SERANGAN fajar Ahad lalu telah mengakhiri gencatan senJata yang
sudah berlangsung tiga pekan antara kelompok yang pro dan kotra
Arafat. Bentrokan terjadi di sekitar Shoutra, kota di sisi barat
Lembah Bekaa, Libanon. Akibatnya dua tewas dan sembilan
luka-luka, demikian menurut kantor berita PLO, Wafa.
Selama gencatan senjata tercatat dua kemajuan di pihak
pemberontak Abu Musa (lihat Negara untuk . . . .) Pertama,
Arafat resmi menyetujui kepemimpinan kolektif yang dituntut
mereka, Kedua, perwira senior Abu Hajim dan Haj Ismail yang
diorbitkan Arafat tapi ditentang Musa, juga sudah dicopot. Tapi
sesudah itu perdamaian tidak dengan sendirinya menghampiri
Al-Fatah, organisasi gerilyawan terbesar dalam tubuh Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO). Pendekatan yang dilakukan Arafat
kepada Hafez Assad lewat Moskow dan Ryadh, juga tidak membuahkan
hasil.
Presiden Suriah Assad nampak semakin sukar dilunakkan. Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat George Shultz yang berkunjung ke
Damaskus, tak urung kecewa oleh sikap Kepala Negara Suriah itu.
"Kami bersilang pendapat terus," ucap Shultz dalam satu
perbincangan dengan tokoh-tokoh Israel. "Tidak ada persetujuan
sama sekali."
Bisa dimaklumi bila Shultz kecewa, Assad bukan saja tidak
mengacuhkan imbauannya untuk menarik mundur tentara Suriah dari
Libanon, juga menolak ajakan untuk membina hubungan baik dengan
Pemerintahan Amin Gemayel. Laporan terakhir menyebutkan Suriah
terang-terangan memihak dan mendukung golongan Islam Druze yang
belakangan terlibat pertempuran sengit dengan golongan Kristen
Falangis.
Kunjungan Presiden Amin Gemayel ke Washington bulan ini --
kunjungan kedua dalam tempo setahun -- mencerminkan betapa
gawatnya krisis Libanon. Seakan mengejek, beberapa jam sesudah
pesawatnya bertolak ke AS, bandar udara Beirut diriuhkan oleh
tembak-menembak roket antara Falangis dan Druze. Inilah
bentrokan pertama di tempat itu sejak pasukan multinasional tiba
11 bulan silam.
Radio Damaskus sementara itu menuduh Pemerintah Libanon
cenderung membiarkan wilayahnya terbagi dua -- masing-masing di
bawah pengaruh AS dan Israel. Benar atau tidak, yang pasti
negeri itu terancam, dan bisa terkoyak-koyak, dicakar tentara
pendudukan Israel yang menghadang di perbatasan Selatan dan
tentara pendudukan Suriah yang mengancam dari Lembah Bekaa.
Bencana seperti inilah sebenarnya yang harus dihindarkan sejak
mula. Tapi apa daya. Dalam keadaan serba tidak menentu tiba-tiba
utusan khusus Presiden Reagan, Philip C. Habib, diberitakan
mengundurkan diri pula, Jumat silam, tanpa meninggalkan
pesan-pesan. Ia digantikan Robert C. McFarlan, asisten deputi
bidang keamanan nasional AS.
Adalah misi Shultz yang gagal, bukan Habib. Perjanjian
Israel-Libanon yang diprakarsai Shultz, Mei lalu sampai kini
cuma kata-kata kosong di kertas. Akibat perjanjian itu, Suriah
memperkuat diri, hingga upaya perdamaian terbentur jalan buntu.
Diperkirakan Assad tidak akan bergeser sedikit pun, karena
sasarannya tak lain merebut kembali Tanah Tinggi Golan dari
kekuasaan Israel -- suatu upaya yang dipandang mustahil di Tel
Aviv.
Bekas perdana menteri Israel, Yitzak Rabin, menyimpulkan
kebuntuan itu dalam kata-kata, "AS kehilangan peluang." Katanya,
rencana perdamaian Reagan sudah tidak lagi mengandung harapan,
sementara itu Washington akan mengurangi keterlibatannya di
Timur Tengah dalam tempo 1« tahun menjelang pemilihan umum.
Yang juga kehilangan peluang adalah Menahem Begin dan Yasser
Arafat. Pemimpin Israel itu pekan silam menunda untuk kedua
kalinya ke Washington, konon, karena kesehatan yang semakin
memburuk. "Begin menderita sakit hingga tidak punya kemampuan
untuk memutuskan," komentar surat kabar berhaluan bebas Haaretz.
Arafat seperti yang terlihat juga tidak dapat berperan banyak
mengatasi krisis Al-Fatah. Semua menunggu Assad. Apakah tongkat
kepemimpinan dunia Arab akan berpindah ke tangan kepala negara
Suriah itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini