Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa pensiun tampaknya akan menjadi hari-hari yang sulit bagi Rina Iriani Sri Ratnaningsih. Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah menetapkan Bupati Karanganyar itu sebagai tersangka korupsi hanya sebulan sebelum masa jabatannya berakhir. "Ada yang ingin membuat saya sengsara," kata Rina dalam jumpa pers, Kamis pekan lalu. Disorot kamera, wajahnya memerah. Ketika berbicara, suara dia bergetar seperti menahan amarah.
Tuduhan jaksa atas wanita yang menjadi Bupati Karanganyar dua periode itu tak main-main. Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Babul Khoir, Rina diduga turut menyelewengkan dana sekitar Rp 11 miliar dari dana subsidi perumahan yang digelontorkan Kementerian Negara Perumahan Rakyat pada 2007-2008. Dari total Rp 35 miliar dana subsidi untuk wilayah Karanganyar, lebih dari Rp 18 miliar bocor ke mana-mana. "Kami punya bukti kuat," ujar Babul.
Pengusutan kasus korupsi dana subsidi ini telah menjebloskan tiga orang ke penjara. Mereka adalah Tony Iwan Haryono, mantan suami Rina; serta Fransiska Riyana Sari dan Handoko Mulyono, bekas Ketua Koperasi Serba Usaha Sejahtera. Tony dihukum empat tahun sepuluh bulan, Handoko empat tahun, dan Fransiska dua tahun penjara.
Kasus ini bermula dari peluncuran program Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah pada 2006. Kementerian Negara Perumahan Rakyat waktu itu menyediakan subsidi untuk kredit pemilikan dan pemugaran rumah. Program ini dicanangkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk menyalurkan dana subsidi itu, Kementerian Perumahan menggandeng sejumlah lembaga keuangan mikro dan nonbank, seperti koperasi. Total dana yang disediakan pemerintah pada 2007-2008 sekitar Rp 1,1 triliun.
Melihat program itu sebagai peluang bisnis, Tony, yang saat itu berstatus suami Rina, meminta Dinas Koperasi Karanganyar mengesahkan sebuah koperasi yang dia bikin dadakan. Permintaan itu ditolak bagian registrasi koperasi. "Dia sampai menggebrak meja saya," kata seorang bekas pegawai Dinas Koperasi yang akhirnya dimutasi sebelum dipensiunkan.
Tony lalu meminta pegawai Dinas Koperasi lain mencari koperasi yang lama vakum. Maka ditemukanlah Koperasi Serba Usaha Sejahtera, yang tak aktif sejak didirikan pada 1998. Setelah membujuk pengurus lama mundur, Tony menunjuk orang-orang dekatnya menjadi pengurus baru. Mereka antara lain Fransiska dan Handoko, yang berturut-turut menjadi ketua koperasi pada 2007 dan 2008. Adapun Tony menjadi ketua dewan pengawas.
Koperasi yang baru siuman itu lalu mengajukan proposal ke Kementerian Perumahan. Aturannya, koperasi yang bisa mengajukan proposal harus punya modal minimal Rp 1 miliar dan berpengalaman dua tahun di bidang simpan-pinjam. Tapi itu bukan masalah bagi Tony dan kawan-kawan. Setelah mengutak-atik syarat itu dari balik meja, mereka melampirkan surat "sakti" berkop Bupati Karanganyar. Dalam surat bernomor 518/2050.4 itu, Bupati Rina seolah-olah mengusulkan empat koperasi menjadi penyalur dana subsidi. Setelah Tony bolak-balik melobi ke Jakarta, akhirnya hanya Koperasi Sejahtera yang disetujui menjadi penyalur subsidi.
Untuk membangun dan memugar rumah, Tony menggandeng Koperasi Serba Usaha Karanganyar Bersatu. Tapi koperasi ini pun sebenarnya hanya "jadi-jadian"—dibuat Tony dan kawan-kawan. Di koperasi ini, Tony kembali menjabat ketua dewan pengawas. Kedua koperasi lalu menggandeng Perum Perumnas sebagai penyedia lahan seluas 18 hektare.
Pada 2007, Kementerian Perumahan mengucurkan dana Rp 15,7 miliar ke rekening Koperasi Sejahtera. Setahun kemudian, dana mengalir lebih deras: Rp 20 miliar. Dana itu dianggarkan untuk subsidi pembangunan 1.003 unit rumah baru dan pemugaran 2.648 unit rumah lama.
Dana puluhan miliar itu cair setelah Koperasi Sejahtera mengajukan klaim kepada Kementerian Perumahan. Koperasi Sejahtera mengklaim akan menyalurkan subsidi Rp 9 juta kepada setiap nasabah. Data pemugaran rumah dibuat menyebar di sejumlah kecamatan. Adapun pembangunan rumah baru dipusatkan di kompleks Griya Lawu Asri, Desa Jeruk Sawit, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar. Klaim itu dilengkapi sejumlah dokumen pendukung, seperti akad kredit dan keterangan penghasilan nasabah.
Belakangan terungkap Koperasi Sejahtera hanya menyalurkan Rp 7,2 juta untuk setiap nasabah. Sebelum menyunat dana subsidi, koperasi memungut setoran Rp 3 juta dari setiap nasabah. Jumlah nasabah pun digelembungkan. Di Griya Lawu Asri, misalnya, dari 1.003 nasabah yang disebut calon penerima subsidi, hanya 265 nasabah yang benar-benar meneken akad kredit. Selebihnya sekitar 700 dokumen akad kredit yang dikirim ke Kementerian Perumahan dipalsukan.
Kamis pekan lalu, Tempo mengunjungi Griya Lawu Asri. Jalan beton sepanjang seribu meter menuju kompleks itu berlubang di mana-mana. Lahan di dalam kompleks seluas 188 ribu meter itu sebagian telah menjadi semak belukar. Ratusan rumah dari batako memang masih berdiri, tapi sebagian besar tak layak huni. Pintunya hilang, kaca jendelanya pun pecah-pecah. Sejumlah rumah atapnya ambrol. Bahkan ada pula tembok sudah roboh.
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah mulai mengusut dugaan korupsi dana subsidi perumahan ini pada pertengahan 2010. Sebelumnya, jaksa menerima laporan dugaan penyelewengan dari berbagai pihak, antara lain dari Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme Jawa Tengah. Tiga orang yang menjadi tersangka lebih awal adalah Fransiska, Handoko, dan Tony. Kejaksaan Tinggi lalu mengumumkan kerugian negara dalam kasus ini sekitar Rp 18,4 miliar—lebih dari separuh dari dana yang semestinya disalurkan.
Sejumlah saksi di persidangan mengungkapkan kebusukan proyek itu. Auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Tengah, Budihardjo, menerangkan, pada 2008 , dana yang disalurkan untuk subsidi perumahan hanya Rp 7,28 miliar. Padahal tahun itu Koperasi Sejahtera mengelola dana sekitar Rp 26,91 miliar. Menurut tim audit BPKP, sebagian besar dana dipakai untuk kepentingan pribadi pengurus koperasi dan pihak ketiga.
Dalam dokumen putusan atas nama Handoko juga terungkap pengeluaran sekitar Rp 16,26 miliar di luar urusan subsidi perumahan. Dana itu antara lain untuk kepentingan pribadi Tony dan Rina Iriani.
Dana untuk Rina biasanya diambil Utit Dwi Setyowati (Bendahara Rina Center), Susmiyati (asisten pribadi), dan Rina sendiri. Sepanjang Agustus-Oktober 2008, misalnya, ada 15 kali penyerahan uang koperasi kepada Utit, dengan total Rp 1,47 miliar. Lalu, mulai Juli 2008 hingga Januari 2010, tercatat 31 kali penyerahan uang lewat Susmiyati dengan jumlah Rp 2,29 miliar. Adapun dana yang langsung diambil Rina sekitar Rp 2,33 miliar.
Terungkap pula catatan pengeluaran miliaran rupiah untuk partai politik. DisoÂkong sembilan partai, pada pemilihan langsung 2008, Rina kembali menjadi Bupati Karanganyar untuk kedua kalinya.
Uang miliaran itu umumnya diserahkan secara tunai. Hanya sedikit yang diberikan dalam bentuk cek. Untungnya, ada petugas pembukuan koperasi yang rajin membuat dan menyimpan kuitansi pengeluaran itu. Bukti pengeluaran tersebut disita jaksa dan ditunjukkan sebagai bukti di persidangan.
Kepada Tempo, Handoko membenarkan kabar bahwa uang yang dikelola Koperasi Sejahtera banyak dipakai untuk keperluan di luar subsidi perumahan. Semua itu, kata dia, dilakukan atas perintah Tony. Sebagai ketua dewan pengawas, Tony membuat aturan agar uang hanya bisa dicairkan atas perintah dirinya. "Saya kapok," ujar Handoko ketika ditemui di kompleks Perum Jaten Permai, Karanganyar, Kamis pekan lalu.
Seperti halnya putusan atas Handoko, putusan atas Fransiska dan Tony pun mengurai peran Bupati Rina. Tapi, sampai tiga kali pergantian Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, pengusutan atas keterlibatan Rina berjalan di tempat. Kejaksaan baru mengumumkan status tersangka Rina pada 13 November lalu. "Ini murni masalah hukum," ucap Babul Khoir menampik tudingan bahwa jaksa sengaja mengulur waktu. "Kami hanya berhati-hati." Rina juga dilarang bepergian ke luar negeri.
Terjepit di daerah, Rina "melambung" ke Jakarta. Pada 16 November lalu, ia mengirim surat kepada Jaksa Agung Basrief Arief. Rina mengajukan permohonan perlindungan hukum sekaligus meminta penyidikan atas dirinya dihentikan.
Dalam surat itu, Rina menerangkan ia tak pernah diajak membahas proyek rumah bersubsidi di Karanganyar. Kerja sama itu hanya melibatkan kementerian dan koperasi. Buktinya, menurut dia, uang langsung dikirim ke rekening koperasi, tidak lewat rekening kas daerah.
Rina menyangkal merekomendasikan Koperasi Sejahtera sebagai penyalur dana subsidi. Dia juga membantah meneken surat bernomor 518/2050.4 yang dibuat di atas kop surat Bupati Karanganyar. "Ada dugaan surat itu palsu atau dipalsukan Tony," demikian tulis Rina.
Rina menyebutkan ia bercerai dari Tony pada 6 Juni 2012. Ia pun menjelaskan alasan perceraian itu dengan panjang-lebar. "Dia ingin bermain di seluruh proyek pemerintah dan promosi atau mutasi pegawai," kata Rina dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo.
Kepada wartawan, Rina berulang kali membantah menikmati dana subsidi yang dikelola Koperasi Sejahtera. Tapi, dalam surat kepada Jaksa Agung, Rina punya penjelasan khusus soal uang Rp 11 miliar yang disebut-sebut ia terima. "Itu total uang untuk kepentingan Tony sendiri," ujarnya.
Menurut Rina, selama memperistri dirinya, Tony punya utang di mana-mana. Karena utangnya tak dibayar, banyak orang yang menagih langsung kepadanya selaku bupati. "Takut nama saya tercemar, saya membantu menagihkan uang itu kepada Tony," katanya.
Sejauh ini surat yang dilayangkan Rina ke kantor Jaksa Agung belum menyurutkan langkah jaksa di daerah. Sejak pekan lalu, penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah terus memanggil satu per satu dari 40 saksi yang akan mereka periksa. "Semuanya harus terbongkar. Jangan sampai ada yang menjadi misteri," ucap Babul Khoir.
Jajang Jamaluddin (Jakarta), Ukky Primartantyo, Ahmad Rafiq (Karanganyar), Sohirin (Semarang)
Titik Balik Penari Gambyong
Malam itu Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih berusaha tampil tanpa beban. Liukan tubuhnya di atas panggung memukau ratusan tamu di kursi undangan dan penonton yang berjubel di belakangnya. Tepuk tangan segera membahana begitu ia selesai menunjukkan keahliannya menari gambyong.
Berpidato dalam peringatan hari jadi Kota Karanganyar ke-96, Senin malam pekan lalu, Rina menyebutkan aneka prestasi Kabupaten Karanganyar selama 10 tahun di bawah kepemimpinannya. Pada 2003, kata dia, pendapatan asli daerah Karanganyar hanya Rp 18 miliar. "Tahun lalu melonjak menjadi Rp 125 miliar."
Rina pun tak lupa menyebutkan berbagai terobosan di bidang pelayanan publik, seperti pengurusan sertifikat tanah secara jemput bola dan pelayanan pembayaran air bersih keliling. "Dari ide sederhana, program kami diadopsi menjadi program nasional," ujarnya. Piala Wahana Tata Nugraha dan Piala Adipura yang diraih Karanganyar pada 2013 pun tak lupa ia sebutkan.
Malam itu Rina seperti tengah berusaha menutupi masalah besar yang melilitnya dengan merinci berbagai prestasi yang ia raih. Lima hari sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi.
Lahir sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara 51 tahun lalu, Rina kecil bercita-cita menjadi guru. Selulus sekolah menengah pertama, dia melanjutkan ke sekolah pendidikan guru di Salatiga. Lulus pada 1981, Rina mengawali karier sebagai guru sekolah dasar di Banyumas.
Pada 1984, ia pun pulang ke kota kelahirannya dan mengajar di SD Negeri Gaum 2, Karanganyar. Menjadi guru selama 19 tahun, Rina dikenal piawai melatih murid yang hendak ikut lomba tari. "Itu keahlian dia," kata Kepala SD Negeri Gaum 2 Sri Marsufi Rahayu. Di luar urusan belajar-mengajar, Sri hanya tahu Rina punya pekerjaan sambilan sebagai instruktur senam dan memiliki usaha salon.
Pada Juli 2002, Rina menikah dengan seorang pengusaha asal Surakarta, Tony Iwan Haryono. Setahun menikah, ia langsung banting setir ke dunia politik.
Pada 2003, Rina mengikuti pemilihan Bupati Karanganyar. Berpasangan dengan Sri Sadoyo, dia meraup 25 dari 45 suara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Karanganyar, menyingkirkan Gunadi Wirjo Sukarjo, yang diusung PDI Perjuangan. Kala itu Gunadi hanya meraih 11 suara. Padahal waktu itu PDI Perjuangan menguasai 23 kursi di DPRD.
Dalam pemilihan langsung Bupati Karanganyar pada 2008, Rina kembali meraih kemenangan telak. Didukung sembilan partai—antara lain PDI Perjuangan, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera—ia meraih lebih dari 60 persen suara.
Laporan kekayaan Rina ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2005 mulai mengundang pertanyaan, terutama dari kalangan pegiat antikorupsi. Pada 2005, ia melaporkan kekayaannya berjumlah Rp 55 miliar. Pada 2007, jumlahnya naik menjadi Rp 60,3 miliar. Sebagian besar berupa surat berharga, yang nilainya mencapai Rp 45,38 miliar. Setahun kemudian, laporan kekayaan Rina sedikit menyusut, menjadi Rp 52,7 miliar. Tapi itu belum memupus predikatnya sebagai salah satu pejabat terkaya di Jawa Tengah.
Menurut Rina, harta yang pernah ia laporkan ke KPK merupakan gabungan harta dia dan mantan suaminya, Tony Iwan Haryono. "Saya pernah minta agar harta saya saja yang dicantumkan, tapi katanya harus suami-istri."
Rina bercerai dari Tony pada Juni 2012. Menikah selama sepuluh tahun, mereka tak dikaruniai anak. Keduanya sepakat mengadopsi seorang anak perempuan. Atas putusan pengadilan, gadis 9 tahun itu kini tinggal bersama Rina.
Menurut Rina, setelah bercerai, Tony mengambil hartanya. "Sandal jepit pun dia bawa lagi," ujarnya. Rina pun mengaku kembali "miskin" karena kekayaannya tinggal sekitar Rp 3 miliar. "Itu murni harta saya. Sudah saya laporkan pada 2013."
Penyusutan kekayaan bisa jadi tak akan banyak mengganggu penampilan Rina. Soalnya selama ini dia memang disebut bukan tipe pejabat yang gemar pamer kekayaan, apalagi di depan anak buahnya. Ke kantor, misalnya, Rina selalu memakai mobil dinas. Di luar itu, kendati memiliki Toyota Alphard yang tersimpan di salah satu rumahnya di Jalan Solo-Karanganyar, ia lebih kerap mengendarai Toyota Innova.
Rabu pekan lalu, tim penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah menggeledah ruang kerja Bu Bupati yang masa jabatannya bakal berakhir pada 15 Desember nanti itu. Jaksa mengambil semua berkas dari ruang kerjanya.
Kamis pekan lalu, wartawan Tempo Ukky Primartantyo bersama beberapa wartawan lain mewawancarai Rina.
Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah menetapkan Anda sebagai tersangka korupsi. Tanggapan Anda?
Saya bingung dengan apa yang dimaksud korupsi. Sebab, saya sama sekali tidak mengetahui dana dari Kementerian Perumahan Rakyat itu.
Anda disebut merekomendasikan Koperasi Sejahtera yang tidak memenuhi syarat menjadi penyalur dana subsidi.…
Saya dipaksa Tony menunjuk koperasi tertentu sebagai penerima dana, tapi itu saya tolak. Akhirnya Kementerian Perumahan memang menunjuk Koperasi Sejahtera. Anehnya, Kementerian tidak memverifikasi kepada kami. Tidak kuloÂnuwun ke Pemerintah Kabupaten Karanganyar. Tiba-tiba saja Koperasi Sejahtera menerima uang begitu besar.
Anda disebut menerima uang Rp 11 miliar dari Koperasi Sejahtera.…
Kasus ini tidak adil untuk saya. Saya yang tidak tahu apa-apa, lalu semua kesalahan ditimpakan ke saya.
Anda menganggap kasus ini politis?
Memang banyak yang bilang ini politis, tapi saya tidak mau berpikiran seperti itu.
Dulu Anda didukung banyak partai. Sekarang ada dukungan partai dalam menghadapi kasus ini?
Sama sekali tidak ada dukungan.
Anda siap menghadapi kasus ini sendirian?
Saya anggap biasa saja. Saya tenang saja karena tahu itu tidak benar.
Misalnya jaksa menahan Anda, apakah Anda siap?
Saya siap. Mau dicekal atau tidak, tak ada masalah. Dijadikan tersangka juga tidak ada masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo