Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Yang Agung dan Kelak Harus Disempurnakan

Proses hukum pidana masih menafikan hak asasi manusia. Peradilan pun tak kunjung bebas dari politik kekuasaan.

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 31 Desember 1998, genaplah tujuh belas tahun usia Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ternyata karya hukum berupa Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, yang dulu dikategorikan agung itu, kini semakin usang dan banyak lubang. Dibandingkan dengan hukum acara lama warisan Belanda, Herziene Inlandsch Reglement, KUHAP memang lebih mengutamakan hak asasi manusia. Setidaknya, ada sembilan belas hak tersangka dicantumkan pada KUHAP, mulai hak mengetahui tuduhan, hak didampingi pengacara, hak membela diri dan menempuh upaya hukum, sampai hak menuntut ganti rugi. Pemaparan semua hak itu secara rinci tentu dimaksudkan agar KUHAP bisa benar-benar dijadikan pedoman utama untuk menyelenggarakan sistem peradilan pidana yang fair dan obyektif di negeri ini. Namun, sepanjang KUHAP diberlakukan, ternyata hak-hak tersebut cuma berpindah ke atas kertas. Pelaksanaannya di lapangan sungguh tidak mudah. Tak cuma itu. Bila hak-hak tersangka dilanggar, terutama oleh polisi selaku penyidik, "KUHAP tak mengatur sanksi hukumnya," ucap Bambang Widjajanto, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Begitu juga bila penyidik menyalahgunakan wewenangnya. Kasus penganiayaan Tjetje Tadjudin oleh polisi yang memeriksanya di Bogor, yang terjadi pada 1996, adalah contohnya. Pendeknya, berbagai kasus kekerasan ataupun intimidasi terhadap tersangka masih acap terjadi. Tapi kejanggalan belum berhenti di sini. Bila kemudian aparat penyiksa tadi diadili, juga para terdakwa polisi?pada kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti?dan terdakwa Komando Pasukan Khusus pada kasus penculikan mahasiswa serta penggiat prodemokrasi, peradilan terhadap mereka juga dilakukan di mahkamah militer yang cenderung eksklusif. Tindak pidananya tidak berbeda dari yang dilakukan warga sipil, tapi peradilannya lain sekali dibandingkan dengan proses dan hukuman pada peradilan umum. Betul, ada lembaga perlindungan hak tersangka pada KUHAP, yakni praperadilan. Lembaga itu sekaligus mengontrol tugas polisi dan jaksa dalam hal penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Hanya saja, praperadilan, seperti dikatakan ahli hukum pidana Prof. Loebby Loeqman, amat formalistis. "Yang diperiksa cuma ada-tidaknya surat penangkapan. Meski surat penangkapan memang tak ada, sewaktu sidang tahu-tahu sudah ada," tutur Loebby Loeqman. Walhasil, jarang ada praperadilan yang dimenangkan tersangka. Menurut Loebby Loeqman, penerapan KUHAP menjadi amat lemah terutama pada proses penyidikan. Itu berarti di tingkat polisi. Sudah begitu, dengan adanya undang-undang lain di luar KUHAP, penyidik pun kini tak hanya polisi. Ada jaksa sebagai penyidik kasus korupsi, ada pula penyidik bea cukai. Akibatnya, terjadi semacam "rebutan rezeki" antarpenyidik. Ini semakin kentara pada pengusutan kasus korupsi perbankan. Pada proses peradilan perkara politik, yang mestinya tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan, independensi aparat penegak hukum, entah polisi, jaksa, ataupun hakim, juga lemah. Ini dibenarkan oleh Bambang Widjajanto. Polisi, misalnya, tak memberitahukan alasan ditangkapnya tersangka kasus politik. Setelah di pengadilan, terdakwa pun seakan sudah dinilai bersalah. Tak mengherankan bila ada anggapan bahwa vonis terdakwa sudah ada di "kantong" hakim sebelum palu diketuk. Memang, berbagai perkara politik "diputihkan" belakangan oleh pemerintahan prareformasi. Yang jelas, keadaannya berbeda pada perkara pidana yang menyangkut pejabat, mantan pejabat, atau orang yang dekat dengan kekuasaan. Proses penegakan hukumnya terkesan lamban, yang terlibat tak ditahan, dan penyitaan harta mereka pun dilakukan setengah hati. Berdasarkan itulah, kalangan hukum, termasuk Bambang Widjajanto dan Loebby Loeqman, berpendapat bahwa KUHAP harus segera disempurnakan. Bambang menambahkan, perlunya kewajiban polisi untuk memberitahukan hak-hak seseorang yang ditangkap--semacam "Miranda War-ning" di Amerika?dicantumkan pada KUHAP baru. Yang juga penting untuk diakomodasi pada KUHAP?berdasar pengalaman kasus kerusuhan Mei silam?adalah masalah saksi korban pemerkosaan, baik soal perlindungan saksi, pemulihan trauma psikologis, maupun kemungkinan ganti ruginya. Sementara itu, Menteri Kehakiman Muladi menyatakan bahwa instansinya sudah lama menyiapkan bahan penyempurnaan KUHAP. Masalahnya, pemerintahan sekarang terbentur pada keterbatasan waktu. Bayangkan, hanya dalam waktu lima bulan pemerintah harus menyiapkan lima belas rancangan undang-undang di bidang hak asasi manusia, politik, dan ekonomi, sesuai dengan amanat ketetapan MPR. Dengan demikian, "Undang-undang yang besar, seperti KUHAP, KUH Pidana, KUH Perdata, biar diemban sebagai tugas pemerintah yang akan datang. Namun bahannya sudah kami siapkan," kata Muladi. Kalau begitu, penyimpangan KUHAP juga diteruskan ke era pemerintahan pasca-Presiden B.J. Habibie? Happy S., Edy Budiyarso, dan Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus