MANAKALA para pemimpin negara-negara Asia Tenggara seakan melancarkan "show-off force" dengan ber-KTT di Manila, maka pihak-pihak yang bermusuhan di negeri itu, dengan alasan berbeda, menggerakkan manuver yang sama. Kanan dan kiri unjuk kekuatan di sana. Semakin dekat hari KTT, semakin sengit mereka. Apa pun tampaknya dihalalkan, termasuk mempermalukan Presiden Cory Aquino di depan khalayak internasional. Apakah yang dicari bangsa Filipina? Jawabannya tidak bisa ditebak, seperti halnya bom-bom yang meledak di banyak tempat. Kuat dugaan rangkaian aksi bom dilakukan kelompok kanan. Terakhir Sabtu malam silam, sebuah granat -- yang dilemparkan dari sebuah mobil -- meledak di luar pagar depan kedubes Malaysia di Manila. Beberapa jam sebelumnya, 10 truk yang mengangkut puluhan gerilyawan komunis NPA (Tentara Rakyat Baru), menyerang pos militer di Distrik Muntinlupa, 25 km dari Manila. Inilah penyerbuan komunis terbesar -- dan paling berani -- ke dekat Metro Manila sejak 1950. Waktu itu pemberontak komunis pro-Soviet menyerang pos polisi tak jauh dari ibu kota. Dalam kontak senjata di Muntinlupa, selama 30 menit, para NPA sengaja membakar sebuah bis kosong di muka pos militer. Mereka juga melempar sejumlah batang dinamit dan sehelai bendera palu arit. Tak ada korban jiwa, hanya seorang sipil cedera. Tampaknya, rangkaian aksi teror itu mempunyai satu tujuan: menunjukkan kepada pihak luar betapa rapuhnya keamanan di Filipina. Dan betapa tidak berwibawanya pemerintahan Cory Aquino. Setidaknya itulah yang diakui Robert Eusebio, 42 tahun, seorang loyalis Marcos. Ahli elektronik yang ditangkap Kamis pekan lalu ini mengaku merakit sejumlah besar bom dinamit untuk seorang pendukung Marcos. Ia pun merakit tiga bom berkekuatan besar, yang sempat dijinakkan polisi di Balai Kota Manila dan di wilayah perkantoran Makati, di hari Kamis itu juga. Dua hari sebelumnya, sebuah mobil meledak di bandara Ninoy Aquino, Manila, dan di Makati, menghancurkan 4 mobil dan mencederai 6 orang. Tak pelak lagi, bom itu berasal dari rumah Eusebio, yang masih menyimpan 14 bom dengan 250 batang dinamit -- semua rencananya akan diledakkan saat KTT ASEAN berlangsung. Pengakuan Eusebio menambah kuat dugaan pihak keamanan selama ini, bahwa kelompok ekstrem kanan berada di belakang rentetan aksi bom di Manila -- termasuk ledakan di gedung PICC (Philippines International Convention Centre), tempat sidang KTT ASEAN awal pekan ini. Kelompok pemberontak Mayor Reynaldo Cabauatan, salah seorang pemimpin kudeta militer yang masih buron, memang pernah mengancam akan mengacaukan KTT ASEAN. Seperti diketahui, Cabauatan bersama Kolonel Gregorio "Gringo" Honasan dan Brigjen. Antonio Zumel terlibat kudeta militer yang gagal itu. Cabauatan dan Zumel hampir bisa dipastikan adalah pendukung setia Marcos. Tapi ketika keduanya masih berkeliaran entah di mana, Honasan ditangkap pasukan pemerintah di sebuah rumah di pinggiran Manila, Rabu pekan lalu. Tokoh kudeta militer kontroversial, yang kepalanya dihargai US$ 12.000 -- hidup atau mati -- ternyata tak bersembunyi jauh-jauh. Bahwa Honasan -- yang pada saat ditangkap, ditemani delapan pengikutnya dan sejumlah besar uang di sakunya -- dilindungi tokoh-tokoh kanan tertentu, mungkin ada benarnya. Selama ini beredar desas-desus, Honasan dibiayai dan diamankan oleh SenatorJuan Ponce Enrile, bekas menhan Filipina. Sinyalemen itu tidak meleset. Rumah persembunyian Honasan adalah milik Juan Guilermo Hernandez, bekas sekretaris Enrile. Tak heran jika beredar pula isu bahwa Enrile akan melancarkan kudeta -- sementara sang senator sibuk menentang penghapusan klaim atas Sabah. Dan dia berhasil. Tertangkapnya Honasan disambut rasa lega oleh pihak pemerintah. "Penang kapan itu akan menjamin perdamaian dan ketenteraman bangsa Filipina," kata Presiden Cory Aquino. Menurut Kastaf Filipina Jenderal Fidel Ramos, dengan Honasan dalam sekapan, berarti kelompok pemberontak yang dipimpinnya hanya tinggal 12 perwira dan kurang dari 100 prajurit. Jumlah ini jauh di bawah peserta kudeta yang 1.200 orang. Yang lainnya telah tertangkap. Honasan kini ditahan di sebuah kapal patroli AL Filipina ilo-ilo 32 di Teluh Manila. Ia akan dituntut pihak polisi atau tuduhan pembunuhan dan pemberontakan. Sekitar 53 orang tewas dalam aksi kudeta yang dipimpin tokoh militer cemerlang berusia 39 tahun ini, Agustus silam. Sementara itu, pihak militer secara terpisah juga menyiapkan mahkamah militer. Senator Enrile menyatakan akan menyiapkan kantor advokatnya untuk membela Honasan. "Saya menolong bukan karena punya hubungan baik, melainkan karena kewajiban membantu orang yang sedang kesusahan," kilah Enrile. Tapi nasib Honasan tergantung Presiden Aquino, yang kini disibukkan oleh penyelenggaraan KTT-ASEAN. Tertangkapnya Gringo Honasan, Rabu pekan lalu, tak dianggap mengurangi ancaman serius kelompok kanan. Menurut sejumlah pejabat militer Filipina, kelompok sayap kanan dianggap lebih berbahaya dalam aksi mengacaukan KTT -- khususnya kelompok Brigjen. Zumel -- ketimbang kelompok komunis. "Ia mengetahui cara kerja kami," ujar satu sumber militer. Kendati kalah aksi dalam mengacau KTT ASEAN ketimbang kelompok kanan, pihak kiri (baca: komunis) tetap merupakan ancaman utama bagi pemerintah Manila. Dengan teror yang dilancarkan 23.000 aktivis reguler NPA di seluruh Filipina, sekitar 300 orang -- termasuk warga sipil, tentara, dan pihak pemberontak sendiri -- tewas tiap bulan sepanjang tahun 1987. Angka-angka ini diperoleh dari pihak militer. Di Manila saja diperkirakan bercokol 1.200 anggota aktif NPA, yang lihai dalam membantai "orang-orang pemerintah". Selama tahun ini, kelompok pembunuh NPA -- yang lebih dikenal dengan Sparro Unit -- telah menewaskan 50 korban jiwa. Termasuk di dalamnya 3 tentara AS, yang dibantai di dekat pangkalan AU AS Clark, 80 km sebelah utara Manila, Oktober silam. Pemerintahan Cory memang akhirnya mengumumkan "perang total" untuk menghadapi teror bertubi-tubi pihak komunis itu. Toh, pasukan keamanan Filipina, sejauh ini, tak berhasil menghentikan aksi Sparrow yang kian gencar di Manila. Teror komunis tampaknya sukar ditanggulangi, karena para gerilyawan terorganisasi rapi dan sangat terlatih. Apalagi ada segelintir teroris Tentara Merah Jepang yang kabarnya datang khusus membantu mereka. Tertangkapnya biang teroris Tentara Merah yang bernama Osamu Maruoka, akhir November silam, di bandara Narita Tokyo, menyingkapkan bahwa ia baru ke Filipina, 18 hari lamanya. Ada kemungkinan Manila kini dijadikan salah satu basis Tentara Merah. Dari dokumen yang dibawa Maruoka terungkap, sejumlah anggota Tentara Merah yang selama bertahun-tahun bermukim di Manila, di antaranya Hiroshi Sensui, yang menghilang segera setelah Maruoka tertangkap. Selain Tentara Merah, pemberontak komunis Filipina juga diduga mendapat bantuan dari sejumlah negara komunis. Ini jelas-jelas diungkapkan oleh pemerintah Filipina, tapi dibantah oleh Satur Ocampo, salah seorang pemimpin teras CPP (Partai Komunis Filipina), dalam wawancara tertulisnya dengan majalah Far Eastern Economic Review baru-baru ini. "Tuduhan pihak militer itu sama sekali tak berdasarkan bukti Semua itu bagian dari manipulasi media untuk mengesahkan bantuan AS kepada pemerintah Aquino," kata Ocampo, yang sejak gencatan senjata antara pihak komunis dan pemerintah Filipina buyar, bergerak di bawah tanah. Pihak kiri juga membantah akan melakukan teror untuk mengacaukan KTT ASEAN. " 'Pasukan bersenjata' di Manila akan melanjutkan kebijaksanaan menembak sasaran terpilih di kalangan tentara dan polisi Filipina," ujar seorang anggota NPA seperti dikutip harian Asian Wall Street Journal. Padahal, sejumlah ancaman bertanda tangan NDF (National Democratic Front), kelompok induk yang menaungi 13 organisasi bawah tanah Partai Komunis Filipina, telah dilayangkan ke kedubes negara-negara anggota ASEAN dan kedubes Jepang di Manila. Ancaman untuk tidak menghadiri KTT ASEAN ini ditanggapi serius oleh pihak bersangkutan, walaupun, konon, keasliannya diragukan. Kendati demikian, yang pasti, ancaman serius terhadap stabilitas Filipina -- baik dari oleh pihak kanan maupun kiri -- bukan omong kosong. Ini sangat dlsadari pemerintahan Cory Aquino. Karena itu, untuk menghadiri KTT, "Tiap orang bebas membawa apa saja untuk melindungi diri sendiri," kata Menlu Manglapus. Walaupun kemudian ditambahkan, "Ini bukan hanya hajat Filipina, tapi juga hajat ASEAN ". Farida Sendjaja, kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini