KETIKA sudah genap masanya, Tuhan pun lalu menghembuskan Rohnya
untuk menghidupkan sebentuk tanah lempung buatan tanganNya
sendiri. Kemudian Adam menghela nafas panjang sebagai tanda
kelegaan, karena sudah dibebaskan dari alam benda-benda. Ia
menjadi makhluk yang lepas dan utuh. Tak berapa lama ia pun
merasa kesepian, sehingga Tuhan turun tangan lagi untuk mencipta
Hawa dari tulang rusuknya. Semuanya nampak baik. Dan mulai saat
itu gumpalan benda-benda, gerak dan waktu, mulai mencair menjadi
suasana sejarah yang hidup.
Namun sewaktu Kain dan Habil diperanakkan, pembubuhan roh atas
mereka punya cerita yang agak lain. Dapat dikatakan, roh yang
mereka warisi merupakan perpaduan yang tak teruraikan antara
nafsu untuk hidup dan sekaligus nafsu untuk menghabisi hidup.
Kain membunuh Habil. Rohnya adalah campuran kompleks antara
cinta kasih dan dorongan nekropilis, antara pengabdian kepada
Tuhan dan niat jahat. Sementara itu Tuhan tidak tinggal diam. Ia
terus-menerus mencipta dan berkata-kata melalui para utusanNya.
Baik dalam nafas keagamaan maupun tidak -- agar manusia dan
sejarahnya tetap bertahan pada kehidupan, tetap bertumbuh serta
tidak saling mematikan diri sendiri. Pesan para nabi adalah
pesan yang kreatif, pesan mengenai kehidupan, khususnya ketika
umat yang mereka hadapi mengalami kekacauan orientasi yang dapat
membawa mereka ke arah bencana.
Riwayat mengenai Yesus anak Maria adalah salah satu contoh.
Tukang kayu yang sejak kecil membantu bapaknya ini suatu kali
menyadari panggilan hidupnya di tengah bangsa yang kehilangan
orientasi. Maka iapun berbicara mengenai Kerajaan Allah yang
bakal tiba, di mana damai dan scjahtera dipenuhi. Dari titik
pengharapan ini muncullah suatu persekutuan agama yang hidup
dalam orientasi kpada kedatangan Kerajaan tersebut Mereka
berkumpul untuk merayakan hari-hari baik mereka. Mereka merasa
dipenuhi oleh sejenis roh yang memberi kegairahan hidup,
kecintaan kepada hidup. Mereka percaya dan mengalami hikmah
serta manfaat arah hidup mereka yang baru. Pendeknya sebagaimana
pengalaman Adam yang lepas dari alam benda-benda. mereka
mengalami pula kelahiran kembali dari alam kemanusiaan yang
lama.
Khabar yang membebaskan itu telah memberi dasar yang kokoh untuk
meneruskan hidup, khususnya bagi bangsa Yahudi yang waktu itu
menghadapi banyak soal yang pelik. Di fihak lain bisa juga
menimbulkan banyak kontroversi. Sebab sejak Adam jatuh ke dalam
dosa, kemurnian setiap berita perlu diperiksa dan
ditimbang-timbang apakah memang dari Tuhan asalnya. Artinya
apakah memang memberi daya yang menghidupkan atau tidak. Dilema
dalam kehidupan beragama berpusat dalam pengalaman untuk
mempertimbangkan pokok ini.
Ketika orang-orang Barat yang suka mencari pengalaman-pengalaman
baru itu membawa agama Kristen ke kepulauan Nusantara,
penyebaran Kristen merupakan campuran aneh antara roh yang
membelenggu dan roh yang melepaskan. Penyebaran agama merupakan
acuan aktifitas yang sulit difahami: antara roh penjajahan dan
kerelaan mengorbankan diri, antara roh merusak dan roh yang
penuh kesediaan untuk membina kehidupan lebih layak. Apakah pada
peristiwa seperti ini kehidupan beragama, khususnya penyiaran
agama, tidak perlu difikirkan secara kritis? Apakah ambivalensi
kehidupan beragama sama dengan ambivalensi tokoh Kain, yaitu
ingin menghormati Tuhan dengan jalan membunuh adiknya?
Demikianlah gereja-gereja Protestan di Indonesia telah lahir
dari kandungan yang cukup pelik, sepelik genesis dari riwayat
anak-anak Adam itu. Pertanyaan yang ada ia]ah: apakah usaha
penyebaran agama tiap kali harus mengulangi tema cerita yang
mengungkapkan kebencian Kain terhadap Habil, justru karena ia
mau mempersembahkan korban sukurnya ke hadirat Tuhan? Penyebaran
agama di masa lampau, dengan segala perang suci yang telah
terjadi, mpaknya memang telah mencapai satu titik di mana
pergumulan untuk membedakan roh-roh yang ada sempat terhenti.
Pada waktu itu ternyata agama juga tak mampu menguji rohnya
sendiri. Tak mampu mempertimbangkan dirinya sendiri. Roh yang
menghidupkan Adam telah menjadi roh keagamaan yang mengilhami
tindakan-tindakan Kain.
Pertemuan ekumenis seperti yang terjadi bulan Juli ini di
Salatiga, di mana 44 anggota Dewan Gereja-gereja di Indonesia
bertemu, mungkin perlu memperhatikan soal ini. Apakah
protestantisme hanya akan menambah corak kehidupan keagamaan di
republik ini, atau akan menjadi persekutuan yang hidup di dalam
Roh yang menghidupkan.
Kecenderungan untuk menjadi bidat memang cukup kuat di kalangan
gereja-gereja Protestan, sesuai dengan tradisinya yang bebas.
Roh bidat yang bersemangat memisahkan diri dari kesibukan asasi
dalam kehidupan bermasyarakat ini, sering dibarengi semangat
menyebarkan agama dengan kecemburuan seperti Kain dan dengan
kemunafikan seperti para penjajah beragama di masa lampau.
Seberapa jauh pertemuan ekumenis yang mahal itu mampu
mempersoalkan persoalan asasi mengenai kehidupan dan
kemanusiaan, akan menjadi pertanda sampai di mana pula daya
hidup roh protestantisme di negeri ini. Sebuah sidang raya tentu
saja tak akan terlalu asli. Ritus-ritus simbolis dan
upacara-upacara akan lebih banyak terjadi. Tetapi selagi roh
yang didukungnya adalah roh yang sejak berabad-abad belum juga
mati, nampaknya tanda-tanda kehidupan sudah berlangsung dalam
sejarahnya sendiri, betapapun lemahnya dikatakan atau tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini