KERJA sama ekonomi ASEAN? Siapa pula yang peduli. Itulah sinisme yang selalu membayang-bayangi setiap pertemuan ASEAN mulai dari tingkat menteri sampai tingkat kepala negara. Ternyata, tidak semua pesimistis, terutama golongan akademikus yang mengharapkan ada hasil kongkret, kendati mereka juga tahu bahwa itu tidak mudah. Kalau dikaji lebih jauh, bidang kerja sama ekonomi regional inilah yang terus-terusan ketinggalan kereta api ketimbang bidang politik umpamanya. Selama ini ASEAN telah tampil sebagai satu kekuatan politik yang bersatu dan tak bisa diremehkan. Organisasi ini teruji dalam menghadapi ancaman komunisme, masalah Kamboja dan tingkah laku Vietnam. Juga boleh dipuji dalam cara mengatasi soal pengungsi dan "orang-orang perahu", misalnya. Tapi soal ekonomi? Sampai pertemuan pendahuluan di Bali, November baru lalu, belum bisa dipastikan akan ada terobosan baru atau tidak. Malah terbetik berita ada silang pendapat yang cukup runcing. Pada saat yang sama diisyaratkan bahwa kelak ada juga yang penting, tapi tak jelas apa. Ternyata, para pakar ekonomi ASEAN tidak mau pulang hampa tangan. Pada hari pertama KTT, Senin sore pekan ini, para kepala negara dan pemerintahan ASEAN menyetuJui empat rancangan persetujuan, yang semuanya disiapkan untuk meningkatkan serta melindungi perdagangan 8 investasi di keenam negara anggota. Perlu dicatat, persetujuan itu disetujui dalam waktu kurang dari satu jam. Adapun rancangan itu menetapkan: 1. keringanan cukai ditingkatkan dari 25 menjadi 50 persen, untuk produk-produk tertentu 2. hambatan nontarif seperti kuota dan subsidi akan dikurangi atau dibekukan sama sekali 3. investasi antara sesama anggota ASEAN diperluas dan dilindungi 4. kerja sama industri ditumbuhkan. Sebagai konsesi untuk investor yang datang dari luar ASEAN, ditetapkan hak pemilikan usaha sampai setinggi 60 persen, sementara tiap negara ASEAN paling sedikit 5 persen. Mungkin rancangan ini yang membuat Jusuf Wanandi, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Masalah-Masalah Internasional dan Strategis, merasa optimistis. Ia menolak anggapan bahwa ASEAN hanya sekadar wadah untuk forum komunikasi atau konsultasi belaka. Banyak keputusan ekonomi yang telah dihasilkan, demikian menurut Jusuf. Ia menunjuk pada AIC (ASEAN Indstrial Complementation, 1981) dan AIJV, 1983. Walaupun demikian,ia tak menolak anggapan bahwa kedua proyek itu tak berjalan semulus yang diharapkan. Kalau tidak salah, rancangan itu menelurkan dua persetujuan perdagangan yang diratifikasi Selasa, 15 Desember 1987. Dokumen pertama merupakan suatu protokol yang merumuskan lebih jelas pengaturan perdagangan preferensi (PTA -- Preferential Trading Arrangement) intra-ASEAN. Itu merupakan pengesahan atas segala yang telah disetujui para menteri perekonomian dalam pertemuan mereka Juli lalu di Singapura. Dalam PTA tersebut telah disetujui bahwa produk-produk tertentu yang dibuat di ASEAN akan dikenai cukai lebih rendah, apabila diperdagangkan di kalangan ASEAN sendiri. Para menteri perekonomian sama-sama setuju, sebagai program jangka panjang, ASEAN akan berusaha memperbanyak volume dan nilai barang yang akan dikenai peraturan tersebut. Dokumen kedua adalah sebuah memorandum saling pengertian (MOU - Memorandum of Understanding) yang berisi seruan kepada semua anggota, untuk segera menyingkirkan segala pembatasan nontarif. Itu biasanya berbentuk pelbagai peraturan administratif yang menunjang berfungsinya Singapura sebagai pelabuhan perdagangan entreport. Di sini jelas MOU sangat menguntungkan para saudagar Singapura. Sampai saat ini, para anggota ASEAN, terlebih-lebih Indonesia dan Malaysia, lebih suka berdagang langsung ketimbang menggunakan kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh Singapura. MOU itu mengatakan "dapat mengerti" keinginan Indonesia dan Malaysia, yang selalu mendorong para eksportirnya untuk berdagang langsung dengan konsumen produk mereka. Mungkin karena itu akan diciptakan suatu Persetujuan Umum tentang Perdagangan dan Tarif (GATT - General Agreement on Trade and Tariff) yang membuat "perdagangan potong kompas", artinya tanpa melalui pihak atau negara ketiga, sebagai suatu kebijaksanaan "haram" (illegal). Sebenarnya, pasal-pasal untuk menyingkirkan semua rintangan nontarif telah dimasukkan ke dalam PTA 1977, yang dipersiapkan menjelang KTT kedua di Kuala Lumpur. Namun, lantaran berbagai "kesulitan teknis", rancangan itu tidak dapat dijalankan. PTA dan MOU yang baru pun tampaknya tak bebas dari faktor-faktor teknis itu. Terbukti dari pernyataan para menteri, bahwa kedua rancangan peraturan itu memerlukan waktu 18 bulan untuk penggodokannya. Dalam keterangan kepada para wartawan, pejabat tinggi ekonomi ASEAN mengatakan, kedua persetujuan itu merupakan suatu langkah ke arah terbentuknya suatu pasaran bersama ASEAN. Malah, Menlu Filipina Raul Manglapus berpendapat, persetujuan penting itu akan membantu usaha memperkukuh ASEAN sebagai organisasi ekonomi regional. Sampai saat ini halangan utama untuk tercapainya suatu perdagangan intra-Asean yang sehat dan menguntungkan -- dengan menggunakan prinsip-prinsip PTA -- adalah apa yang dinamakan dengan "daftar komoditi yang dikecualikan". Muangthai, misalnya, merupakan negara dengan daftar perkecualian yang paling panjang, karena berisi dua periga dari barang impornya. Sebagai akibatnya, PTA hanya meliputi 5% dari volume US$ 25 milyar volume perdagangan di kalangan ASEAN. Untuk menembusnya, ada satu usul kunci: daftar perkecuahan untuk setlap negara hanya dibatasi sampai 10% dari impornya. Para menteri keuangan yang berkumpul di Manila itu semuanya setuju bahwa ASEAN harus memberi peluang lebih besar atas hubungan dan dialog yang sudah ada dengan Amerika, Australia, Selandia Baru, MEE, dan Jepang. Mereka pun menganjurkan agar ASEAN menganut pendekatan kelompok atas problem-problem ekonomi internasional. Tapi, yang lebih penting, kata mereka, justru terletak pada usaha bersama untuk mendorong perdagangan intra ASEAN dalam bidang industri, perdagangan, dan investasi. Adapun rancangan empat pasal, yang disebut pada awal laporan ini, merupakan lanjutan dari masa lalu, ketika telah ada bermacam usaha memajukan kerja sama industri melalui program-program yang disebut Implementasi Industri ASEAN (AIP - ASEAN Industrial Implementation) dan Usaha Patungan Industri ASEAN (AIJV ASEAN Industrial Joint Ventures) ternyata jauh dari sukses. Sampai sekarang baru ada lima proyek AIP: superfosfat di Filipina, pembuatan mesin diesel di Singapura, bubuk soda di Muangthai, dan pabrik pupuk dl Malaysia dan Indonesia. Menurut rencana, pemerintah tuan rumah seharusnya menguasai 60% saham proyek-proyek itu dan sisanya diambil oleh negara anggota masing-masing 10%. Tapi, hanya Indonesia dan Malaysia yang telah menunaikan kewajibannya. Filipina meninggalkan garapannya, lantaran studi kelayakan menunjukkan biayanya akan lebih mahal ketimbang harga superfosfat di pasaran dunia. Singapura mengikuti jejak Filipina, karena munculnya saingan dari anggota ASEAN sendiri dalam pemasaran mesin diesel. Kemudian diciptakanlah AIJV yang mestinya lebih mudah penyelenggaraannya. Untuk mendirikan sebuah proyek di bawah rancangan ini diperlukan paling tidak dua negara peserta, yang akan menguasai paling sedikit 51% saham, agar memenuhi syarat memperoleh tarif preferensi yang disebut MoP -- Margin of Preference yang tingginya 50%. Tapi, sebegitu jauh AIJV yang telah disetujui hanya terbatas pada proyek-proyek tertentu, seperti suku cadang mobil dan motor, kertas-kertas berharga, dan penyembelihan hewan. Tujuan ASEAN dalam bidang ekonomi setelah KTT terakhir ini adalah untuk meningkatkan investasi baik ke dalam maupun di kalangan ASEAN sendiri paling sedikit 10% dari jumlah seluruh investasi asing menjelang akhir abad ini. Tapi, sebegitu jauh, belum ada keputusan, apalagi tindakan nyata untuk mencapai tujuan itu. Tapi, dari hal-hal yang disebutkan di atas nyatalah bahwa sudah muncul "kemauan politik" dari semua pihak untuk tercapainya suatu kerja sama ekonomi dan industri intra ASEAN yang lebih luas dan lebih kukuh. Faktor tak hadirnya "kemauan politik" ini telah lama dianggap momok terbesar untuk tercapainya tujuan tersebut. Apa di balik keengganan dan ketakberhasilan selama ini? Dan apa pula yang menimbulkan dorongan untuk paling tidak memulai langkah ke arah itu? Ada beberapa alasan pokok yang memacetkan kerja sama ekonomi ASEAN. Yang tampaknya klasik adalah pendapat bahwa semua anggota ASEAN adalah penghasil komoditi yang sama: kopi, kelapa sawit, karet, produk kerajinan tangan, dan minyak bumi beserta hasil sampingannya. Mereka pun mengekspor komoditi tersebut ke tujuan yang sama, sehingga kompetisi tak bisa dielakkan. Orientasi ekspor, ditambah dengan tidak adanya saling mengisi dalam perekonomian negara-negara anggota, telah menyebabkan kerja sama ekonomi tak penting buat mereka. Itu ditambah lagi dengan kenyataan ASEAN sangat bergantung pada negara-negara industri dalam pemasaran, teknologi, dan investasi. Menurut ekonom UI Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, ASEAN, dalam bentuknya seperti sekarang, hanyalah berujuan menciptakan kondisi dan sarana institusional bagi suatu integrasi ekonomi yang bisa bekerja efisien. Tapi target dan jangka waktunya belum dlrumuskan dengan Jelas. Dengan demikian, setiap keputusan, baik yang mengenai proyek-proyek maupun tentang kerangka waktunya, selalu diambil atas dasar prinsip ad-hoc. Cara pengambilan keputusan dalam ASEAN didasarkan pada asas musyawarah dan mufakat. Sebagai akibatnya, setiap keputusan atau jalan keluar mesti mempertimbangkan kepentingan nasional setiap anggota. ASEAN cenderung menghindar dari setiap keputusan yang merugikan salah satu anggota, demi terpeliharanya harmoni dan mencegah friksi. Lalu faktor apa yang mendorong adanya kerja sama yang lebih luas? Ekonomi dunia dalam tiga dasawarsa terakhir ini makin saling bergantung, terintegrasi. Tak ada satu negara pun yang bisa berdiri sendiri. Prinsip "berdikari" sudah lama ditinggalkan, dan agar tidak "dimakan" oleh negara-negara industri, ada baiknya bagi ASEAN untuk menentukan kesamaan sikap. Yang juga mendorong kerja sama lebih erat adalah perkembangan politik dan ekonomi di Asia Timur sendiri. Glasnost Uni Soviet merupakan salah satu prakarsa memperbaiki ekonomi. RRC sudah lama mencoba liberalisasi ekonomi dan menjalin hubungan baik dengan negara-negara kapitalis. Demikian juga Vietnam, yang tiba-tiba saja lebih membuka diri terhadap dunia luar. Ketiga negara di atas adalah penganut komunisme ideologi yang diharamkan di ASEAN. Keberhasilan pembangunan ekonomi ketiga kekuatan di atas akan merupakan ancaman terhadap kawasan ini, baik dari segi militer, politik, maupun ekonomi. Karenanya, ASEAN harus berpacu dengan waktu. Dan untuk itu cara yang terpenting adalah kerja sama dl antara negara anggota sendi, dalam segala bidang. Yang akan jadi persoalan hangat juga dalam KTT ini adalah soal pembagian atas bantuan ekonomi Jepang yang berjumlah US$ 2 milyar. Untuk itu Menlu Filipina Raul Manglapus mengatakan, masihada ganjalan terhadap penjatahannya. Masalahnya, kata Manglapus lagi, terletak pada ketimpangan perkembangan ekonomi di kalangan negara-negara ASEAN. "Ada negara yang memang membutuhkan sedikit saja, ada juga yang perlu banyak. Kita harus menemukan formula yang memuaskan semua pihak. Saya kira suatu kompromi akan tercapai," kata Manglapus lagi. Isu bantuan Jepang ini lebih merisaukan, lantaran Singapura dan Brunei, yang dianggap tak memerlukan bantuan keuangan, sekarang ingin juga turut menikmatinya. B.G. Lee dari Singapura mengatakan, "Mana mungkin bantuan itu bisa disebut untuk ASEAN, apabila Singapura dan Brunei tidak ikut kebagian." Seorang pejabat tinggi Filipina menerangkan paling tidak Brunei dan Singapura boleh ikut berbicara dalam pengelolaan dana tersebut. Para menteri keuangan ASEAN meminta agar Jepang tidak mengaitkan bantuan tersebut dengan syarat-syarat lain. Jepang mengatakan mekanisme pemberian bantuan nantinya akan memprioritaskan negara-negara yang memang memerlukannya. Tapi sebuah sumber yang dekat dengan kantor perdana menteri Jepang mengatakan, satu-satunya syarat mengikat adalah dikecualikannya Singapura dan Brunei dari kemungkinan turut menikmatinya. PM Jepang Takeshita yang segera akan berangkat ke Manila mengatakan, rincian bantuan itu akan diumumkan dalam KTT nanti. "Itu dimaksudkan untuk merangsang investasi swasta di ASEAN," katanya. KTT ASEAN yang dewasa ini sedang berlangsung merupakan suatu tonggak bersejarah. Karena lain dari pertemuan-pertemuan rutin yang biasanya lebih menitikberatkan pada topik-topik politik, KTT kali ini menempatkan masalah ekonomi sebagai agenda utama. Sekarang tinggal menunggu, adakah keputusan yang sudah disahkan oleh para pemimpin ASEAN dapat dilaksanakan secara konsekuen. A. Dahana, Didi Prambadi, Ahmed K. Soeriawidjaja (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini