Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saafa Gaber berlari menerobos kerumunan orang yang mengangkat peti jenazah Ormany Makary pada siang yang terik Senin pekan lalu. Di tengah teriakan massa yang membahana di depan Katedral Abbasiya, Kairo, nona 17 tahun itu berusaha menggapai peti yang membawa jasad tunangannya tersebut. Namun tangannya hanya meraup angin. "Bawa aku padanya, bawa aku padanya," Saafa meronta dalam pelukan kerabatnya.
Peluru menembus tubuh Ormany, sopir truk berusia 25 tahun, dalam bentrokan antara pasukan keamanan dan massa, yang sebagian besar umat Kristen Koptik, Ahad malam pekan lalu. Bentrokan di Lapangan Maspero itu menewaskan 25 demonstran dan melukai sedikitnya 200 lainnya.
Insiden berdarah itu pecah saat seribuan orang gabungan umat Kristen dan agama lain menggelar aksi damai. Mereka bergerak dari Distrik Shubra di wilayah utara Kairo menuju gedung stasiun televisi pemerintah di Lapangan Maspero.
Massa turun ke jalan karena kesal terhadap sikap pemerintah militer yang dianggap membiarkan aksi kekerasan terhadap umat Kristen. Pemerintah juga dituding tak pernah serius menyeret pelakunya ke meja hijau. Aksi kekerasan terakhir terjadi dua pekan lalu ketika sekelompok orang merusak sebuah Gereja Koptik di Provinsi Aswan, sekitar 800 kilometer sebelah selatan Kairo.
Ini merupakan kerusuhan sektarian terbesar sejak Husni Mubarak lengser dari kursi kepresidenan pada Februari silam. Pada Maret lalu, 13 orang tewas dalam bentrokan antara umat Islam dan Koptik di Lapangan Tahrir. Dua bulan kemudian, 12 orang kehilangan nyawa dalam serangan terhadap sejumlah gereja.
Massa menuding tayangan berita di stasiun televisi pemerintah, yang menyebut umat Kristen berusaha merusak persatuan rakyat dan militer, justru menyulut kebencian terhadap umat Kristen.
Sejumlah saksi mata mengatakan para pengunjuk rasa diserang orang-orang bersenjata tongkat, pedang, bom api, dan senjata api. Mereka bertindak beringas. Pria dan wanita yang mereka curigai ditarik keluar dari taksi atau kendaraan pribadi. Menurut mereka, polisi dan pasukan militer tak bertindak apa-apa.
Salah seorang korban, Rami Attef, mengisahkan kekerasan menjadi tak terkendali setelah kendaraan militer menerobos trotoar dan melabrak kerumunan orang. Korban pun bergelimpangan. Peluru berdesingan di sekitar mereka. Kakinya cedera diterabas truk militer. Beruntung, dia masih tertolong setelah sejumlah orang menariknya. "Kami tidak akan pernah berharap lagi tentara melindungi kami," kata Rami.
Namun anggota Dewan Militer, Jenderal Adel Emara, mengatakan ada orang bersenjata yang sengaja menyusup di antara massa. "Tidak benar ada kendaraan militer yang melabrak orang. Pasukan justru berusaha menghindari kerumunan," kata dia.
Amnesty International menyatakan beberapa korban tewas akibat luka tembak. Seorang dokter rumah sakit Koptik mengatakan 14 dari 17 korban tewas yang dibawa ke rumah sakit itu menderita luka tembak. Sedangkan tiga lainnya remuk tubuhnya.
Seorang pengusaha setempat yang ikut berunjuk rasa, Hesham Fathi, mengatakan aksi itu sama sekali tak berpotensi rusuh karena perempuan dan anak-anak ikut serta. "Tidak ada pengacau sama sekali," ujar pria 46 tahun itu.
Dia menuding sejumlah orang di Dewan Militer, penguasa sementara Mesir, berada di balik insiden itu. "Beberapa dari mereka loyal kepada rezim yang terguling," katanya. "Kini hidup lebih berat buat umat Kristen."
Mantan Perdana Menteri Amir Moussa yakin bentrokan itu bukan dipicu oleh sentimen agama. Dia justru menyalahkan kelompok garis keras yang berusaha mengacaukan revolusi. "Situasinya kritis dan ada bahaya perang saudara," ujar pria yang dijagokan dalam pemilihan presiden mendatang tersebut.
Banyak aktivis menuding para jenderal mengambil keuntungan dari keamanan negara yang longgar. Tujuannya adalah berkuasa selama mungkin untuk mendapatkan kandidat terkuat calon presiden.
Pemerintah transisi menjadwalkan pemilihan presiden berlangsung akhir tahun depan. Artinya, militer akan berada di tampuk kekuasaan hampir dua tahun sebelum presiden baru terpilih.
"Kami semua tahu Dewan Militer sedang berusaha menaburkan perselisihan agama untuk tetap berkuasa dan memperpanjang undang-undang darurat," kata aktivis muslim Maha Adel Qasim, 28 tahun. Dia ikut berdemo bersama umat Kristen di luar rumah sakit tempat jenazah korban disemayamkan.
Mariam Ayoub, yang kerabatnya, Michael Mosaad, tewas dalam bentrokan itu, mengatakan militer menebar hasutan agar tetap berkuasa. "Mereka mengatakan kepada kami, inilah yang terjadi tanpa undang-undang darurat."
Dalam pernyataannya, Gereja Koptik mengungkapkan kekerasan terhadap mereka terus berulang dan para pelaku kejahatan tak pernah dihukum. "Keyakinan Kristen menolak kekerasan. Orang asing menyusup dalam unjuk rasa dan melakukan kejahatan yang ditimpakan kepada umat," kata pemimpin Gereja Koptik, Paus Shenouda III, yang berada di antara para pendeta dalam acara doa untuk para korban.
Pernyataan itu merefleksikan tumbuhnya ketakutan di antara umat Koptik, yang berjumlah 10 persen dari 85 juta penduduk Mesir, terhadap kekerasan terhadap mereka karena longgarnya keamanan.
Para pelayat menuding Dewan Agung Angkatan Bersenjata (SCAF) dan pemimpinnya, Jenderal Hussein Tantawi, bertanggung jawab atas tewasnya para pengunjuk rasa yang sedang memperjuangkan kesamaan hak. "Militer tak perlu membunuh orang-orang ini dalam situasi apa pun," kata Michel Agib, 24 tahun.
Michel mengisahkan aksi itu berlangsung damai. Namun dia sadar kapan saja bisa menjadi korban. "Kalau kami punya kekuatan mengangkat senjata seperti dikatakan sejumlah orang, kami tentu tidak akan membiarkan gereja kami dirusak."
Mohammed Tolba, tokoh muda muslim konservatif dan pendiri Gerakan Salafi, mengklaim keretakan hubungan antara umat Kristen dan Islam di negeri itu hanya menguntungkan pemerintah militer untuk memperpanjang kekuasaannya. Menurut dia, penguasa akan menjadikan situasi tak menentu itu sebagai alasan kepada dunia Barat, terutama Amerika Serikat, bahwa demokrasi belum bisa dijalankan di Mesir. "Penguasa akan beralasan tak dapat menerapkan demokrasi karena rakyat tak siap," kata Tolba, yang tegas menolak sekularisme.
Kerusuhan ini membayangi pemilu parlemen, yang akan digelar 28 November mendatang. "Kami menjamin situasi yang aman untuk pemilu parlemen," kata Jenderal Adel Emara.
Anggota Dewan Militer lainnya, Jenderal Mahmoud Hegazy, menyeru umat Kristen dan Islam bersatu. "Angkatan bersenjata tak akan pernah menyerang rakyat," kata Hegazy.
Perdana Menteri Mesir Essam Sharaf menyalahkan campur tangan pihak asing atas insiden itu dan menyebutnya sebagai konspirasi kotor. Alih-alih bergerak maju membangun negara modern di atas prinsip-prinsip demokrasi, dia menilai Mesir justru mundur dalam stabilitas. "Kami mencari tangan-tangan tersembunyi, baik asing maupun lokal, yang mencampuri keamanan dan keselamatan negara," ujarnya.
Amerika Serikat prihatin atas aksi kekerasan tersebut. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton meminta pemerintah Mesir menghormati hak asasi setiap warga negara, termasuk kebebasan beragama, dan menghentikan pengadilan militer terhadap warga sipil. "Upaya-upaya itu harus dilakukan untuk mencegah ketegangan sektarian," ujar Hillary.
Sapto Yunus (Reuters, Egypt Daily News, Ahram Online)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo