TAK terdengar tepuk tangan menyambut Henryk Jablonski, ketika
presiden Polandia itu mengumumkan pencabutan Undang-undang
Darurat di depan Sejm (parlemen), pekan lalu. Jalan-jalan Kota
Warsawa pun tetap lengang. Esoknya, beberapa ratus orang
menonton upacara militer di Makam Prajurit Tak Dikenal, di
tengah Lapangan Kemenangan. Pelaksanaan penghapusan UU Darurat
memang dijatuhkan pada hari nasional -- ulang tahun ke-31
pembentukan konstitusi Republik Rakyat Polandia.
Setelah diberlakukan 19 bulan dan sembilan hari, undang-undang
yang mengundang protes di dalam dan luar negeri itu akhirnya
dinyatakan hapus. Tetapi nasib dan wajah Polandia tidak serta
merta berubah cerah. Perdana Menteri dan pemimpin Partai Komunis
Polandia, Jenderal Wojciech Jaruzelski, memang telah membubarkan
dewan militer yang memerintah Polandia di bawah UU Darurat
(WRON). "Tetapi itu hanya di dalam nama, bukan dalam
semangatnya," ujar seorang pengamat Barat.
Rakyat Polandia sendiri tidak begitu kaget menerima kenyataan
ini. Jauh sebelumnya, pemimpin serikat buruh terlarang
Solidaritas, Lech Walesa, sudah mengingatkan, "pencabutan UU
Darurat tidak akan membawa perubahan." Sementara itu, pemimpin
bawah tanah Solidaritas, Zbigniew Bujak, mengimbau
rekan-rekannya untuk tidak segera muncul ke permukaan, sebelum
semuanya menjadi jelas. Mereka bersembunyi sejak Desember 1981.
Penghapusan UU Darurat diikuti pengesahan "peraturan khusus",
yang dalam banyak hal malah tambah mengekang. Apalagi dalam
pidatonya di Sejm, Jaruzelski tampak tidak bergeming. "Polandia
tetap menghadapi ancaman dari dalam dan luar negeri," katanya.
"Tetapi anarki tidak bakal terulang. Para biang kerok
kontrarevolusi jangan bermimpi yang bukan-bukan." Justru pada
saat itu ke-460 anggota Sejm bertepuk tangan dengan teratur.
Padahal, ancaman yang paling serius tampaknya bersumber pada
kegagalan pemerintah Polandia membenahi ekonomi yang
morat-marit. Kebobrokan ekonomi pulalah, antara lain, yang
membangkitkan keresahan sekitar awal 1980. Agustus tahun itu,
pemerintah dan wakil-wakil kaum buruh menandatangani Persetujuan
Gdansk, yang menghalalkan berdirinya serikat buruh bebas
Solidaritas.
Tak tahan menanggung demonstrasi dan pemogokan bertubi-tubi yang
dilancarkan Solidaritas, akhir Februari 1981 Partai Komunis
Polandia mendudukkan Jenderal Jaruzelski ke kursi perdana
menteri, menggantikan Jozef Pinkowski yang dinilai kurang
trengginas. Jenderal yang menderita penyakit mata ini
memberlakukan UU Darurat, 13 Desember tahun itu.
Pemberlakuan UU Darurat otomatis membubarkan Solidaritas secara
resmi. Lech Walesa tak lagi diakui sebagai pemimpin apa pun,
bahkan sempat ditahan beberapa bulan. Tetapi perlawanan berjalan
terus, terutama protes dari negeri-negeri nonkomunis. Barat,
terutama AS, mengenakan sanksi ekonomi yang cukup berat terhadap
Polandia. Terakhir, pemimpin umat Katolik, Paus Yohanes Paulus
II, dalam kunjungannya ke negeri itu Juni lalu secara halus
menyindir Jaruzelski perihal UU Darurat yang menekan kehidupan
rakyat.
Dalam pidatonya di Seim, Kamis minggu lampau, Jaruzelski
bersikeras membantah pencabutan UU Darurat sebagai akibat sanksi
Barat. "Belum pernah, dan tidak akan pernah, masalah dalam
negeri kami dipengaruhi campur tangan asing," katanya. Sudah
tentu Uni Soviet tidak termasuk hitungan "asing".
Pencabutan UU Darurat, sebagaimana layaknya, disusul amnesti
atas sejumlah tahanan politik. Tetapi angka-angka mengenai
jumlah tahanan, sejak semula, simpang siur. Menurut pengakuan
Warsawa, mereka hanya menahan 200 perusuh. Sumber-sumber lain
menyebut angka 456, 800, bahkan 1.200 (1.050 di antaranya
anggota Solidaritas). Para pejabat Washington malah menyebut
angka 4.000.
Sekitar 100 tahanan konon dibebaskan mulai Senin lalu. Yang
mendapat amnesti resmi dikabarkan 650 tahanan. Kalau jumlah
tahanan, sesuai pengakuan Warsawa, hanya 200, bagaimana mereka
bisa memberi amnesti kepada 650 orang?
"Peraturan khusus" pengganti UU Darurat memang tak bisa disambut
dengan suka cita. Pada bagian pertamanya, peraturan itu memberi
izin para manajer perusahaan (negara) mempekerjakan karyawan
hingga 46 jam seminggu. Kemungkinan pindah pekerjaan nyaris
tertutup.
Perusahaan juga dilarang memberi keuntungan material kepada kaum
buruh. Pemerintah diberi kekuasaan membekukan harga yang
ditetapkan produsen untuk distributor, bahkan berkuasa
mengarahkan jenis produksi perusahaan tertentu. Pasal ini
bertentangan dengan prinsip program pembaruan ekonomi
sebelumnya, yang bertujuan memberikan otonomi lebih luas kepada
perusahaan.
Hak-hak dewan karyawan dikekang, bahkan dewan seperti itu bisa
dibubarkan bila dipandang membuat onar. Peraturan lama terhadap
"parasit masyarakat" diperketat. Sasarannya ialah mereka yang
dianggap pemalas, tetapi bisa juga para anggota Solidaritas yang
menganggur, karena dipecat.
Para anggota kabinet diberi kekuasaan untuk mencampuri urusan
senat, dekan, rektor, dan staf fakultas, sampai tindakan
memecat. Para mahasiswa dibatasi mengikuti organisasi pemuda
yang tidak disenangi pemerintah. Guru dan mahasiswa bisa dipecat
bila dipandang "melawan kepentingan pemerintah". Izin untuk
menyelenggarakan rapat juga diperketat.
Para penguasa diizinkan membubarkan dewan pimpinan perkumpulan
kebudayaan. Pasal ini tampaknya dialamatkan kepada Persatuan
Penulis Polandia, yang kerap kali membuat jengkel Partai
Komunis. Hingga 1986, pembentukan serikat buruh nonpemerintah
tidak dimungkinkan. Sensur juga bakal diperketat terhadap karya
akademis, perpustakaan, buku asing, dan buletin organisasi.
Mereka yang menyebarkan "keterangan palsu" dan bergabung dengan
organisasi terlarang diancam hukuman kurungan sampai tiga tahun.
Setelah amnesti, konon 80 tahanan tetap mendekam, termasuk tujuh
tokoh Solidaritas dan lima tokoh Komite Pembelaan Buruh (KOR).
Mereka yang sudah dilepas juga diancam hukuman penjara, bila
kedapatan ambil bagian dalam kegiatan politik memusuhi
pemerintah.
Menanggapi "pencabutan UU Darurat" model begini, wajar para
pemimpin Barat mengambil sikap hati-hati. Presiden AS Ronald
Reagan, misalnya, segera akan berembuk dengan sckutu-sekutu
Eropanya sebelum menentukan sikap. "Kalau Polandia sekadar
melakukan langkah kosmetik, sulit bagi kita membicarakan
pencabutan sanksi ekonomi," ujar seorang pejabat Gedung Putih.
Padahal Polandia sangat mengharapkan keringanan membayar
utangnya yang berjumlah US$ 26 milyar. Begitu pula fasilitas
lain, misalnya, izin menangkap ikan di perairan Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini