Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nasib Si Pembuka Hutan

Utar Arsyad, pemborong daerah hutan transmigrasi di balikpapan ditahan, karena melaporkan pejabat trans migrasi kalimantan timur yang nyeleweng. namun vonis keputusan pengadilan belum diketahuinya.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANGNYA sudah tua, kurus, ceking dan sayu. Utar Arsyad, pimpinan firma kecil Utar Arsyad & Sons tampaknya termasuk orang yang sial ketika melaksanakan anjuran Menteri Sumarlin agar melaporkan pejabat yang menyeleweng. Sudah setahun empat bulan ini ia meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Samarinda gara-gara melaporkan tindakan Kepala Direktorat Transmigrasi Kaltim drs Widodo Dwidjosaputro . Waktu itu Utar dapat borongan membuka hutan 600 ha di kawasan Balikpapan untuk lokasi transmigrasi. Menurut kontrak yang bernilai Rp 14.400. 000 itu ia harus sudah mulai menebas hutan 6 Pebruari 1974. Karyawan pun segera disiapkan. Tapi tunggu punya tunggu lokasinya ternyata tidak segera ditentukan. "Belum diadakan pengukuran dan dananya belum ada" begitu alasan Widodo. Baru tanggal 9 Mei ketika 42 orang karyawan Utar sudah sebulan menganggur -- ada perintah kerja. Macet Melulu Toh mereka belum bisa segera menebang hutan. Sebab, di lokasi daerah Manggar terjadi sengketa dengan penduduk setempat hingga harus dipndahkan ke Sepaku. Di tempat baru itu ada sengketa pula. Maka proyekpun dipindahkan lagi ke Riko. Tidak hanya perpindahan lokasi yang membingungkan,tapi "peta yang diberikan juga tidak cocok dengan keadaan di lapangan", ujar Utar. Meski begitu ia mulai bekerja juga. Nah, ketika sampai pada saat pembayaran gelombang pertama, ia tiba-tiba terkejut. Mengapa? "Pembayaran tidak didasarkan pada per gelombang, tapi cuma dicicil", katanya. Karena itu Utar merasa kesulitan keuangan yang berakibat terhambatnya pekerjaan. Akan hal penerimaan uang dalam keadaan disunat bukanlah rahasia lagi. Bahkan, seperti dikatakan Utar, ada pejabat yang terang-terangan memaksanya di rumahnya untuk memberi uang. Melihat tingkah para pejabat itu dan mendengar anjuran Menteri Sumarlin yang waktu itu masih terkenal sebagai "Sidik" -- Utar pun membuat surat pengaduan. Hasilnya: sebuah team Jakarta dari Irjen Transmigrasi datang ke Kaltim meninjau itu proyek. Di depan team Utar mengakui sebagian pekerjaannya belum selesai karena adanya sengketa dengan penduduk di samping uangnya macet-macet melulu. Sampai di sini keadaan masih bisa diatasi: team melalui surat 15 Oktober 74 memutuskan agar Utar menyelesaikan pekerjaannya. Widodo juga diwajibkan segera membayar uang hak Utar. Lain keputusan team, lain pula keputusan Widodo. Dan entah bagaimana tiba-tiba Utar ditahan jaksa. Meskipun Utar sudah berkali-kali mengatakan kepada Jaksa Nordinsyah bahwa perkara tersebut sudah selesai di tangan team, jaksa tetap berpendapat bahwa "surat penyelesaian tersebut salah dan tidak berlaku" seperti dikutip Utar kepada TEMPO di Lembaga Pemasyarakatan. Padahal surat yang dianggap tidak berlaku itu ditanda tangani oleh Irjen dan gubernur Kaltim. Walhasil Utar tetap ditahan dan diajukan ke pengadilan dengan tuduhan: menghabiskan uang proyek sedang proyeknya tidak selesai. Sebagai bukti, jaksa menunjuk lokasi Manggar yang ditinjau olehnya. Lokasi itu belum dikerjakan sama sekali. "Terang saja belum dikerjakan. Sebab lokasi Manggar memang sudah dipindahkan" tangkis Utar di depan majelis hakim pimpinan Sumaria Bastaman SH. "Lokasi pekerjaan saya masih 3000 meter dari lokasi yang ditinjau" katanya lagi. Ketika diadakan peninjauan, sebenarnya Utar sudah mengajak jaksa untuk ke lokasi sebenarnya. Tapi, seperti ujar Utar "mereka beralasan waktunya sudah sore dan tidak ada uangnya". Tukang Setrika Akhirnya pada 5 Juli tahun lalu hakim memutuskan Utar dihukum 7 bulan penjara potong tahanan. Bukan lantaran proyeknya tidak selesai, tapi didasarkan pada kesalahannya "ikut serta membuat surat palsu". Surat palsu yang dimaksud ialah berita acara penyerahan proyek untuk menghindari hangusnya uang di KBN. "Berita acara itu disodorkan kepada saya setelah ada tanda tangan yang lain-lain" ujar Utar mengakui kecerobohannya. "Tapi ini nama nya buntutnya ditindak sedang kepalanya dibiarkan" katanya jengkel. Yang dimaksud "kepala" tentu drs Widodo. Sebab konsep surat itu datang dari pejabat ini di mana Utar "hanya" ikut menandatangani. Sang Kepala Direktorat ini sebenarnya sudah pernah ditahan pula. Tapi entah mengapa sampai kepindahannya dari Samarinda tahun lalu tidak ada kabar berita penyelesaiannya. Mendengar putusan hakim itu, jaksa yang menuntut 4 tahun penjara kontan naik banding. Dan Utar -- yang seandainya putusan itu bisa diterima masih punya "saldo" masa tahanan -- terpaksa harus memperbesar "saldo"nya, sambil menunggu putusan banding. Isterinya karena barang-barangnya sudah disita, terpaksa bekerja sebagai tukang setrika. Sedang Utar sendiri kian hari kian kurus dijepit dinding-dinding penjara. Putusan banding yang ditunggu sebenarnya sudah dijatuhkan tanggal 22 Maret 1976. Tapi memang dasar sial, sampai pertengahan Juni yang lalu apa bunyi vonisnya masih belum diketahui. Sebab putusan itu belum sampai ke tangannya. Nyangkut di mana?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus