PERJALANAN bisnis properti di Indonesia adalah sebuah antiklimaks: mentereng awalnya, tapi lunglai di akhir cerita. Kalau dua-tiga tahun lalu pameran perumahan?sebagai tolok ukur betapa gemerlapnya bisnis ini sebelum krisis?yang dilangsungkan hampir tiap bulan menyedot ribuan pengunjung, kini, selain sudah jarang dilaksanakan, pameran serupa lebih terkesan asal ada. Pengunjung yang datang lebih banyak hanya mencuci mata ketimbang membeli. Sebuah pameran perumahan yang dilaksanakan bulan Oktober lalu di Balai Sidang Jakarta hanya berhasil menjual beberapa puluh unit rumah senilai Rp 4 miliar. Padahal, beberapa bulan sebelumnya, pameran yang sama masih bisa meraup Rp 66,7 miliar.
Memang, membandingkan bisnis properti sekarang dengan tahun-tahun sebelumnya mirip dengan mengikuti perjalanan hidup orang kaya yang jatuh miskin. Mula-mula banyak duit, tapi kemudian isi kantong ludes sampai ke dasar-dasarnya. Dan kenyataan itu bisa ditemukan dari nilai transaksi properti dari tahun ke tahun. "Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terjadi penurunan 41 persen traksaksi properti tahun 1998, dan tahun ini nilai itu akan turun lagi sebesar 48 persen," kata Panangian Simanungkalit, Direktur Pusat Studi Properti Indonesia. Kalau dirupiahkan, tahun ini hanya ada Rp 799 miliar uang yang dibelanjakan untuk bisnis ini, dibandingkan dengan Rp 1,5 triliun (tahun lalu) dan Rp 2,6 triliun (1997).
Seretnya pasokan uang akibat krisis ekonomi memang menjadi penyebab utama remuknya bisnis properti. Kredit properti, yang dulu dikucurkan deras-deras oleh perbankan, kini mampat sama sekali. Bagi konsumen, kenyataan ini memukul telak karena dengan suku bunga tinggi yang ditetapkan bank, pemilikan rumah melalui kredit pemilikan rumah (KPR) cuma tinggal khayalan. Padahal, menurut data yang dikeluarkan REI (Real Estate Indonesia), 75 sampai 85 persen konsumen perumahan sangat tergantung pada KPR perbankan. Sementara itu, kredit konstruksi untuk pengembang juga macet sama sekali. "Suku bunga 25 persen saja masih sulit bagi pengembang untuk bertahan," kata Panangian.
Itulah sebabnya strategi diskon habis-habisan kini banyak dipakai pengembang agar aset mereka bisa segera diubah menjadi fulus. Kalau perlu, dengan diskon sampai 40 persen. Konsumen yang diincar adalah mereka yang berkantong tebal. Artinya, mereka yang mampu membayar tunai. Karena itu, penurunan harga properti, terutama perumahan, jadi gila-gilaan. Menurut perkiraan Bayu Utomo, analis properti dari Procon Indah, penurunan harga perumahan untuk pembayaran tunai sampai 77 persen. Hal yang sama juga terjadi pada harga tanah. Di kawasan Botabek (Bogor, Tangerang, Bekasi), rata-rata harga tanah tinggal sekitar Rp 200 ribu per meter, padahal dua tahun lalu harga itu masih Rp 300 ribu-an. Artinya, ada penurunan sampai 30 persen.
Kalau begitu, apakah tahun ini merupakan saat yang tepat untuk membeli rumah? Panangian Simanungkalit menyarankan begitu. Soalnya, tahun ini diperkirakan ada 200 ribuan unit rumah yang akan dilelang karena pengembangnya terlilit kredit macet. Aksi cuci gudang ini selain karena kepepet juga disebabkan karena pengembang telah mendongkrak harga tinggi-tinggi sebelum krisis datang. Jadi, kalaupun mereka kini mengobral murah propertinya, itu karena mereka telah meng-cover-nya dengan dongkrakan harga di awal tadi. Nah, empat tahun lagi, prediksi Panangian, harga akan kembali naik sehingga margin keuntungan akan melipat jika konsumen membeli rumah sekarang.
Dalam hitung-hitungan di atas kertas, investasi perumahan ini juga lebih menguntungkan ketimbang menanam uang di deposito. Bunga deposito saat ini turun menjadi 35-40 persen dari sebelumnya 60-70 persen. Penurunan bunga itu diperkirakan akan terus merosot seiring dengan perbaikan ekonomi, sehingga iming-iming keuntunganan dari deposito akan semakin redup.
Tapi begitu menggiurkankah menyemai rumah saat ini? Di mata Bayu Utomo, tidak juga. Alasannya, kita tak bisa pukul rata dalam membaca harga rumah. Selalu ada lokasi perumahan yang harganya stabil, atau bahkan menggelembung, di antara perumahan yang dijual dengan harga super-miring. Artinya, ketepatan memilih lokasi merupakan kunci paling penting.
Selain itu, menurut Bayu, perkiraan akan jatuhnya harga rumah sampai titik terendah tahun ini juga tak bisa hanya dilandasi oleh hukum permintaan dan penawaran semata. Artinya, meski di atas kertas harga rumah jatuh, dalam kenyataannya jumlah traksaksi yang terjadi tetap saja kecil.
Bayu juga meragukan pengembang akan habis-habisan menjual aset untuk menutup utang mereka, apalagi kalau harus jual rugi. Bagi pengembang, akan lebih menguntungkan jika mereka melakukan restrukturisasi pendanaan atau mengajukan penundaan pembayaran utang. Apalagi, menurut Bayu, pengembang sadar betul bahwa konsumen menghendaki rumah dengan harga murah. Jadi, mereka tidak akan gegabah dalam menjatuhkan harga barang dagangannya. Nah, bagi Anda yang berkocek tebal, tinggal timbang-timbanglah resep mana yang akan dipakai.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang mengharapkan pembelian rumah melalui kredit? Pergantian tahun belum menjanjikan banyak hal. Kredit pemilikan rumah melalui bank seperti yang selama ini terjadi tampaknya belum bisa mengucur dalam waktu dekat. Alternatif yang ditawarkan pengembang adalah KPR "swadaya", alias kredit dikucurkan oleh pengembang sendiri. Biasanya, kredit ini akan merayu konsumen dengan bunga tetap selama dua atau tiga tahun. Lalu, pada tahun berikutnya bunga akan membengkak mengikuti turun naiknya bunga perbankan. Namun cara ini pun dalam kenyataannya belum bisa dilaksanakan oleh banyak pengembang. Soalnya, ya, karena tidak banyak pengembang yang punya cukup dana segar untuk membiayai KPR in-house ini.
Soal macetnya KPR ini, menurut Bayu Utomo, mestinya menyadarkan pengembang bahwa perbankan tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya sumber pendanaan perumahan. Ini disebabkan karena sumber dana bank diperoleh dari tabungan dan deposito yang sifatnya jangka pendek. Kalau sumber jangka pendek dipakai untuk kredit perumahan yang biasanya berjangka lima sampai 20 tahun, bisa dipastikan bank akan remuk. Apalagi kepercayaan masyarakat terhadap bank saat ini telah sampai ke titik yang paling rendah.
Walhasil, belum ada alternatif lain bagi Anda, konsumen, yang ingin membeli rumah melalui kredit. Dengan kata lain, Anda masih harus bersabar menunggu bisnis properti kembali booming, yang diperkirakan baru akan terjadi tujuh atau delapan tahun lagi. Namun, ketika itu, harga rumah sudah pada membubung. Maaf.
Arif Zulkifli, Setiyardi, Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini