TAK pelak lagi, pertemuan puncak di Manila akan sarat berdebat tentang kerja sama ekonomi. Dalam agenda, topik itulah memang yang terpenting. Orang tentu mau tahu, apa saja faktor pendorongnya, dan apa pula penghambatnya. Itulah yang ditanyakan TEMPO kepada sejumlah pengamat ahli di beberapa ibu kota ASEAN. Pendapat mereka: DORODJATUN KUNTIOROJAKTI, Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kita jangan mengharapkan keuntungan secara cepat dari kerja sama ekonomi ASEAN. Asosiasi tersebut merupakan sebuah kerja jangka panjang yang, dalam segi ekonomi, keuntungannya baru bisa dinikmati satu generasi lagi. Atau paling tidak 20 tahun lagi. Lihat saja perkembangan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang sudah berusia jauh lebih lama, dengan infrastruktur yang lebih lengkap, masih banyak menghadang. Yang penting, solidaritas yang sudah terbentuk harus dipertahankan. Banyak dimensi lain dari kerja sama regional, tak melulu segi ekonomi. Tak bisa dipungkiri faktor eksternalitasnya sudah kita nikmati. Misalnya, karena ada kerja sama di bidang keamanan, anggaran militer kita jauh lebih ringan. Dengan demikian, anggaran yang mestinya masuk ke sana bisa dialihkan kebidang lain. ASEAN Industrial Joint Ventures (AIJV) hendaknya bukan hanya di bidang usaha patungan, tapi perlu diperluas ke bidang-bidang lain. Misalnya, dalam bursa saham. Para investor suatu negara bisa membeli saham di negara anggota lainnya. Ada bahayanya: para pemodal membeli saham dengan uang "juragan" di Tokyo. Lebih dari itu, usaha bersama ini bisa ditingkatkan menjadi misalnya semacam ASEAN Incorporated. ASEAN belum berkembang, barangkali karena belum ada penarik picu berupa ancaman. Perkembangan mendatang di RRC bisa menjelma sebagai kekuatan ekonomi yang mengancam ASEAN. Jepang? Ia bukan ancaman lantaran ASEAN sudah terlalu jauh bergantung padanya. Tapi ada baiknya ASEAN tak cuma bergantung pada satu sumber. Hubungan Jepang-ASEAN bagaikan membawa telur dalam satu keranjang. Jika keranjangnya tumpah, semua telur pecah. Ada baiknya membawa telur dalam dua keranjang. Kalau satu tumpah, masih ada yang lain. Di ASEAN belum hadir seorang negarawan yang khusus memikirkan nasib ASEAN, baik dengan menulis atau dengan cara lain. Kerja sama regional semacam itu memerlukan seorang tenaga penggerak. Seorang tokoh seperti Menteri Keuangan Jean Mone di Eropa. MOHAMMAD ARIFF, Ketua Divisi Ekonomi Analitis, Fakultas Ekonomi dan Administrasi, Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Pada waktu pendiriannya, ASEAN lebih menonjolkan faktor politik ketimbang ekonomi. Baru pada KTT Bali (1976), setelah Vietnam menuding organisasi itu sebagai pakta militer, kerja sama ekonomi lebih mendapat perhatian Sejak itu, dan seterusnya, barulah dikeluarkan berbagai usulan, seperti PTA (persetujuan tarif preferensi), dan AIP (proyek industr bersama). Tapi dalam kenyataan belum banyak yang dapat dilaksanakan. Alias gagal. Hal lain yang menyebabkan ke gagalan kerja sama ekonomi adalal tak hadirnya political will untuk bisa saling menunjang produk masing-masing. Juga, tidak ada studi kelayakan. Jadi, yang selama ini berlangsung adalah, para anggota terlebih dulu menetapkan proyek-proyek yang akan dibangun. Dan baru sesudah itu disiapkan studi kelayakan. Seharusnya dibalik: studi kelayakan dulu, baru orang sebaiknya menetapkan proyek kerja sama apa saja yang layak dibangun. Yang bisa dibangun atas dasar itu hanya dua proyek urea: Satu di Indonesia, dan sebuah lagi di Malaysia. Tapi, yang menjadi pertanyaan: apa memang perlu bagi ASEAN untuk memiliki dua proyek yang sama. PTA memang telah banyak memberi kelonggaran dan pembebasan tarif bagi perdagangan intra-ASEAN. Meskipun demikian, perdagangan itu tetap saja tak berkembang. Sebenarnya, tarif bukan merupakan halangan besar, walaupun itu sampai setinggi 10-30%. Pembatasan-pembatasan nontarif yang justru jadi penghalang. Karena itu, segala rintangan nontarif harus disingkirkan. Struktur ekonomi segenap anggota ASEAN tak memberi peluang banyak untuk menciptakan kerja sama perdagangan regional yang rancak. Sebab, banyak komoditi mereka yang bersaing di pasaran. Sulit untuk mencari komoditi yang bisa saling menunjang atau bersifat komplementer. Kalau kita melakukan sesuatu untuk memajukan perdagangan ASEAN, implikasinya adalah biaya. Kalau tarif ditiadakan sama sekali, perdagangan intra-ASEAN boleh jadi akan naik sampai 50-60%. Tapi, bagaimana dengan biaya itu? Kerja sama sebenarnya bertujuan menurunkan biaya, bukan menaikkannya. Cara mengatasinya adalah dengan membiarkan kekuatan pasar yang menentukan. Perlu diciptakan suasana yang memungkinkan berperannya sektor swasta. Jadi, jangan sampai terjadi perdagangan yang dipaksakan di antara para anggotanya. Harus diingat bahwa tujuan utama ASEAN adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat, dan menciptakan suatu kerja sama ekonomi yang seragam. Jadi, menurut saya, kerja sama ekonomi yang paling baik adalah dengan memberi kebebasan sepenuhnya kepada swasta untuk berperan. Kekuatan pasar jauh lebih baik ketimbang pasaran bersama ASEAN. Jepang selalu memberi perhatian besar kepada ASEAN. Karena ASEAN merupakan pasaran penting baginya. Akibatnya, Jepang sering dikecam. Terutama menyangkut neraca perdagangan yang pincang -- ekspor Jepang ke ASEAN besar dan sebaliknya ekspor dari ASEAN ke sana terbilang kecil. Sebenarnya, itu tak usah terjadi, karena Jepang banyak menanam modal di ASEAN. Jepang dan ASEAN saling membutuhkan. Yang perlu bagi Jepang adalah meliberalisasikan pasarnya. JUANJAI AJANANT, ekonom, pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Chulalongkorn, Bangkok. Dalam format PTA seperti sekarang, tak banyak bisa diharapkan kerja sama ekonomi intra-ASEAN akan berjalan baik. Apalagi berkembang. Dalam bidang kerja sama industri, keadaannya sungguh mengecewakan. Boleh dibilang, tak ada kemajuan yang nyata. Juga dalam program AIJV yang mendorong keterlibatan unsur swasta. Karenanya, kerja sama ekonomi ASEAN bisa dikatakan gagal. Kerja sama ASEAN hanya terlihat secara nyata dalam bidang politik. Dalam bidang ekonomi, ASEAN tak lebih dari enam sistem ekonomi yang terpisah-pisah. Turun tangannya Jepang ke bidang investasi di ASEAN telah mendatangkan hal-hal yang menyedihkan. Sukses kerja sama ekonomi ASEAN, terutama di bidang industri, hanya akan merugikan Jepang. Kepentingan Jepang adalah: Bagaimana menarik keuntungan sebanyak mungkin, dan dalam jangka waktu yang panjang, dari suatu kerja sama industri. Ada dua siasat yang digunakan oleh Jepang, dan itu telah mendatangkan sukses baginya. Pertama, kerja sama industri tidak mereka lakukan sedini mungkin. Dengan cara itu barang-barang Jepang akan merajai pasaran. Setiap dua tahun Kamar Dagang Jepang sengaja mengusulkan investasi proyek-proyek yang, oleh semua anggota ASEAN, pasti akan ditolak. Kedua, Jepang selalu berusaha terlibat dalam setiap tingkat perkembangan suatu kerja sama industri. Badan Kerja Sama Internasional Jepang akan mengajukan suatu studi yang sering mengaitkan proyek tersebut dengan kepentingannya. Desain teknis dan kerekayasaannya memerlukan kehadiran penuh para ahli Jepang. Dengan demikian, setiap fase kemauan proyek itu terus bisa diamatinya. Suatu cara yang sungguh sejalan dengan keinginan dan kepentingan ekonominya. Taktik Jepang untuk membagi ASEAN ke dalam enam unit ekonomi yang satu sama lain terpisah tampaknya telah berhasil. Jepang tak menginginkan suatu ASEAN yang secara ekonomis bersatu, karena mereka percaya, itu akan mendatangkan ancaman bagi ekonomi Jepang. YOLANDA M. ALBANO, Wakil Presiden Allied Banking Corporation, salah satu bank swasta terbesar di Filipina. Hambatan utama dalam upaya mencapai terciptanya pasaran bersama ASEAN adalah, tak adanya kegigihan dari para kepala negara untuk membuat komitmen yang cukup untuk itu. Lain halnya dengan MEE. Di sana, semua negara memiliki kepemimpinan yang kukuh untuk menciptakan suatu kerja sama ekonomi yang berarti. Potensi untuk itu sebenarnya ada di ASEAN, tapi masih belum dapat berkembang. Di samping itu, negara-negara ASEAN masih menghadapi masalah sosial-politik dan pembangunan ekonomi dalam negerinya. Dengan demikian, soal hubungan ekonomi regional sering terkesampingkan. Di samping itu, ada faktor geografis yang tidak menguntungkan. Negara-negara ASEAN terdiri atas kepulauan. Akibatnya, sulit untuk menciptakan jalur transportasi ekonomi yang cepat, aman, dan singkat. Masalah bahasa, walaupun banyak yang menganggap sepele, ternyata juga cukup memainkan peranan. Tak semua negara ASEAN menguasai bahasa Inggris dengan baik. Akibatnya, karena faktor geografi dan bahasa itu, penyebaran informasi ekonomi intra-ASEAN agak terbatas, malah terhalang. Padahal, informasi merupakan unsur penting dalam membina dan mengembangkan suatu kerja sama ekonomi. A. Dahana, laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur), Didi Prambadi dan Ahmed K. Soeriawidjaja (Manila)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini