Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Bibir Perang Saudara

Pertemuan serta-merta mandek. Sekretaris Jenderal Partai Nasseris Abdullah al-Noman menuding perunding kelompok Houthi, Mehdi al-Meshaat, mengancam akan menggunakan kekerasan jika kelompok lain tak menerima rencana mereka. "Bila kalian tak bertindak, kami akan mengambil tindakan," kata Meshaat. Pernyataannya oleh kelompok lain dianggap sebagai ancaman.

16 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan serta-merta mandek. Sekretaris Jenderal Partai Nasseris Abdullah al-Noman menuding perunding kelompok Houthi, Mehdi al-Meshaat, mengancam akan menggunakan kekerasan jika kelompok lain tak menerima rencana mereka. "Bila kalian tak bertindak, kami akan mengambil tindakan," kata Meshaat. Pernyataannya oleh kelompok lain dianggap sebagai ancaman.

Partai Nasseris, yang sebenarnya kecil, pun mundur dari perundingan. Partai yang lebih besar yang merupakan afiliasi Al-Ikhwan al-Muslimun, Islah, menyusul. Pembicaraan pada Senin pekan lalu itu mandek begitu sampai pada isu bagaimana memulihkan kekacauan di negeri yang dikenal sebagai inkubator kelompok militan Al-Qaidah dan kerap menjadi target serangan drone Amerika Serikat itu.

Maka, untuk sementara, Perserikatan Bangsa-Bangsa gagal dalam mengupayakan mediasi perundingan semua partai dan kelompok di Yaman, tiga hari setelah kelompok Houthi dengan sayap politiknya, Ansarallah, mendeklarasikan "kudeta". Pada Jumat pekan lalu, di Istana Kepresidenan di Sanaa, kelompok Houthi yang merupakan Syiah Zaidi mengumumkan pembubaran parlemen.

Sebagai penggantinya, mereka membentuk Dewan Nasional Transisional yang beranggota 551 orang. Dewan ini akan memilih dewan kepresidenan yang beranggotakan lima orang. Dewan ini akan mengisi kekosongan kursi presiden-yang ditinggalkan Abd Rabbu Mansour Hadi sejak 22 Januari lalu. Pemimpinnya adalah orang nomor satu di Komite Revolusioner Agung Houthi, Mohammed Ali al-Houthi, sepupu pemimpin Houthi, Abdel Malek al-Houthi.

Selain itu, mereka mengumumkan beberapa hal lain, di antaranya menetapkan masa maksimum dua tahun untuk menyelesaikan tahap transisional. Mereka juga mengumumkan kebijakan luar negeri berdasarkan komitmen bertetangga baik dan tak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, dan menggunakan cara damai untuk menyelesaikan bila ada sengketa.

Perkembangan mutakhir itu merupakan puncak dari serangkaian panjang perlawanan kelompok Houthi terhadap pemerintah di Sanaa.

****

MASYARAKAT Syiah Zaidi sudah ada di Yaman selama ribuan tahun. Hingga 1962, gerakan nasionalis Yaman membuat Yaman menjadi dua negara: Republik Arab Yaman atau dikenal dengan Yaman Utara dan Republik Demokratik Rakyat Yaman atau Yaman Selatan. Pada 1990, kedua Yaman bersatu menjadi Republik Yaman. Dalam setiap perkembangan itu, masyarakat Syiah Zaidi selalu tertinggal. Mereka tak mendapatkan kekuasaan atau pengaruh apa pun, baik politik maupun ekonomi.

Pada 2004, Hussein Badreddin al-Houthi, ulama dari Yaman Utara dan pemimpin masyarakat Houthi, melancarkan perlawanan terhadap pemerintahan Sanaa. Mereka menuntut otonomi yang lebih luas di kawasan utara. Juga perlindungan terhadap keyakinan mereka, Syiah sekte Zaidi, serta tradisi mereka yang selama ini ditekan oleh masyarakat Sunni.

Namun, beberapa bulan kemudian, Houthi tewas dibunuh tentara pemerintah. Para pengikutnya lalu menggunakan namanya dan meneruskan perjuangannya.

Setelah konflik bersenjata berkali-kali, pada 2010 kelompok Houthi di bawah kepemimpinan adik bungsu Hussein Badreddin al-Houthi, Abdel Malek al-Houthi, menyetujui gencatan senjata. Toh, situasi tak begitu berubah bagi mereka. Presiden Ali Abdullah Saleh, yang berkuasa di Yaman dengan tangan besi lebih dari 30 tahun, sebenarnya orang Syiah Zaidi. Tapi dia bukan sekutu Houthi.

Baru saat gelombang revolusi marak di kawasan negeri-negeri Islam pada 2011, Houthi semakin kuat, bersamaan dengan perlawanan rakyat terhadap Presiden Saleh. Akhirnya, setelah diperantarai Inisiatif Dewan Kerja Sama Teluk, Saleh setuju mundur, dan digantikan Wakil Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi.

Kenyataannya kehidupan rakyat Yaman tak berubah juga, termasuk Houthi. Kelompok Houthi unjuk gigi saat pemerintah mencabut subsidi minyak pada Juli 2014. Houthi, yang persenjataannya cukup kuat, mulai bergerak lagi.

Pada September tahun lalu, mereka mulai berhasil menguasai Sanaa. Mereka pun memaksa Perdana Menteri Mohammed Basindwa mundur. Tak sabar dengan Hadi, pada Oktober kelompok Houthi memberinya waktu 10 hari untuk membentuk pemerintahan baru, yang melibatkan perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat. Tapi gagal.

Sejak itu milisi-milisi bersenjata Houthi "menguasai" kantor pemerintah, parlemen, hingga rumah pejabat negara dan anggota parlemen. Presiden dan kabinetnya serta anggota parlemen seolah-olah berada di tahanan rumah, sampai kini. Hanya dua menteri yang tak dikenai tahanan rumah karena mereka bergabung ke kelompok Houthi, yakni Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri.

Hingga 22 Januari lalu, Presiden Hadi mengundurkan diri dari jabatannya. Pemerintahan benar-benar lumpuh.

PBB sebenarnya sudah mencoba memediasi konflik itu. Hingga beberapa hari sebelum kelompok Houthi mendeklarasikan pembentukan Dewan Nasional, perundingan masih berjalan. Bahkan hingga Kamis pekan lalu. Seorang anggota delegasi menyatakan sembilan partai dan kelompok, termasuk kelompok separatis Herak, setuju pembentukan Dewan Kepresidenan yang dipimpin Presiden Yaman Selatan sebelum unifikasi dengan Yaman Utara pada 1991, Ali Nasser Mohammed. Namun Partai Islah dan Sosialis masih belum memutuskan.

Kelompok Houthi memotong langkah dan secara sepihak mengumumkan rencananya tentang pemerintahan keesokan harinya.

****

DI luar ruang-ruang negosiasi, suasana negeri berpenduduk sekitar 24,5 juta orang itu memanas. "Tindakan sepihak kelompok Houthi mengganggu proses transisi politik di Yaman, menciptakan risiko terjadinya lagi kekerasan yang mengancam warga Yaman dan komunitas diplomatik di Sanaa," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika, Jen Psaki.

Pekan lalu Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis menutup kantor misi diplomatik mereka di Sanaa setelah menghancurkan dokumen-dokumen penting. Jerman menyusul. Bahkan dikabarkan persenjataan dan kendaraan Amerika direbut oleh milisi Houthi, yang kemudian disangkal oleh Amerika dan Houthi. Menurut Abdel Mali al-Ijri, anggota biro politik gerakan Houthi, dalam akun Facebook-nya, kendaraan Amerika "diminta" oleh otoritas bandara.

Gerah terhadap manuver Houthi, di Sanaa ratusan orang turun ke jalan. Tembakan ke udara oleh milisi mewarnai aksi menentang kudeta kelompok Syiah ini terhadap pemerintah. Di kota lain yang tak dikuasai milisi Houthi, Taiz, puluhan ribu orang juga turun ke jalan menentang "kudeta" Houthi. Mereka meneriakkan yel: "Revolusi hingga jatuhnya kekuatan kudeta."

Suara protes datang pula dari berbagai kelompok masyarakat. "Dewan Pemuda Revolusi Damai menolak pengumuman konstitusional Houthi, dan menganggapnya sebagai perebutan kekuasaan dan menghancurkan kehendak rakyat Yaman," demikian ditulis dalam pernyataan Dewan Pemuda Revolusi Damai yang diterima Tempo. "Dewan menyeru seluruh rakyat Yaman melawan hegemoni kelompok militan Houthi."

Penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2011, Tawakkol Karman, menyerukan hal serupa. "Kami menyeru seluruh rakyat Yaman untuk menolak kudeta ini dan melawannya hingga (mereka) jatuh, dan Ibu Kota yang diduduki dibebaskan," katanya dalam pernyataan yang juga diterima Tempo.

Selain itu, Karman mengimbau semua pemerintah provinsi yang tak dikuasai Houthi tetap menjalankan pemerintahan seperti biasa.

Seperti menyambut Karman, suku Marib mengumumkan tekad akan mengangkat senjata, menolak Houthi. Mereka, juga Al-Qaidah dan kelompok-kelompok lain, tampaknya bakal menghadirkan perlawanan serius bagi Houthi.

Meski begitu, milisi Houthi seperti tak terusik. Mereka terus memperluas wilayah kekuasaan. Mereka menguasai Provinsi Imran di utara hingga Sanaa, Hudaydah, Al-Baidaa, dan Ibb. Di wilayah-wilayah ini, mereka masih bertempur dengan Al-Qaidah. Selama ini Houthi menguasai sekitar 10 dari total 22 provinsi di Yaman.

"Negeri ini menghadapi masalah serius. Setelah 20 tahun hidup bersama dalam perbedaan, kini salah satu pihak menekan pihak-pihak lain menuju konfrontasi," kata Hamoud Munassar, Kepala Biro Al Arabiya di Sanaa.

Yaman di ambang perang saudara.

Purwani Diyah Prabandari (al Akhbar, Al Jazeera, The New York Times, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus