Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dokumen yang Memanaskan Jakarta

Kabar intelijen Australia menyadap Presiden Indonesia dan orang di lingkaran dekatnya memicu kemarahan. Indonesia menghentikan semua kerja sama militer sampai ada jawaban memuaskan dari Tony Abbott.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembar PowerPoint itu hanya terdiri atas enam halaman. Dengan judul "3G: impact and update", bertarikh November 2009, para pembaca sekilas akan menyangka ini presentasi usaha perusahaan telekomunikasi. Setelah melihat keterangan di sisi kiri atas dan bawahnya, barulah diketahui ini bukan kertas presentasi biasa. Asalnya dari organisasi rahasia.

Keterangannya menunjukkan dokumen itu berasal dari badan intelijen sinyal Australia, Australian Signal Directorate (ASD). Klasifikasinya "Top Secret Comint", yang merupakan bahan intelijen yang diperoleh dari "intelijen komunikasi" dan dikategorikan "sangat rahasia", satu tingkat lebih tinggi dari "rahasia".

Dokumen yang seharusnya tak diketahui publik itu dirilis Guardian Australia dan Fairfax Media, Senin pekan lalu. Dokumen yang melansir kabar intelijen Australia menyadap komunikasi Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan lingkaran dekatnya itu berasal dari eks analis badan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA), Edward Snowden. Ia diburu Amerika dan kini berada di Moskow setelah mendapat suaka sementara dari pemerintah Rusia sejak Juli lalu.

Kabar ini menyulut kemarahan di Jakarta dan muncul desakan agar Perdana Menteri Australia Tony Abbott meminta maaf. "Pemerintah Australia perlu mengklarifikasi berita ini untuk menghindari kerusakan lebih lanjut," kata juru bicara Presiden Yudhoyono, Teuku Faizasyah.

Ini bukan kabar pertama tentang adanya aksi spionase Australia terhadap Indonesia. Pada 31 Oktober lalu, Sydney Morning Herald memberitakan Kedutaan Besar Australia di Jakarta memiliki fasilitas penyadapan dan melakukan aktivitas pengumpulan intelijen. Dijalankan oleh ASD, program dengan sandi "Stateroom" itu meliputi intersepsi radio, telekomunikasi, dan lalu lintas Internet.

Menurut Snowden, Stateroom bagian dari program kemitraan intelijen lima negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Dokumen yang sama juga mengindikasikan bahwa Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, punya fasilitas rahasia yang sama. Buntut keluarnya kabar ini, Pejambon—markas Kementerian Luar Negeri Indonesia—menghubungi pejabat Kedutaan Amerika untuk meminta klarifikasi. Berbeda perlakuannya terhadap kolega Amerikanya, Duta Besar Australia Greg Moriarty dipanggil ke Pejambon untuk memberi klarifikasi.

Australia, seperti biasa, tak membenarkan atau membantah kabar itu. "Ini praktek lama bagi pemerintah Australia untuk tidak mengomentari masalah-masalah yang berkaitan dengan intelijen," kata Tony Abbott sembari menambahkan bahwa "semua pemerintah melakukan pengumpulan informasi (intelijen) dan semua pemerintah tahu bahwa pemerintah lainnya melakukan hal yang sama".

Sikap "tak membenarkan dan tak membantah" itu tidak memuaskan Presiden Yudhoyono. "Saya juga menyayangkan pernyataan PM Australia yang menganggap remeh penyadapan terhadap Indonesia, tanpa rasa bersalah," kata Presiden dalam akun Twitter @SBYudhoyono. Dalam cuitan lainnya, Yudhoyono mengisyaratkan akan meninjau hubungan bilateral dua negara serta melakukan upaya diplomatik lebih serius dan jarang: menarik duta besarnya.

Yudhoyono tak sekadar mengancam. Duta Besar Indonesia Nadjib Kesoema dipanggil pulang keesokan harinya—menjadi duta besar kedua yang ditarik dari Canberra dalam beberapa dekade hubungan dua negara. Dalam pernyataan pers kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, Rabu pekan lalu, Presiden mempertanyakan mengapa ia dan orang di lingkaran dekatnya menjadi target penyadapan. "Kami bukan musuh," kata Yudhoyono.

Menurut slide berjudul "IA Leadership Target + Handset", orang lingkaran dekat Yudhoyono yang komunikasinya dimonitor pada 2009 itu adalah Kristiani Herawati alias Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, mantan wakil presiden Jusuf Kalla, juru bicara presiden urusan luar negeri Dino Patti Jalal, juru bicara presiden urusan dalam negeri Andi Mallarangeng, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo Adi Sucipto, serta Menteri Komunikasi Sofyan Djalil.

Hari itu Presiden memutuskan berkirim surat ke Tony Abbott untuk meminta penjelasan resmi tentang kabar adanya penyadapan tersebut. Sambil menunggu jawaban Abbott, Presiden meminta penghentian sementara semua kerja sama militer serta program pemberantasan penyelundupan manusia dan patroli maritim gabungan. "Tidak mungkin kami melanjutkan kerja sama ketika tidak pasti bahwa sudah tidak ada aksi mata-mata," kata Presiden.

Pada hari yang sama saat Yudhoyono berbicara di Istana Negara, media Australia, ABC, melaporkan latihan Elang Aus-Indo di Northern Territory, yang melibatkan 90 tentara angkatan udara dan lima jet tempur Indonesia, langsung dihentikan meski baru berlangsung sehari. Seorang juru bicara Menteri Pertahanan Australia mengatakan beberapa latihan bersama dalam beberapa bulan mendatang di Australia dan Indonesia juga telah dibatalkan atau ditunda.

1 1 1

Australia sudah lama melakukan aksi mata-mata terhadap tetangga utaranya ini. Kedutaan besarnya di Jakarta adalah pos pertama intelijen Australia, Australian Secret Intelligence Service (ASIS), di luar negeri. Sir Walter Crocker, Duta Besar Australia di Indonesia pada 1955-1956, memberi indikasi bahwa Defense Signal Directorate (kini ASD) secara rutin bisa membaca pesan diplomatik Indonesia sejak pertengahan 1950-an.

Ihwal penyadapan terhadap Yudhoyono yang menjadi biang keretakan Jakarta-Canberra saat ini, menurut pakar intelijen Profesor Des Ball dari Australian National University, karena Australia adalah pihak dalam United Kingdom-United States of America Agreement (UKUSA) 1946. Australia, bersama Kanada dan Selandia Baru, bergabung beberapa tahun sesudahnya.

Kerja sama itu begitu dirahasiakan sehingga Perdana Menteri Australia tidak menyadarinya sampai 1973, saat pemerintah merombak badan intelijen. Kesepakatan UKUSA tidak pernah dibuka kepada publik sampai 2005. UKUSA kerap dikenal sebagai "Five Eye", karena merupakan kemitraan badan intelijen sinyal lima negara: National Security Agency (NSA), Amerika Serikat; Communications Security Establishment Canada, Kanada; Government Communications Headquarters (GCHQ), Inggris; Government Communications Security Bureau (GCSB), Selandia Baru; dan Australian Signal Directorate, Australia.

Menurut Ball, perjanjian itu membagi dunia menjadi beberapa daerah pengumpulan informasi. Australia memiliki tanggung jawab melakukan monitoring kawasan tengah Samudra Hindia hingga melintasi Pasifik barat. "Australia memonitor seluruh area itu dan bertukar informasinya dengan Amerika," kata Ball.

Salah satu program bersama UKUSA adalah Xkeyscore, sistem komputer rahasia yang digunakan NSA untuk mencari dan menganalisis data Internet tentang warga negara asing di seluruh dunia. Program ini dijalankan melalui 90 fasilitas pengawasan Amerika di misi diplomatik di seluruh dunia—termasuk di Kamboja, Cina, Indonesia, Malaysia, Myanmar, dan Thailand.

ASD, yang organisasinya di dalam Departemen Pertahanan Australia, mempekerjakan lebih dari 2.000 anggota staf militer dan sipil. Anggarannya beberapa ratus juta dolar setahun. Organisasi yang paling rahasia di komunitas intelijen Australia ini mengoperasikan empat stasiun penting: Pine Gap, dekat Alice Springs; Shoal Bay Receiving Station, dekat Darwin; Australian Defence Satellite Communications Station, di Geraldton; dan HMAS Harman, Canberra.

Dari fasilitasnya di Shoal Bay dan Cocos Island, intelijen Australia memantau komunikasi militer Indonesia. Dari dua fasilitas yang dibangun dua dekade lalu itu, kata Philip Dorling dalam Sydney Morning Herlad, Australia tahu niat Indonesia untuk menginvasi Timor Timur pada 1970-an atau menjelang daerah itu merdeka pada 1999.

Indonesia, kata mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono, pada tahun yang sama juga melakukan penyadapan terhadap Kedutaan Australia. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya dibicarakan tentang kami," kata Hendropriyono kepada The Age, November 2004. Menurut Hendropriyono, Indonesia juga berupaya merekrut orang Australia untuk menjadi mata-mata, tapi gagal.

Mengapa Yudhoyono menjadi target penyadapan pada 2009, analis kontra-terorisme dari Monash University, Profesor Greg Barton, menduga karena terkait dengan pengeboman di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009. Dari tujuh orang yang tewas, tiga adalah warga Australia. "Anda bisa menduga salah satu hal yang ingin diketahui intelijen Australia, misalnya apakah pemerintah Indonesia memiliki gagasan lain atau beberapa petunjuk yang belum diungkapkan (kepada Australia)," kata Barton.

Bekas Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) Laksamana Muda Soleman Ponto tak heran jika Presiden disadap. "Saya saja pasti disadap, apalagi Presiden. Itu wajar," katanya pekan lalu. Hendropriyono juga berpandangan sama. "Dia (badan intelijen) harus memata-matai dirinya sendiri, memata-matai temannya dan musuhnya. Ini yang harus dia lakukan," kata Kepala BIN era Presiden Megawati ini.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kamis pekan lalu, mengakui penyadapan itu merupakan praktek wajar, meski dia tetap mempertanyakan tujuannya. Kata Moeldoko, "Wajar jika tidak ketahuan. Tapi jadi enggak wajar kalau kemudian bocor." Pandangan senada disampaikan Mark Kenny, koresponden politik The Age. "Abbott benar bahwa semua negara mengumpulkan informasi. Tapi aturan pertama dalam permainan mata-mata adalah jangan sampai tertangkap."

Abdul Manan (ABC, Sydney Morning Herald, The Age), Fery Firmansyah, Heru Triyono


Dua Ketegangan

Sebelum ada skandal penyadapan kali ini, Indonesia dan Australia beberapa kali berselisih. Soal Timor Timur dan Papua Barat adalah yang cukup krusial.

Timor Timur, 1999

Indonesia menginvasi Timor Timur pada 1975. Australia memberi pengakuan de jure pada 1979. Ketegangan muncul saat Australia mengusulkan plebisit untuk penentuan nasib sendiri. Saat referendum digelar pada 30 Agustus 1999, mayoritas warga Timor Timur memilih merdeka. Australia juga memimpin pasukan perdamaian International Force for East Timor (Interfet) untuk memulihkan ketertiban.

Kecewa dengan sikap Australia, Indonesia membatalkan perjanjian keamanan 1995 dan menyebut tindakan Negeri Kanguru itu tak sesuai dengan "semangat perjanjian" tersebut. Sejumlah pertemuan pejabat, termasuk dialog menteri, dibatalkan atau ditunda.

Papua Barat, 2006

Australia resmi mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua Barat, posisi yang juga diakui melalui Traktat Lombok 2006. Tapi, Maret 2006, Australia memberikan visa perlindungan sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua Barat yang mengaku diancam militer Indonesia.

Pemerintah Indonesia membalas sikap Australia dengan menarik Duta Besar Teuku Mohammad Hamzah Thayeb dari Canberra.

Penyadapan Tetangga Selatan

Penyadapan dianggap praktek wajar, kecuali ketahuan. Di bawah ini beberapa laporan tentang aksi penyadapan Australia terhadap Indonesia atau sebaliknya.

1950-an
Duta Besar Australia di Indonesia, Sir Walter Crocker (1955-1956), mengakui lembaga sandi Australia, Defense Signal Directorate (Australian Signal Directorate), secara rutin memecahkan sandi diplomatik Indonesia sejak pertengahan 1950.
Kedutaan Besar Australia di Jakarta menjadi stasiun pertama badan intelijen Australia, Australian Secret Intelligence Service (ASIS), di luar negeri.

1960-an
Badan intelijen sinyal Inggris, Government Communications Headquarters (GCHQ), membantu Defence Signal Directorate memecahkan kunci alat sandi produksi Swedia, Hagelin, yang digunakan Kedutaan Besar Indonesia di Darwin Avenue, Canberra.

1970-an
Pos pemantauan lainnya adalah Stasiun Penerima Shoal Bay di dekat Darwin.
Fasilitas ini menargetkan komunikasi militer Indonesia, dioperasikan dari markas besar DSD di Russell Hill, Canberra.

1980-an
Defence Signal Directorate mengoperasikan intersepsi sinyal dan pemantauan di Kepulauan Cocos, 1.100 kilometer barat daya Pulau Jawa. Fasilitasnya meliputi radio pengawasan, pelacak arah, dan stasiun satelit bumi.

1990-an
Laporan detail proyek pengintaian global bersandi Echelon oleh United Kingdom-United States of America Agreement (UKUSA) terbuka untuk publik. Program bersama ini memberi Australia, sebagai partner UKUSA, akses luas ke komunikasi satelit dan telepon.

2007
Intelijen Australia dan Amerika Serikat mengumpulkan informasi nomor kontak pejabat Indonesia saat Konferensi Perubahan Iklim pada 2007 di Bali. Operasi ini dilakukan dari stasiun di Pine Gap, yang dijalankan dinas intelijen Amerika, CIA, dan Departemen Pertahanan Australia.

2013
ASD mengoperasikan program bersandi Stateroom, memanfaatkan fasilitas diplomatik Australia di berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut dokumen Edward Snowden, ASD sudah melakukannya sejak 1980-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus