ke mana benda itu pergi ?"
Jawaban: "Kami menembaknya jatuh."
Di dekat Pulau Moneron, 30 mil di lepas pantai Sakhaliri,
beberapa nelayan Jepang pada saat itu mendengar dua ledakan di
angkasa. Mereka melaporkan "telah melihat cahaya yang menyala,
mungkin dari ledakan yang sangat dahsyat."
Perjalanan maut itu dimulai dari bandar udara internasional John
F. Kennedy, New York. Bertolak dari Gate 15, Boeing-747-200B itu
tertunda 35 menit dari saat keberangkatan yang direncanakan.
Terdapat 244 penumpang, 130 di antaranya akan meneruskan
perjalanan dari Seoul ke Hong Kong, Tokyo, dan Taipei. Mereka
memilih KAL karena tarifnya yang murah. Meski demikian, hampir
80 kursi di kelas ekonomi kosong. Di tengah perjalanan menuju
Anchorage diputarkan film Man, Woman and Child.
Tiba di Anchorage, sebagian besar penumpang turun mencari kopi
seraya mengendurkan urat kaki. Pesawat itu menambah 37.750 galon
bahan bakar, cukup untuk perjalanan 6.000 mil berikutnya.
Anggota Kongres AS, L.awrence P. McDonald, ternyata tidak turun.
Ia memilih tinggal di pesawat, dan tidur.
Di Anchorage ini pula dilaksanakan pergantian awak pesawat.
Kapten Choi Taikyong berikut regunya, yang menerbangkan KAL-007
itu dari New York, digantikan oleh rombongan yang dipimpin
Kapten Chun Byung-in, pilot kawakan dengan hampir 11 ribu jam
terbang.
Chun Byung-in, 45 tahun, bukan pilot sembarangan. Ayah dua orang
anak ini masuk KAL pada 1972. Sebelumnya, selama 11 tahun ia
mengabdi Angkatan Udara Korea Selatan dengan pangkat terakhir
mayor. Para pejabat KAL menyebut Chun sebagai "pilot model".
Hampir 7.000 jam terbangnya dilewatkan di atas Boeing-747. Dan
belum pernah mengalami kecelakaan pesawat.
Anggota Gereja Presbiterian ini juga meraih gelar sarjana
ekonomi dari Universitas Sungkyunkwan, Seoul. Ketika
meninggalkan rumah untuk kali terakhir, 27 Agustus lalu, Chun
berpesan, "sampai ketemu dalam waktu singkat".
Co-Pilot Sohn Dong-hui, 47 tahun, juga penerbang andalan. Bekas
letnan kolonel Angkatan Udara Korea Selatan ini memiliki 8.917
jam terbang, 3.411 di antaranya di atas Boeing-747. Ia ayah
seorang anak lelaki dan sepasang kembar-wanita. Awak lainnya
terdiri dari 1 teknisi, 1 purser, 3 steward, 13 stewardess, 3
anggota keamanan, dan 6 cadangan.
Tinggal landas dari Anchorage, Chun menerbangkan pesawatnya
memasuki "Rute Jet 501," ke arah barat daya sepanjang Kepulauan
Aleutia, satu dari lima jalur mencapai Seoul. Pada titik
"Bethel", sekitar 340 mil dari Anchorage, ia berbelok memasuki
Red 20, jalur paling utara menuju Tokyo dan Seoul. Jalur ini
menyerempet Semenanjung Kamchatka, sekitar 30 mil dari Kepulauan
Kuril. Kecepatan pesawat sekitar 540 mil perjam.
Sampai di sini timbullah pertanyaan besar yang hingga sekarang
belum terjawab, mengapa Chun dan pesawatnya kesasar sampai 724
km memasuki wilayah "paling peka" Soviet? Menurut pilot Choi
Taik-yong, yang menerbangkan pesawat itu dari New York ke
Anchorage, sistem Indikator Situasi Horisontal (HSI) dan sistem
peralatan peringatan pesawat itu tidak bekerjabaik. Di Anchorage
sempat dilakukan perbaikan, tapi rupanya kemudian peralatan itu
rusak lagi. Di samping itu, menurut pejabat KAL terdapat
kelemahan pada Sistem Navigasi Kelembaman (INS) pesawat.
Keterangan seperti ini hanya menambah kemarahan Presiden Ronald
Reagan, yang kehilangan 61 warga negaranya, termasuk seorang
anggota Kongres. Inilah angka kematian tertinggi penduduk sipil
Amerika Serikat akibat serangan militer, setelah penyerbuan
Jepang di Pearl Harbour. Sebelumnya, Reagan yakin peralatan
B-747 KAL itu berfungsi baik.
Di Dewan Keamanan PBB, Amerika berhasil merangkul Australia,
Kanada, Fiji, Prancis, Jepang, Malaysia, Belanda, Selandia Baru,
dan Inggris. Resolusi yang mengecam Soviet disampaikan kelompok
ini dengan kembali mengingatkan Konvensi Chigago yang mengatur
penerbangan sipil internasional. Di Washington, Reagan mengimbau
agar hubungan diplomatik dengan Soviet dibatasi.
Tindakan terbatas juga sudah diambil sejumlah negara Barat
terutama anggota NATO. Kanada melarang Aeroflot singgah untuk 60
hari, sehingga rombongan sirkus Soviet yang sedang berada di
Halifax terkatung-katung. Juga serombongan penari Bolshoi,
sekitar seratus orang, sedang berada di Jepang. Sejak peristiwa
Sakhalinn itu, rombongan ini dikawal polisi.
Langkah Kanada diikuti Prancis, Italia, Spanyol, Norwegia, dan
Denmark. British Airways juga membatalkan semua penerbangannya
menuju Moskow. Di London, Federasi Internasional Asosiasi
Penerbangan Sipil (IFALPA), yang beranggotakan 57 ribu pilot di
67 negeri, memutuskan mendesak pemboikotan pesawat Soviet paling
tidak untuk 30 hari. Keputusan ini, menurut para pengamat akan
bergema sampai ke sidang Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional (ICAO) di Montreal, Kanada 15 September.
Jumat pekan lalu, akhirnya Uni Soviet mengakui dengan resmi
penembakan pesawat B-747 KAL itu oleh pesawat-pesawat tempurnya.
Di depan jumpa pers di Moskow, Kepala Staf Angkatan Perang
Soviet, Marsekal Nikolai Ogarkov mengatakan, pllot-pilot Soviet
menerima perintah untuk menyergap dan menghentikan pesawat itu
dengan menggunakan rudal, dan "perintah itu sudah dilaksanakan,"
katanya. Orgarkov, yang merangkap Wakil Pertama Menteri
Pertahanan, sebelumnya menjelaskan kesimpulan Soviet bahwa
pesawat KAL itu "sedang melakukan misi pengintaian."
Marsekal Ogarkov, seperti sudah diduga, menyalahkan Amerika
Serikat dan Jepang yang "mengatur penerbangan tersebut." Ia juga
menandaskan, Soviet tidak akan bersedia membayar ganti kerugian,
karena "kami tidak tahu kalau pesawat itu membawa penumpang
sipil."
Selama perdebatan semakin seru, puing pesawat dan korban mulai
bermunculan di Laut Jepang. Di lepas pantai Hokkaido, sekeping
logam, yang diduga bagian badan pesawat, ditemukan bersama mayat
seorang anak yang sudah tak jelas jenis kelaminnya. Di kepala
dan dada anak itu tersisip pecahan logam dan kaca.
Penemuan ini, tentu saja, akan menambah duka cita dan protes
yang dilancarkan terhadap Soviet, terutama oleh warga Korea
Selatan dan Amerika Serikat. Ratap tangis masih terdengar di
Laut Jepang. Dan di Washington, dari sebuah katedral tempat misa
untuk para korban Amerika diselenggarakan, Presiden Ronald
Reagan mengumumkan Hari Berkabung Nasional yang jatuh pada hari
Minggu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini