SEKALI lagi Mat Ja'i mengorek tong sampah itu. Isinya tetap sama. Beberapa serpih sayuran busuk, plastik-plastik pembungkus, ampas kelapa, dan kulit telur. Jangankan karton, sesobek kertas koran pun tak tampak. Sial.
Bagi Mat Ja'i, sejak beberapa bulan terakhir ini, mengais duit dari tong sampah kian sulit saja. Semula, ia mengira itu karena ia kurang rajin. Mat Ja'i pun tergerak menghardik etos kerjanya, mengurangi jatah tidurnya. Kalau biasanya pukul lima pagi baru bangun, kini jauh sebelum beduk subuh tubuhnya sudah mulai gentayangan dari satu tong sampah ke tong sampah yang lain. Tapi panen tak berubah. Rupanya, banyak pemulung lain yang sudah mendahuluinya "ngantor". "Tak tahulah," katanya setengah putus asa, "Mungkin sudah mesti jalan sejak tengah malam."
Boleh jadi, dengan "ngantor" mulai tengah malam pun, penghasilan Mat Ja'i tak banyak berubah. Soalnya, bukan rentang waktu dan keleluasaan yang dibutuhkan, tapi kendornya persaingan. Sulit dibantah, sejak setahun belakangan ini, volume sampah buruan menciut sedangkan jumlah pemulung melonjak pesat. Krisis tampaknya bukan cuma menyunat minat dan kemampuan rumah tangga membuang sampah, tapi juga menggenjot jumlah pemulung kagetan.
Mat Ja'i sendiri termasuk jenis kagetan ini. Setahun lalu, ia adalah penjaga keamanan di sebuah kompleks perumahan di kawasan timur Jakarta. Tapi sejak krisis melanda segala pojok kehidupan, Mat Ja'i harus meninggalkan posnya. Padahal, tuntutan kebutuhan hidup tak bisa ditanggalkan. Satu-satunya jalan paling gampang, ya, banting setir jadi pemulung.
Tampaknya jalan banting setir seperti Mat Ja'i juga ditempuh jutaan penganggur lain yang lahir lantaran pemutusan hubungan kerja atawa PHK. Statistik mencatat, tahun ini ada sekitar 20 juta pekerja yang diberhentikan. Ini belum termasuk sekitar 2,7 juta angkatan kerja baru dan setengah juta drop out sekolah. Total jenderal, ada sekitar 23,2 juta orang yang mestinya bekerja atau bersekolah yang kini harus menganggur. Mereka inilah yang kemudian meluber ke sektor-sektor informal. Mereka bekerja serabutan, membuka warung, menjadi "polisi cepek", ngamen, atau menjadi pemulung.
Lalu, bagaimana prospeknya tahun depan? Apakah mereka akan tertampung kembali dalam pabrik-pabrik? Apakah mereka akan kembali berlepotan oli dalam mesin-mesin yang berputar?
Tampaknya, semua orang pesimistis?kecuali Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris, yang optimistis. Tanpa alasan yang pasti, Menteri Fahmi yakin, Indonesia tahun depan akan mencetak belasan juta lapangan kerja baru yang akan menyerap sekitar 3 juta angkatan kerja baru, sekaligus memangkas angka pengangguran dari 20 juta menjadi 10 juta saja. Sebabnya hanya ini: indikator ekonomi memang sedang membaik.
Secara umum, sejumlah gelagat memang terasa menyejukkan. Balapan kenaikan harga, misalnya, mulai berhasil direm. Harga dolar juga bisa dikendalikan. Suku bunga bank juga mulai dikendorkan. Di pasar-pasar, sering kedengaran orang guyon, rupiah yang dulu ngumpet itu kini mulai makin gampang kelihatan.
Namun itu semua tak menjamin perekonomian akan tumbuh. Sejumlah riset yang dilakukan pelbagai lembaga menyimpulkan, perekonomian masih akan merosot lantaran krisis belum sampai pada dasar terbawah. Dana Moneter Internasional (IMF) menaksir, perekonomian Indonesia masih merosot tiga persen. Sejumlah lembaga lain rata-rata menyimpulkan perekonomian kita masih meluncur minus satu persen.
Dengan taksiran itu, jumlah penganggur pasti masih akan terus menanjak. Ada hitungan umum, jika perekonomian minus satu persen, jumlah penganggur di Indonesia akan meningkat sekitar 450 ribu orang. Ini masih akan ditambah dengan jumlah angkatan kerja baru yang tahun depan diperkirakan mencapai 3 juta. Jadi, total jenderal, menurut hitungan Direktur Center for Labor and Development Studies (CLDS), Bomer Pasaribu, tingkat pengangguran terbuka (bekerja kurang dari 60 menit seminggu) tahun depan bisa mencapai 29-32 juta orang, atau sekitar 31 persen dari angkatan kerja..
Kondisi bakal makin buruk jika hajatan politik seperti kampanye, pemilu, dan Sidang Umum MPR, tidak berlangsung mulus. Kalau sisi politik guncang, tahun depan akan terjadi sinergi antara krisis ekonomi dan krisis politik yang akan menaikkan country risk kita. "Tahun ini sudah very dangerous, tapi tahun depan lebih berbahaya lagi," kata Bomer.
Lalu, apa akibatnya? Yang keserempet pertama kali tentu saja tingkat kesejahteraan. Jumlah orang bekerja berkurang, padahal jumlah orang yang harus diberi makan bertambah. Artinya, jumlah orang yang harus ditanggung oleh seorang pekerja, atau disebut tingkat ketergantungan riil, akan membengkak. Jika tahun ini satu pekerja harus menghidupi 5,3 orang, tahun depan satu orang harus menanggung 6,1 orang lain. Pendek kata, kata seorang analis pasar modal, "Seperti sepiring buat berenam."
Beban ini tentu tak berhenti begitu saja, tapi akan segera merembet. Kerusuhan sosial akan gampang disulut, tingkat kriminalitas akan berlipat ganda. Kalau ini dibiarkan, jangan kaget kalau Mat Ja'i, tokoh kita tadi, memang terpaksa harus berangkat ke "kantor" sejak tengah malam, tapi bukan untuk memulung barang di tempat sampah....
Bina Bektiati, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini