GARA-gara pertanyaan seorang wartawan, mungkin sampai awal bulan ini Muangthai belum punya perdana menteri hasil pemilu. Rabu pekan lalu, setelah bertemu siang malam di Central Plaza, hotel berbintang lima di Bangkok, partai Samakhitam berhasil membentuk koalisi. Partai yang dibentuk oleh tentara itu, yang meraih suara terbanyak tapi tak sampai menang mayoritas, berkoalisi dengan Chart Thai, Partai Aksi Sosial, Prachakorn Thai, dan Rassadorn. Dan koalisi tersebut sepakat menunjuk Narong Wongwan, ketua Samakhitam, untuk dicalonkan sebagai perdana menteri. Tibatiba dari kumpulan wartawan yang mengerubungi pimpinan koalisi itu, ada yang bertanya pada Narong. "Apa komentar Anda tentang beritaberita di surat kabar asing bahwa Anda tercatat dalam daftar hitam kedutaan Amerika di Bangkok karena terlibat industri narkotik?" Semula, Narong tampak gugup. Seorang ajudan berbisik di telinganya. Akhirnya, dalam bahasa Thai, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh rekannya, kata Narong: "Itu urusan saya. Akan saya jelaskan kepada umum nanti. Tuduhan itu tidak benar sama sekali." Segera saja, peristiwa yang berlangsung hanya dalam beberapa menit itu menyebarkan kesan negatif bagi tokoh yang dicalonkan sebagai perdana menteri ini. Segera saja pencalonannya banyak didiskusikan. Narong Wongwan, 67 tahun, adalah pengusaha jutawan kelahiran Provinsi Phrae di bagian utara Muangthai, dekat perbatasan daerah segi tiga emas yang dikenal sebagai sumber heroin terbesar di dunia. Menurut beberapa sumber yang dihubungi TEMPO, ia memang memiliki berbagai bisnis di daerah itu, antara lain peternakan sapi dan industri kayu. "Pernah ia memiliki sebuah hotel yang persis berada di perbatasan segi tiga emas," kata sumber itu. "Kini hotel itu sudah dijualnya pada pengusaha Hong Kong." Kecurigaan pada Narong muncul ketika seorang anak buahnya tertangkap di Australia karena memiliki heroin, dua tahun silam. Nama Narong diketahui tercatat pada daftar hitam kedutaan Amerika, setelah Juli tahun lalu permohonan visanya untuk ke Amerika ditolak. Penolakan itu atas rekomendasi dari Drug Enforcement Agency (DEA), agen pemberantasan obat bius Amerika. Agenagen DEA memang banyak ditempatkan di Bangkok dan di sekitar daerah segi tiga emas. Masalah Narong ini ternyata diakui resmi oleh pihak Departemen Luar Negeri AS pekan lalu. Maka, para diplomat Barat di Bangkok agak pusing menghadapi kemungkinan berurusan dengan seorang perdana menteri yang dituduh terlibat perdagangan atau pembuatan barang terlarang. "Bagaimana kami harus bersikap seandainya ia akan mengadakan kunjungan kenegaraan?" kata seorang diplomat Barat pada TEMPO. Narong terlibat dalam dunia politik sejak tahun 1979, ketika ia terpilih sebagai anggota parlemen pertama kalinya. Dahulu ia ketua Partai Ruam Thai, kemudian tahun lalu pindah ke Partai Samakhitam. Dalam kabinet Prem keempat ia pernah menjabat menteri pertanian, dan pernah menjabat wakil perdana menteri Chatichai Choonhavan. Kini orang menunggu, seandainya Narong tersingkir apakah dengan demikian pihak militer, yakni penguasa yang terdiri dari tiga jenderal dalam Dewan Pengamanan Nasional akan menentukan calonnya sendiri, yang konon orang "netral"? Sementara itu, bagi tokoh Partai Aspirasi Baru, bekas Pengab Jenderal Chavalit Yongchaiyudh, soal Narong menjadi perdana menteri masih belum pasti. "Jangan buruburu, ia baru calon. Namanya harus diajukan dulu oleh Jenderal Sunthorn pada raja untuk disetujui." Nah, jika Raja Bhumibol menolak, kesempatan akan jatuh pada Partai Aspirasi Baru, Partai Demokrat, dan Palang Dharma yang kabarnya akan membentuk koalisi untuk melawan koalisi Samakhitam, koalisi promiliter. Jadi, kata seorang pengamat politik di Bangkok, "Narong adalah langkah pertama dalam permainan catur politik di Muangthai." Selanjutnya ditunggu "reaksi dari umum, militer, dan dari luar negeri." Jika suara-suara tak menghendaki Narong, koalisi lawan akan diberi kesempatan mengusulkan calon perdana menteri. Tapi bila partaipartai gagal menentukan perdana menteri, kemungkinan besar militer akan mengambil keputusan soal perdana menteri ini. Apakah ini akan memancing keributan, misalnya demonstrasi mahasiswa, karena menganggap campur tangan militer tidak demokratis, itu soal lain. Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini