ORANGNYA sudah tua, kurus, ceking dan sayu. Utar Arsyad,
pimpinan firma kecil Utar Arsyad & Sons tampaknya termasuk orang
yang sial ketika melaksanakan anjuran Menteri Sumarlin agar
melaporkan pejabat yang menyeleweng. Sudah setahun empat bulan
ini ia meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Samarinda gara-gara
melaporkan tindakan Kepala Direktorat Transmigrasi Kaltim drs
Widodo Dwidjosaputro .
Waktu itu Utar dapat borongan membuka hutan 600 ha di kawasan
Balikpapan untuk lokasi transmigrasi. Menurut kontrak yang
bernilai Rp 14.400. 000 itu ia harus sudah mulai menebas hutan 6
Pebruari 1974. Karyawan pun segera disiapkan. Tapi tunggu punya
tunggu lokasinya ternyata tidak segera ditentukan. "Belum
diadakan pengukuran dan dananya belum ada" begitu alasan Widodo.
Baru tanggal 9 Mei ketika 42 orang karyawan Utar sudah sebulan
menganggur -- ada perintah kerja.
Macet Melulu
Toh mereka belum bisa segera menebang hutan. Sebab, di lokasi
daerah Manggar terjadi sengketa dengan penduduk setempat hingga
harus dipndahkan ke Sepaku. Di tempat baru itu ada sengketa
pula. Maka proyekpun dipindahkan lagi ke Riko. Tidak hanya
perpindahan lokasi yang membingungkan,tapi "peta yang diberikan
juga tidak cocok dengan keadaan di lapangan", ujar Utar. Meski
begitu ia mulai bekerja juga. Nah, ketika sampai pada saat
pembayaran gelombang pertama, ia tiba-tiba terkejut. Mengapa?
"Pembayaran tidak didasarkan pada per gelombang, tapi cuma
dicicil", katanya. Karena itu Utar merasa kesulitan keuangan
yang berakibat terhambatnya pekerjaan. Akan hal penerimaan uang
dalam keadaan disunat bukanlah rahasia lagi. Bahkan, seperti
dikatakan Utar, ada pejabat yang terang-terangan memaksanya di
rumahnya untuk memberi uang.
Melihat tingkah para pejabat itu dan mendengar anjuran Menteri
Sumarlin yang waktu itu masih terkenal sebagai "Sidik" -- Utar
pun membuat surat pengaduan. Hasilnya: sebuah team Jakarta dari
Irjen Transmigrasi datang ke Kaltim meninjau itu proyek. Di
depan team Utar mengakui sebagian pekerjaannya belum selesai
karena adanya sengketa dengan penduduk di samping uangnya
macet-macet melulu. Sampai di sini keadaan masih bisa diatasi:
team melalui surat 15 Oktober 74 memutuskan agar Utar
menyelesaikan pekerjaannya. Widodo juga diwajibkan segera
membayar uang hak Utar.
Lain keputusan team, lain pula keputusan Widodo. Dan entah
bagaimana tiba-tiba Utar ditahan jaksa. Meskipun Utar sudah
berkali-kali mengatakan kepada Jaksa Nordinsyah bahwa perkara
tersebut sudah selesai di tangan team, jaksa tetap berpendapat
bahwa "surat penyelesaian tersebut salah dan tidak berlaku"
seperti dikutip Utar kepada TEMPO di Lembaga Pemasyarakatan.
Padahal surat yang dianggap tidak berlaku itu ditanda tangani
oleh Irjen dan gubernur Kaltim. Walhasil Utar tetap ditahan dan
diajukan ke pengadilan dengan tuduhan: menghabiskan uang proyek
sedang proyeknya tidak selesai.
Sebagai bukti, jaksa menunjuk lokasi Manggar yang ditinjau
olehnya. Lokasi itu belum dikerjakan sama sekali. "Terang saja
belum dikerjakan. Sebab lokasi Manggar memang sudah dipindahkan"
tangkis Utar di depan majelis hakim pimpinan Sumaria Bastaman
SH. "Lokasi pekerjaan saya masih 3000 meter dari lokasi yang
ditinjau" katanya lagi. Ketika diadakan peninjauan, sebenarnya
Utar sudah mengajak jaksa untuk ke lokasi sebenarnya. Tapi,
seperti ujar Utar "mereka beralasan waktunya sudah sore dan
tidak ada uangnya".
Tukang Setrika
Akhirnya pada 5 Juli tahun lalu hakim memutuskan Utar dihukum 7
bulan penjara potong tahanan. Bukan lantaran proyeknya tidak
selesai, tapi didasarkan pada kesalahannya "ikut serta membuat
surat palsu". Surat palsu yang dimaksud ialah berita acara
penyerahan proyek untuk menghindari hangusnya uang di KBN.
"Berita acara itu disodorkan kepada saya setelah ada tanda
tangan yang lain-lain" ujar Utar mengakui kecerobohannya. "Tapi
ini nama nya buntutnya ditindak sedang kepalanya dibiarkan"
katanya jengkel. Yang dimaksud "kepala" tentu drs Widodo. Sebab
konsep surat itu datang dari pejabat ini di mana Utar "hanya"
ikut menandatangani. Sang Kepala Direktorat ini sebenarnya sudah
pernah ditahan pula. Tapi entah mengapa sampai kepindahannya
dari Samarinda tahun lalu tidak ada kabar berita
penyelesaiannya.
Mendengar putusan hakim itu, jaksa yang menuntut 4 tahun penjara
kontan naik banding. Dan Utar -- yang seandainya putusan itu
bisa diterima masih punya "saldo" masa tahanan -- terpaksa harus
memperbesar "saldo"nya, sambil menunggu putusan banding.
Isterinya karena barang-barangnya sudah disita, terpaksa bekerja
sebagai tukang setrika. Sedang Utar sendiri kian hari kian kurus
dijepit dinding-dinding penjara.
Putusan banding yang ditunggu sebenarnya sudah dijatuhkan
tanggal 22 Maret 1976. Tapi memang dasar sial, sampai
pertengahan Juni yang lalu apa bunyi vonisnya masih belum
diketahui. Sebab putusan itu belum sampai ke tangannya. Nyangkut
di mana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini