PARA konglomerat Korea Selatan bersorak, terutama kelompok Hyundai. Sejak Rabu pekan lalu, setelah hasil pemilu diumumkan, kaum pengusaha raksasa itu merasa mempunyai senjata untuk melindungi diri dari berbagai aturan pemerintah yang bisa merugikan. Partai Penyatuan Nasional yang didirikan bos Hyundai belum dua bulan lalu, menduduki urutan ketiga dalam pemilu Selasa pekan lalu itu. Soalnya Partai Penyatuan itu meraih 31 kursi dari 299 kursi parlemen, melebihi syarat minimal 20 kursi untuk mempunyai hak efektif dalam parlemen. Hingga partai ini bisa, misalnya, mengundang eksekutif untuk diminta penjelasannya terhadap satu kebijaksanaan pemerintah. Sebagai salah satu negeri macan di Asia, mestinya kaum konglomerat Korea Selatan punya gigi. Namun -- setidaknya ini terjadi pada Hyundai -- dunia usaha ternyata gampang dicampuri pemerintah. Misalnya, akhir Oktober lalu pemerintah melakukan penyelidikan terhadap Hyundai, karena diduga perusahaan raksasa ini menggelapkan pajak. Padahal, hal ini tak pernah terjadi sebelumnya. Menurut pihak Hyundai, ulah pemerintah itu karena sebelumnya Chung JuYung, bos Hyundai, mengkritik pemerintahan Roh Tae Woo sebagai tak efisien dan korup. Dan seandainya waktu itu dalam parlemen ada wakil pengusahanya, ia bisa mengundang pimpinan kantor pajak dan menanyakan mengapa Hyundai diselidiki sedangkan perusahaan yang lain tidak. Tapi waktu itu, akhir Oktober 1991, tak ada yang dapat diperbuat oleh Chung, yang hanya bisa menyatakan bahwa "Saya bukan tukang menggelapkan pajak." Maka itulah, akhir Januari lalu ia membuka konperensi pers, dan memproklamasikan niatnya menjadi politikus kepada ratusan wartawan di rumah mewah yang terletak tak jauh dari Rumah Biru (kantor Presiden Roh) di Seoul. "Hyundai memberikan dana politik dua kali setiap tahun kepada pemerintah Korea Selatan, termasuk kepada Presiden Roh sekarang. Yang terakhir dua tahun lalu, dan waktu itu pemerintah saya sumbang sebesar 10 milyar won," tutur Chung. Tapi itu rupanya tak ada artinya, dan ia merasa mesti terjun ke dunia politik. Maka, pada tanggal 8 Februari lalu ia umumkan berdirinya Partai Penyatuan Nasional. Dan partai yang belum ada dua bulan usianya itu pekan lalu termasuk dalam tiga besar. Perolehan kursi Partai Penyatuan makin berarti karena dalam pemilu kali ini tak ada pemenang mayoritas. Partai Liberal Demokratik, partai yang berkuasa sekarang, tetap berada di peringkat paling atas, tapi hanya meraih 149 kursi -- kekurangan satu suara untuk menjadii pemenang mayoritas. Menurut para pengamat, ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat Korea Selatan terhadap pemerintahan Roh TaeWoo. Ketidakpuasan rakyat terhadap Roh tampaknya bersumber pada kebijaksanaan ekonomi yang mengakibatkan inflasi besar, hingga, misalnya, harga rumah naik berlipat kali selama duatiga tahun terakhir ini. Selain inflasi, mencapai lebih dari 9% tahun silam, daya kompetisi ekspor -- yang dianggap garis nyawa ekonomi negara ini -- Korea Selatan semakin merosot akibat resesi dunia internasional. Pada tahun 1987 dan 1988, negara ini berhasil meningkatkan nilai ekspornya sekitar 30% dari tahun sebelumnya. Tahun lalu, nilai ekspor itu hanya naik 10% dari tahun sebelum. Angka itu dirasa tak menyenangkan karena ditambah dengan merosotnya nilai won (mata uang Korea Selatan) terhadap dolar AS. Sementara nilai impor negeri ini, akibat "demam konsumsi," tahun silam naik 15% dari tahun sebelumnya. Terjadilah defisit perdagangan sampai US$ 9,6 milyar. Kemerosotan ekonomi itu rupanya tak menolong kebijaksanaan Roh Tae Woo di bidang politik, yang oleh para pengamat diakui lebih demokratis daripada kebijaksanaan pemerintahan sebelumnya. Meski masih banyak suara tak puas, berdirinya Partai Penyatuan Nasional itu, umpamanya, membuktikan terwujudnya demokratisasi secara bertahap. Sudah sejak berdirinya partai baru ini, 8 Februari lalu, para pengamat meramalkan nama Chung Juyung, pendirinya, bakal menjadi andalan, dan dapat mengganggu Partai Liberal Demokratik yang berkuasa. Soalnya, Chung memang menjadi idola banyak orang Korea Selatan. Dia yang kini berusia 76 tahun itu adalah "pahlawan ekonomi" Korea Selatan seusai Perang Dunia II. Ia merintis kariernya dari bawah dalam arti kata sebenarnya. Ia cuma tamatan SD, lalu bekerja sebagai buruh harian di sebuah perusahaan, kemudian jadi pedagang beras kecilkecilan. Ternyata ia terus berkembang, dan akhirnya membentuk perusahaan raksasa yang kini beraset sekitar US$ 50 milyar, yang bergerak dalam banyak bidang. Dari perusahaan konstruksi, pabrik mobil dan kapal laut, elektronik, sampai bengkel mobil dan motor, dengan jumlah karyawan 170.000 orang. Tahun lalu, Hyundai menyumbang sekitar 16,5% pendapatan nasional Korea Selatan. Kekayaan Chung sendiri, menurut sebuah surat kabar Korea Selatan, sebesar 3 trilyun won atau sekitar US$ 4 milyar. Chung dengan Partai Penyatuan Nasional terjun dalam pemilu dengan risiko besar. Seandainya ia kalah, dan Partai Liberal Demokratik menang mayoritas, tidak mustahil grup Hyundai akan diporak-porandakan oleh partainya Roh TaeWoo itu. Hal semacam ini sudah ada contohnya. Tahun 1985, di masa pemerintahan Chun Doo Hwan, konglomerat terbesar ke-7 di Korea Selatan dibongkar pemerintah Seoul karena berani mengkritik Presiden Chun. Jadi, Chung harus bisa masuk parlemen dalam status mempunyai hak efektif tadi. Maka, untuk kampanye bos raksasa ini, tak tanggung-tanggung, menghabiskan sekitar US$ 223 juta. Biaya itu diperolehnya dengan menjual saham miliknya. Tampaknya, ambisi Hung untuk duduk di pucuk pemerintahan cukup besar. Diduga ia akan mencalonkan diri dalam pemilihan presiden akhir tahun ini. Dan bila itu benar, tampaknya ia akan bersaing dengan tokoh oposisi sekarang, Kim DaeJung, ketua Partai Demokratik, yang dalam pemilu pekan lalu meraih 97 kursi, 30 kuris lebih banyak dari pemilu lima tahun lalu. Waktu itu Kim dikalahkan Roh TaeWoo. Adapun calon dari Partai Liberal Demokratik kelihatannya adalah Kim Young Sam, salah seorang ketuanya. Karena Roh, yang masa jabatannya akan habis Februari tahun depan, menurut konstitusi Korea Selatan, tak boleh lagi dicalonkan. Tapi dalam hal Kim Young Sam, menurut para pengamat di Jepang, ada masalah. Ada kemungkinan Kim yang satu ini akan terpaksa mengundurkan diri dari pencalonan, khawatir harus memikul tanggung jawab bila kalah. Tanpa kompensasi yang jelas, tampaknya Kim YoungSam tak bersedia jadi kambing hitam. Skenario itu tentu saja akan menguntungkan Kim Dae Jung. Yakni bila tak lalu ada tuntutan dari generasi muda partai bahwa Kim DaeJung sebaiknya juga mengikuti jejak Kim Young Sam. Sebab, dua-duanya politikus kawakan, sedangkan para pemilih Korea Selatan kini mayoritasnya generasi muda dan mereka menginginkan adanya perubahan di dunia politik. Kalau kedua Kim mundur, bagaimana dengan Chung Ju Yung? Pengusaha berusia 76 tahun ini tentu saja tak bisa dikatakan dari kalangan generasi muda. Tapi berbeda dengan kedua Kim tadi, dari sudut pengalaman politiknya, Chung boleh dibilang pendatang baru. Ia pun terhitung pengusaha progresif -- dialah konglomerat Korea Selatan pertama yang mengunjungi Korea Utara, dua tahun lalu. Bila ada hal yang bisa tak menguntungkan bos Hyundai itu, adanya rasa benci dalam masyarakat Korea Selatan yang berpendapatan per kapita sekitar US$ 5.000 (hampir sepuluh kali pendapatan per kepala di Indonesia) terhadap konglomerat. Namun, siapa tahu konglomerat Chung merupakan perkecualian. Bila demikian, kesempatan munculnya presiden yang bekas konglomerat di Korea Selatan, mungkin besar. Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini