Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman kematian di meja operasi menghantui keluarga besar dokter Daniel, sebut saja begitu. Bahkan, untuk operasi yang tergolong ringan pun, misalnya operasi amandel, nyawa bisa menjadi taruhan. Tak tanggung-tanggung, ancaman itu berlaku bagi semua keluarga di bawah garis keturunan kakek Daniel, Handoko—juga bukan nama sebenarnya.
Bisa dibayangkan, ada belasan, malah puluhan, orang yang selalu dag-dig-dug jika suatu saat ada di antara mereka yang harus menjalani operasi, apa pun jenisnya. Hitung saja, Daniel adalah anak kedelapan dari sepuluh bersaudara. Sedangkan Handoko memiliki lima saudara lagi. Kini semuanya sudah beranak-pinak. Bahkan Handoko dan adik-adiknya sudah punya cucu.
"Hingga saat ini, sudah dua anggota keluarga meninggal di meja operasi," kata Daniel kepada Tempo di Jakarta, Kamis dua pekan lalu. "Keponakan saya nyawanya tak bisa diselamatkan saat operasi amandel, sedangkan kakak meninggal saat menjalani operasi saluran kemih." Dua keponakan yang lain juga sempat terancam jiwanya saat menjalani operasi tulang belakang. Beruntung, nyawa keduanya masih bisa diselamatkan.
Dari keempatnya, ada gejala yang sama, yakni suhu tubuh melonjak tinggi mendadak setelah dibius untuk keperluan operasi. Menurut para dokter yang menangani, kata Daniel, gejala naiknya suhu tubuh secara drastis itu merupakan penanda terjadinya malignant hyperthermia alias hipertermia ganas.
Becermin dari empat kasus itu, jika ada anggota keluarga yang mau operasi, musyawarah keluarga pasti dilakukan. Tujuannya agar tak ada lagi nyawa yang melayang karena "mendadak panas" itu. "Kita tak mau ambil risiko," kata Daniel, yang juga dokter spesialis penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Kasus hipertermia ganas, seperti dialami keluarga Daniel, menjadi sorotÂan para dokter anestesi dalam ASEAN Care for Malignant Hyperthermia di Jakarta pada akhir bulan lalu. Sekitar 80 dokter anestesi yang hadir dan bergabung dalam Perhimpunan Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia mengaku pernah menemui kasus serupa. Saat ini total anggota perhimpunan sekitar 800 orang.
"Walhasil, sementara sebelumnya dianggap langka, ternyata di lapangan tidak begitu," kata dokter Susilo Chandra, Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM, salah satu panitia, "Meski jarang, malignant hyperthermia sangat fatal dan mengancam jiwa pasien."
Menurut Profesor Amir Madjid, kolega Susilo di Departemen Anestesi FKUI-RSCM, pada prinsipnya hipertermia ganas adalah suatu sindrom atau kelainan yang timbul karena dipicu pemberian obat anestesi hirup (inhalasi), seperti halothane. Sindrom ini juga bisa dipicu pemberian obat pelumpuh otot yang dipakai dalam anestesi, yakni suksinilkolin.
Setelah mendapat obat anestesia, pasien yang mengalami hipertermia ganas akan kaku ototnya, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 40 derajat Celsius atau lebih—suhu normal 36-37,5 derajat Celsius—dan kejang-kejang. Gejala yang lain adalah peningkatan volume karbon dioksida di dalam darah, sehingga meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Selain itu, muncul pernapasan cepat dan pendek.
Amir menegaskan, sindrom ini hanya bisa terjadi pada orang yang mempunyai kelainan metabolisme pengeluaran panas pada otot, dan sifatnya heriditer alias diturunkan. "Kasusnya jarang tapi mematikan," kata dia. "Saya baru sekali mengalami kasus serupa. Pasien meninggal karena tidak ada obatnya."
Secara spesifik, Tae W. Kim, pembicara dari Departemen Anestesiologi Rumah Sakit John Hopkins Baltimore, Amerika Serikat, menyebut cacat gen RYR1 (ryanodine receptor 1) sebagai biang terjadinya hipertermia ganas. Aslinya, gen ini bertugas mengatur pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasmik—semacam membran sel dengan cairan yang mengatur fungsi tertentu—untuk mengatur kontraksi otot.
Lantaran ada cacat, pelepasan kalsium menjadi tidak terkontrol dan mendongkrak aktivitas metabolisme, termasuk pada otot rangka. Walhasil, kelainan metabolisme pengeluaran panas pada otot tak terhindarkan, sehingga terjadi hipertermia. "Angka kejadiannya bervariasi, dari 1 : 5.000 sampai 1 : 100 ribu pasien yang diberi obat anestesi," kata Kim.
Untuk mengatasi hipertermia ganas, pemberian dantrolen adalah kuncinya. Obat pelemas otot ini bekerja langsung pada reseptor ryanodine dengan menghambat pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasmik. Dengan pemakaian dantrolen, kematian akibat sindrom ini bisa ditekan dari sebelumnya 80 persen menjadi kurang dari 10 persen. Sejauh ini, dantrolen dikenal sebagai satu-satunya obat yang diketahui efektif mengatasi hipertermia.
Celakanya, di Indonesia, obat yang tokcer ini tidak tersedia di pasaran. Itu pula yang dikeluhkan kalangan dokter anestesi. Mungkin, lantaran kasusnya dianggap langka, pemerintah dan distributor farmasi ogah menyediakan obat ini. Karena itu, jika terjadi malignant hyperthermia, menurut Susilo, dokter hanya memberi terapi konvensional. Misalnya memberikan oksigen murni, mengompres pasien, atau memberikan infus dingin. Cuma, hasilnya tidak sebaik dibanding dengan pemberian dantrolen.
Di Indonesia—seperti penyakit lainnya—tidak diketahui secara pasti besaran kejadian hipertermia ganas ini. Namun, yang pasti, hampir semua dokter anestesi pernah menemukan kasusnya. Menurut Susilo, buruknya registrasi kasus selama ini merupakan pekerjaan rumah yang mendesak untuk dibenahi. Dengan begitu, bila suatu kasus terjadi, penelusuran terhadap anggota keluarga yang lain, termasuk siapa yang menurunkan sindrom tersebut, bisa dilacak.
Penelusuran itu pulalah yang dilakukan keluarga Daniel, dan ditemukan bahwa kakeknya adalah pembawa faktor keturunan tersebut. Dantrolen pula yang menyelamatkan salah satu keponakannya saat operasi kedua, setelah operasi pertama suhunya melejit tiba-tiba sehingga operasi dibatalkan. Tentu saja obat itu harus dicari sendiri ke luar negeri.
Cara lain agar hipertermia tak datang lagi, Daniel melanjutkan, pembiusan diganti dengan intravena, yakni suntikÂan lewat pembuluh darah vena, bukan dengan inhalasi. Efektivitas penggantian itu diakui para dokter anestesi, meski, menurut Susilo, tindakan itu tidak sepi dari risiko. Salah satunya adalah kesadaran (awareness) yang tetap bertahan, seberapa pun kadarnya, sehingga pasien masih bisa merasakan saat menjalani operasi, sehingga berpotensi memunculkan trauma. "Jadi memang ada plus-minusnya," kata Susilo.
Di RSCM, kini ada satu kamar operasi yang tidak menggunakan pembiusan inhalasi, melainkan melalui intravena. Keberadaan kamar ini penting jika sewaktu-waktu ada pasien dari keluarga yang memiliki riwayat hipertermia ganas sehingga sindrom tersebut tidak muncul. Untuk menghindari pasien tetap sadar setelah dibius, kata dia, "Dilakukan pemantauan kesadaran dengan alat khusus."
Ihwal pengadaan dantrolen, yang harga satu ampulnya lebih dari sejuta rupiah, perhimpunan dokter anestesi berencana bertemu dengan Menteri Kesehatan Endang Sri Rahayu Sedyaningsih. Mereka akan meminta tanggung jawab pemerintah untuk pengadaan dan pembiayaan dantrolen, setidaknya bagi rumah-rumah sakit pemerintah.
Terhadap rencana itu, Menteri Endang menyatakan siap menerima dan mendengarkan keprihatinan para dokter anestesi tersebut. Jika sudah ditentukan waktunya, pertemuan akan dihadiri juga oleh pejabat Direktorat Jenderal Bina Farmasi Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan agar diketahui pokok soalnya kenapa dantrolen belum ada di Tanah Air. "Solusi akan kita bahas bersama," kata Endang.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo