"Amerika masih harus menderita. Adalah suatu ilusi untuk mengira
bahwa ia dapat memilki kekuatan buat memimpin "
Ortega Y Gasset, La Rebelion de las masas (1929).
***
BAGI filosof Spanyol yang hidup antara 1883-1955 itu,Amerika
Serikat masih terlampau muda. Republik yang diproklamasikan
kemerdekaannya 4 Juli 1776 itu belum cukup menderita -- meskipun
ketika Ortega Y Gasset menuliskan itu, lebih dari separuh abad
sebelumnya AS telah nyaris pecah oleh Perang Saudara dan
Presiden Lincoln terbunuh.
Kecongkakan orang Eropa, yang berasal dari kebudayaan dan
sejarah yang lebih tua? Barangkali. Tapi mungkin juga AS, dengan
kemudaan dan kekuatannya yang selalu mengagumkan ataupun
menimbulkan cemburu, telah membuktikan bahwa "penderitaan" itu
dapat disembuhkannya sendiri dengan cepat, tanpa operasi besar
yang penuh risiko. Atau barangkali juga karena memang selama
sejarahnya, negeri ini belum pernah kelaparan. Belum pernah
dikalahkan atau dijajah. Bahkan disentuh oleh pertempuran saja
pun tanah daratannya tidak. Maka tatkala ia sekali lagi keluar
sebagai pemenang terbesar sehabis Perang Dunia II dan muncul
sebagai pemegang "kekuatan untuk memimpin" dunia,
kepemimpinannya terutama hanyalah kepemimpinan otot militer dan
ekonomi. Ia belum cukup "menderita".
Tapi agaknya kini tak mudah kita mengatakan bahwa AS masih belum
mengecap penderitaan. Penderitaan itu bukanlah kekurangan makan,
memang. Namun tahun-tahun menjelang umurnya yang ke-200, buat
pertama kali ia melihat bahwa kekuatannya, atau tekadnya untuk
mempergunakan kecuatan itu, tetap terbatas.
Venus Dan Tass
Sedikit simbolik, bahwa rencana untuk mendaratkan Venus I di
planit Mars tepat 4 Juli 1976 gagal. Seorang wartawan Uni Soviet
akhir pekan lalu juga menulis untuk Tass dari Washingon, tentu
saja dengan dilebih-lebihkan bahwa "berjuta-juta orang Amerika
tak punya apa-apa yang layak mereka rayakan tahun ini".
Sebabnya: "Ada tujuh juta lebih para penganggur di negeri ini
inflasi meningkat, harga mendaki sementara daya beli merosot,
ada juga banyak masalah sosial seperti kriminalitas, kecanduan
obat, alkoholisme, hubungan rasial yang tegang dan lain-lain.
Korupsi tersebar luas di tingkat atas lingkungan politik". Dan
boleh ditambah lebih terperinci: ada skandal sex seorang atau
lebih anggota Kongres, ada pula seorang wartawan yang dibunuh
ketika ia mencoba membongkar kejahatan terorganisir. Namun semua
itu mungkin cuma lintasan kecil yang sring terjadi dalam
sejarah. Lebih penting lagi agaknya apa yang diderita oleh AS
selama Perang Vietnam, dan Watergate.
Sebetulnya tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa AS telah kalah
dalam Perang Vietnam: negeri ini mundur dari sana terutama
karena makin jelas bahwa ia tak bisa menang -- dan tak cukup
punya alasan untuk terus. Tapi seandainya pun itu bisa disebut
kalah, ada yang lebih berat lagi: ia mengalami apa yang
sebelumnya tak pernah ia alami sedemikian parahnya dalarn abad
ke-XX ini, yakni keretakan di antara rakyat -- antara yang muda
dengan yang tua,antara yang kiri dengan yang kanan, antara yang
anti dengan yang pro keterlibatan AS buat membela reim Saigon.
Orang bilang, setelah Perang Saudara di pertengahan kedua abad
yang lalu, Presiden Lincoln tampil sebagai negarawan yang bisa
merukunkan kembali rakyat AS-meskipun sebelumnya berperang di
salah satu pihak. Kini, setelah Perang Vietnam, nampaknya tak
ada tokoh sebesar dan seluhur Lincoln, yang bisa menyembuhkan
luka hati dan dendam. Presiden Nixon memang bisa dianggap
berjasa menghentikan keterlibatan AS dalam perang di sebuah
negeri di Asia Tenggara yang jauh itu. Tapi ia tak bisa
mengatasi rasa pcrmusuhan dalam negeri: bahkan ia terjerumus
dengan sikap itu. Dalam skandal Watergate, ia memihak yang salah
karena persekutuannya, dan ia mentolerir sikap tak sehat
menghadapi lawan politiknya. Ia sendiri jadi sumber perpecahan,
sampai ia terpaksa mengundurkan diri.
33 Tahun
Juga kiranya akan berlebihan bila kini orang mengharapkan
Presiden Ford -- yang lagi sibuk mempertahankan posisinya
menjelang pemilihan nanti -- bisa menyamai jiwa besar Lincoln
setelah kemenangan atas musuhnya, yang juga saudaranya
setanah-air. Tapi di Amerika Serikat, di negara di mana Presiden
memegang kekuasaan yang sangat besar ada justru sesuatu yang
lebih kuat ketimbang pribadi Kepala Negara. Dan itu adalah
keyakinan yang sudah mendarah daging sejk di hari-hari pertama
Deklarasi Kemerdekaan itu: bahwa Kebenaran "tak perlu takut
terhadap konflik", selama masih ada senjatanya yang alamiah,
yakni "argumentasi bebas dan perdebatan" Bahwa
"kesalahan-kesalahan akan tak lagi berbahaya, bila diperkenankan
kebebasan untuk menentangnya". Kata-kata itu adalah kata-kata
pemuda yang waktu masih berumur 33 tahun dipilih jadi salah satu
dari lima perumus Deklarasi Kemerdekaan yang sampai kini tak
juga lekang itu. Thomas Jefferson, tentu saja, dalam salah satu
rumusan No. 82 tentang hak-hak, yang dijanjikan sebagai milik
sah setiap warga Amerika (dan mungkin juga dunia).
Maka ketika 4 Juli yang lalu 85% rakyat Amerika menyatakan
merayakan hari ulang tahun negerinya yang ke-200 itu, tampaklah
tanda: negeri itu sedang rukun kembali, dengan ikhlas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini