Tahun Macan yang menaungi tahun 1998 ini ternyata tidak selalu menunjukkan wajah garang di Kamboja. Bentrokan senjata memang terjadi beberapa kali di beberapa tempat. Namun, menjelang tutup tahun, perkembangan di negeri ladang pembantaian itu menunjukkan arah yang menggembirakan.
Hal yang menggembirakan itu muncul karena Hun Sen dan Norodom Ranariddh telah berdamai seusai pemilihan umum November lalu. Mereka sepakat membagi kekuasaan. Hun Sen, yang memenangi pemilu, mendapatkan kursi perdana menteri, sementara Ranariddh dipercaya menjabat ketua parlemen. Komposisi ini melegakan rakyat Kamboja. Tahun lalu—ketika negara ini memiliki dua perdana menteri—setelah perselisihan terpendam sekitar empat tahun, Hun Sen selaku PM II memecat Ranariddh sebagai PM I. Senjata dari dua kubu pun menyalak kembali. Puncaknya terjadi pada 5-6 Juli 1997 dengan ratusan korban jiwa. Hun Sen, yang memiliki kekuatan militer lebih kuat, memang berhasil menyingkirkan saingannya. Namun, langkah ini justru sangat tidak populer bagi dunia luar. Kursi Kamboja di PBB dinyatakan lowong karena baik Hun Sen maupun Ranariddh mengajukan klaim sebagai wakil yang sah, sementara keanggotaan mereka di ASEAN dipertimbangkan. Nah, rujuk tahun ini berhasil mengembalikan kursi Kamboja di PBB, sekaligus membuat ASEAN menyatakan Kamboja sebagai anggota penuh ke-10.
Di tengah suasana kemesraan ini, tiba-tiba muncul "gangguan" baru. Dua gembong gerilyawan Khmer Merah, Khieu Samphan dan Nuon Chea, tiba-tiba menyerah kepada pemerintah tanpa syarat. Kepastian ini diberikan oleh Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Kamboja, Jenderal Meas Sophea. Menurut Sophea, dua tokoh yang selama ini bersembunyi di hutan itu menyatakan ingin kembali menjadi rakyat biasa. Selain itu, penyerahan diri ini dimaksudkan sebagai sumbangan mereka untuk rujuk nasional.
Namun, "niat baik" itu justru menjadi sandungan bagi kiprah baru Kamboja di panggung internasional. Masalahnya, kedua dedengkot Khmer Merah tersebut termasuk orang yang paling bertanggung jawab atas tewasnya sekitar1,7 juta rakyat Kamboja semasa pemerintahan mereka. Samphan, yang lahir pada 1931, adalah ideolog Khmer Merah. Cetak biru kebijakan Khmer Merah, seperti pertanian kolektif, berasal dari tesis doktoralnya di Universitas Paris. Dengan kata lain, sekalipun Samphan bukan orang militer, ia dianggap sebagai otak Khmer Merah yang sesungguhnya. Sedangkan Nuon Chea adalah pejabat Khmer Merah kedua, setelah mendiang Pol Pot, sebagai pemimpin rezim teror, yang bertanggung jawab atas tewasnya jutaan penduduk Kamboja.
Merujuk apa yang terjadi pada mantan diktator Cile Augusto Pinochet di Inggris, publik internasional merasa bahwa sudah sepantasnya dua tokoh tua tersebut diajukan ke pengadilan. Publik internasional memang sangat geram ketika Pol Pot menemui ajal tanpa sempat diadili.
Juru bicara pemerintah Khieu Kanharith mengatakan, menurut konvensi internasional, tidak ada pemerintahan yang bisa memberikan amnesti kepada mereka yang terlibat pembunuhan massal. Namun, Kanharith menolak ide pengadilan internasional. "Berbeda dengan soal penjahat perang Nazi, persoalan kami adalah antara Khmer dan Khmer," ujar Kanharith.
Hun Sen, yang sudah menerima dua tokoh Khmer Merah itu, akhirnya menolak desakan untuk mengajukan mereka ke pengadilan internasional. Alasannya, hal itu bukan yang terbaik bagi Kamboja karena penyelesaian semacam itu bisa menyulut perang saudara dalam bentuk lain. Keengganan Hun Sen barangkali bisa ditafsirkan begini: bila pengadilan berjalan terbuka, seluruh kebusukan Khmer Merah akan terungkap. Dan Hun Sen, yang pernah menjadi anggota Khmer Merah sebelum membelot, bisa terseret. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan Raja Kamboja Norodom Sihanouk ikut terbawa. Setelah terguling oleh Lon Nol yang didukung Amerika, Sihanouk—oleh sebagian rakyat Kamboja—dianggap ikut merestui aksi Khmer Merah sebelum akhirnya kebablasan.
Sebenarnya, Khieu Samphan sudah menyatakan permintaan maaf atas perbuatannya. Menurut konstitusi Kamboja, setelah diadili, ia bisa memperoleh pengampunan raja. Yang pasti, sebagian besar rakyat menginginkan agar Samphan diadili dan dihukum agar ikut merasakan penderitaan mereka. Situasi ini menyebabkan Kamboja berada di simpang jalan. Bila tidak hati-hati, bangunan rujuk nasional yang masih rapuh ini akan mudah berantakan kembali.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini