Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembilan jaksa itu tiba di Rumah Sakit Ibu Anak Permata Hati, Balikpapan, pukul 11.00. Begitu sampai, Jumat tiga pekan lalu, mereka langsung menyebar. Tiga di antaranya menuju ruang praktek dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani. Saat itu, dokter kandungan berumur 38 tahun tersebut tengah menerima sejumlah pasien.
Di depan pintu ruang kerja sang dokter, tiga jaksa berhenti, tak masuk. Mereka menunggu hingga semua pasien keluar dari ruang Ayu—demikian dokter ini dipanggil. Begitu tak ada lagi pasien, mereka menyeruak masuk. "Dia tenang saja. Sepertinya sudah tahu akan ada eksekusi," kata Kepala Kejaksaan Negeri Balikpapan Y.G. Lakburlawal kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Para jaksa itu menjalankan putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan Ayu dan dua rekannya, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian, bersalah. Hari itu mereka datang untuk menahan Ayu. Menurut Mahkamah, akibat kelalaian ketiganya, pasien yang mereka tangani meninggal. Ayu tak melawan. Siang itu, dengan tangan diborgol, dia dibawa ke kantor kejaksaan, yang berjarak sekitar satu kilometer dari Rumah Sakit Permata Hati.
Sore harinya, didampingi sejumlah jaksa, Ayu diterbangkan ke Manado. Setiba di Manado, ia langsung dimasukkan ke Rumah Tahanan Malendeng. Majelis hakim kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar dengan anggota Sofyan Sitompul dan Dudud D. Machmudin menghukum Ayu sepuluh bulan penjara. Hanya Ayu yang ditahan. Hendry dan Hendy hingga kini tak diketahui di mana rimbanya.
JULIA Fransiska Makatey mengembuskan napas terakhir di ruang operasi di Rumah Sakit Umum Pusat Profesor Kandou Malalayang, Manado, 10 April 2010. Perempuan 25 tahun yang biasa dipanggil Siska itu meninggal setelah menjalani operasi caesar yang ditangani Ayu, Hendry, dan Hendy. Dalam operasi ini, Ayu pelaksana operasinya. Adapun dua dokter pria itu bertindak sebagai asisten. Berbeda dengan ibunya, bayi yang memiliki panjang 51 sentimeter dan berat 4,1 kilogram itu bisa diselamatkan.
Kematian Siska ternyata berbuntut panjang. Orang tuanya, Anselmus Makatey dan Yulin Mahengkeng, menuding kematian sang anak akibat terlambat ditangani tiga dokter itu. Siska, menurut mereka, menunggu lebih dari 14 jam sebelum ditangani. Padahal ia tiba di rumah sakit pukul 07.00.
Sebelum ke rumah sakit, Siska sempat "mampir" di Puskesmas Bahu. Lantaran tak bisa menangani proses persalinan Siska, pihak puskesmas memberi rujukan ke RSUP Profesor Kandou. Salah satu alasannya: Siska harus divakum untuk melahirkan anak pertamanya tersebut. "Saat itu, kondisi Siska sudah pembukaan tiga dan empat," ujar Yulin.
Menurut Yulin, sekitar satu jam setelah tiba di rumah sakit, anaknya dibawa ke sebuah ruangan lantaran ketubannya sudah pecah. Saat itu, ia diminta menebus obat seharga Rp 100 ribu dan menyiapkan donor darah. Pada pukul 16.00, pihak rumah sakit kembali memberinya resep obat yang sama. "Ketika itu, saya sudah minta pihak rumah sakit segera melakukan operasi Âcaesar kepada Siska," ucapnya.
Yulin mengaku heran kenapa para dokter tak segera melakukan operasi. Dia menduga itu mungkin lantaran ia tak membawa uang. "Saya waktu itu menawarkan emas yang saya pakai asalkan anak saya segera dioperasi," ujarnya. Tapi tawarannya ditampik perawat.
Pukul 19.30, seorang perawat memintanya menebus obat lagi. Lantaran harganya Rp 1 juta, obat itu baru ia tebus setelah keluarganya datang. "Sampai pukul sembilan malam, anak saya belum dioperasi." Operasi, kata dia, baru dilakukan pukul 22.00. Setelah operasi rampung dan ia melihat cucunya, Yulin menanyakan kondisi Siska. "Dokter ketika itu menyatakan baik, tapi beberapa menit kemudian Siska dinyatakan meninggal," ujarnya. Menurut Yulin, saat itu pihak rumah sakit tak memintanya menandatangani apa pun yang berkaitan dengan operasi Siska.
Dengan dugaan anaknya telah menjadi korban kesembronoan dokter, Anselmus dan Yulin kemudian melaporkan dugaan malpraktek itu ke kepolisian. Perkara ini kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Manado.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut para dokter lalai dalam menangani pasien sehingga menimbulkan emboli (udara masuk ke paru-paru), yang membuat terjadinya kegagalan fungsi paru dan jantung. Dokter, kata jaksa, dalam melaksanakan operasi juga tidak melakukan pemeriksaan penunjang, seperti terhadap jantung dan foto roentgen. Menurut jaksa, dokter melakukan pemeriksaan jantung setelah pelaksanaan operasi selesai.
Kejaksaan juga mempersoalkan para dokter yang melakukan operasi tanpa surat izin praktek. Kendati pihak rumah sakit menunjukkan ada tanda tangan pasien sebagai persetujuan untuk tindakan khusus, seperti pembedahan dan anestesi, tanda tangan itu palsu lantaran berbeda dengan tanda tangan di dalam kartu tanda penduduk. Perbedaan tanda tangan itu, kata jaksa, sudah diperiksa di Laboratorium Forensik Kepolisian Makassar.
Di pengadilan juga terungkap pihak rumah sakit memberikan uang Rp 50 juta kepada orang tua Siska setelah kematian anaknya itu. Soal ini, pihak rumah sakit tak membantah dan menyatakan pemberian tersebut sekadar sebagai tanda dukacita.
Tapi semua dakwaan jaksa itu ternyata ditolak hakim. Pada 15 September 2011, majelis hakim memvonis bebas Ayu dan dua rekannya. Tak puas, mereka lalu mengajukan permohonan kasasi. Rupanya, Mahkamah berbeda dengan Pengadilan. Majelis hakim kasasi pada 12 September 2012 menyatakan tiga dokter itu melakukan malpraktek. Majelis menghukum Ayu, Hendry, dan Hendy masing-masing sepuluh bulan penjara.
Lantaran melihat tak ada tindakan atas putusan kasasi itu, pada Maret 2013 Anselmus berkirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung. Ia minta kejaksaan segera menahan tiga dokter yang dinyatakan bersalah itu—yang kemudian baru terjadi Jumat tiga pekan lalu. Ihwal putusan kasasi itu, Ayu mengajukan permohonan upaya hukum luar biasa: peninjauan kembali.
O.C. Kaligis, pengacara Ayu, menilai putusan Mahkamah Agung tak berdasar. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri, kata Kaligis, sudah dihadirkan saksi ahli kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan prosedural. Para saksi itu antara lain Reggy ÂLefran, dokter kepala Bagian Jantung Rumah Sakit Profesor Kandou Malalayang; Murhady Saleh, dokter spesialis obsgin Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; dan dokter forensik Johanis.
Dalam sidang itu, misalnya, Johanis menyatakan hasil visum et repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal bukan karena hasil operasi. Kasus itu, kata dia, jarang terjadi dan tidak dapat diantisipasi.
Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan ketiganya telah melakukan operasi sesuai dengan prosedur.
Menurut Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, saat menerima Siska, Ayu telah memeriksa dan memperkirakan pasien tersebut bisa melahirkan secara normal. Namun, hingga pukul 18.00, ternyata hal itu tak terjadi. "Sehingga diputuskan operasi," ujar Januar.
Operasi yang dilakukan terhadap Siska, kata dia, tak memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung. "Operasinya bersifat darurat, cepat, dan segera karena, jika tidak melakukan, bayi dan pasien pasti meninggal," ucap dokter kandungan ini.
Penangkapan dan penahanan Dewa Ayu Sasiary memang menimbulkan reaksi keras di kalangan dokter. Puluhan dokter di Manado menggelar unjuk rasa memprotes hukuman dan penahanan Ayu. Demo yang sama terjadi di Bogor, Medan, Jakarta, Kupang, Sidoarjo, dan Purbalingga.
Menurut Ketua IDI Yogyakarta Bambang Suryono, kasus ini menunjukkan betapa pentingnya dihidupkan kembali peradilan khusus profesi kedokteran. Peradilan itu, kata dia, dulu dihapuskan dari Rancangan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Padahal, menurut dia, peradilan itu penting agar tak ada lagi kriminalisasi terhadap dokter. "Analoginya, menancapkan pisau di ruang bedah yang berujung pada kematian jelas berbeda statusnya dengan menikam orang di jalanan," ucap ahli anestesi Rumah Sakit Dr Sardjito, Yogyakarta, itu.
Yuliawati, S.G. Wibisono (Balikpapan), Addi Mawahibun Idhom ( Yogyakarta), Isa Anshar (Manado)
Malpraktek Lalu ke Meja Hijau
Tuduhan telah melakukan malpraktek menyebabkan sejumlah dokter berurusan dengan pengadilan. Ada yang dihukum, ada yang dibebaskan.
3 September 2007
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan dokter dan Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp 2 miliar terhadap kematian Sita Dewati Darmoko. Sita menjalani operasi tumor ovarium di RSPI pada 12 Februari 2005 setelah dianalisis memiliki tumor jinak. Sesudah dilakukan operasi dan pemeriksaan laboratorium, hasil menunjukkan sebaliknya. Satu tahun berlalu, Sita mengeluhkan benjolan di sekitar perut, dan nyawanya tak tertolong.
November 2007
Mahkamah Agung memerintahkan Rumah Sakit Puri Cinere dan dokter spesialis Wardhani membayar ganti rugi secara renteng sebesar Rp 520 juta kepada Shanti Marina. Putusan itu memperkuat amar Pengadilan Negeri Cibinong yang menyatakan dokter Wardhani melakukan malpraktek saat operasi amandel terhadap Shanti. Pasca-operasi, suara Shanti menjadi sengau (bindeng).
September 2008
Indra Syafri Yacub menggugat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RS Pelni Petamburan, dan RS Palang Merah Indonesia Bogor dengan tuduhan telah melakukan malpraktek terhadap istrinya, Adya Vitry Harisusanti. Adya meninggal dengan dugaan kesalahan pemasangan alat CVP (central vena pressure). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menganggap gugatan terlalu prematur karena tanpa ada bukti otopsi untuk mengetahui penyebab kematian.
24 Maret 2009
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan pihak Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Jaya membayar kerugian atas kasus malpraktek terhadap Sisi Chalik sebesar Rp 792 juta. Pihak rumah sakit divonis bersalah karena melakukan operasi pengangkatan tumor rahim yang menyebabkan Sisi mengalami kebocoran usus hingga selama sembilan tahun. Kondisi ini membuat Sisi harus mengeluarkan kotorannya dari usus yang berada di luar perut.
22 Maret 2013
Mahkamah Agung memvonis dr Wida Parama Astiti hukuman 10 bulan penjara. Deva Chayanata, 3 tahun, pada 28 April 2010 pukul 19.00 datang ke Rumah Sakit Krian Husada, Sidoarjo, Jawa Timur. Deva, yang diantar orang tuanya, mengalami diare dan kembung. Dokter melakukan tindakan medis berupa pemasangan infus serta pemberian suntikan, obat sirop, dan perawatan inap. Esok harinya, dr Wida meminta perawat melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Suntikan itu membuat Deva kejang-kejang dan kemudian meninggal.
Pasal-pasal yang Dijeratkan untuk Dokter yang Didakwa Melakukan Malpraktek
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 359
Akibat kelalaian menyebabkan matinya orang lain dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 360 ayat 1
Akibat kelalaian menyebabkan orang lain luka berat dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 ayat 2
Akibat kelalaian menyebabkan orang lain menderita luka-luka sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan, jabatan, atau pencaharian selama waktu tertentu. Pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan enam bulan atau denda paling tinggi Rp 300.
Pasal 361
Apabila kelalaian tersebut dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, pidana ditambah 1/3 dan haknya untuk menjalankan pencaharian dapat dicabut.
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran tidak mengatur secara khusus sanksi atas tindakan malpraktek.
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi hanya mengatur perihal kode etik.
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo