Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMJAD Sabri, seluruh wajahnya tersenyum. Jenggot serta kumisnya tipis, suara baritonnya yang kuat bercerita tentang "manusia-manusia kosong" yang menempatkan dirinya sebagai pengemis di hadapan nabi akhir zaman, Muhammad SAW. Mengunjungi sang Kekasih Allah, dengan kantong yang kosong, dan hanya akan pergi jika kantongnya terisi dengan keberkahan dari sang Nabi; keberkahan yang bakal membebaskannya dari penderitaan dan kesia-siaan hidup.
Di ruang konser yang sederhana tapi berakustik bagus itu, kerinduan umat akan utusan Tuhan yang lahir di Kota Mekah 15 abad silam tersebut dikasih tempat. Bagi maestro seperti Amjad Sabri, sebuah tabla berikut gendang besar pasangannya, sebuah harmonium, dan selusin penyanyi pendamping yang juga bertepuk tangan sudah cukup untuk mengantarkan ekstase. Penyanyi, penonton, dan musik, semua larut dalam satu entitas spiritual yang liat.
Dalam qawwali atau musik sufi yang berjudul Bhar Do Jholi yang bergerak dalam tangga nada mayor yang riang di atas, ia juga berkisah tentang sahabat Nabi, Bilal. Si tukang azan yang berkulit hitam legam tapi sangat mulia; saking mulianya, demikian lirik lagu itu bertutur, fajar pun enggan menyingsing sebelum mendengar suara Bilal mengumandangkan azan subuh.
Kisah para sahabat, dunia yang penuh tipuan, pertemuan istimewa dengan sang Kekasih, dan mabuk dalam cinta yang transendental merupakan tema umum dalam musik qawwali. Dalam qawwali, musik mengikuti lirik lagu yang dibuat berdasarkan puisi terkenal para sufi zaman lampau yang sukses meninggalkan "penjara" keduniaan.
Amjad Sabri, 45 tahun, seluruh wajahnya tersenyum. Penonton yang kasmaran pada sang Pencipta dan Rasulullah mulai menghampiri para pemusik dan penyanyi, seraya mencampakkan sejumlah uang kertas ke panggung sebagai tanda pembebasan dari dunia yang materialistis. Inilah rangkaian gambaran yang absen semenjak teroris menghabisi Amjad Sabri.
Eksekusi itu terjadi pada siang bolong, di suatu jalan yang ramai di Karachi. Rabu pekan lalu, pukul tiga petang, sepeda motor dengan pengendara dua anak muda yang mengenakan penutup wajah menyalip mobil yang dikendarai korbannya, kemudian dengan tenang salah seorang pengendara itu membidikkan pistolnya ke arah pengemudi yang bertubuh gempal.
Seorang polisi mengatakan bahwa si eksekutor tidak tergesa-gesa menunaikan tugasnya. Menguntit mobil itu, tiba di Jalan Liaquabad 10 yang lebar, barulah ia mulai menembak: dua peluru menghantam dada, satu lagi menembus tengkorak kepala. "Suatu pembunuhan yang terencana, dan nyata-nyata merupakan aksi terorisme," kata sang polisi.
Sampai jenazah Amjad Sabri dikebumikan esok harinya di permakaman Paposhnagar, Karachi, belum diketahui motif hukuman mati di jalanan itu. Pekan lalu, kelompok Tehrik-e-Taliban Hakimullah Mehsud atau Taliban Pakistan memang menyatakan bertanggung jawab. Tapi sejauh ini alasan pembantaian sebatas "kabar burung": Amjad Sabri berdosa karena menistakan tokoh agama. Susah dipercaya, orang yang mendedikasikan hampir sepanjang hidupnya untuk memuji Nabi Muhammad dan Allah itu harus mati dengan alasan penistaan.
Taliban Pakistan diperkirakan berada di balik pembunuhan Perdana Menteri Benazir Bhutto pada 2007 dan penembakan Malala Yousafzai, gadis remaja Pakistan yang menampik larangan Taliban untuk berhenti bersekolah. Kini sudah beberapa kali perwakilan Taliban setempat menganggap qawwali bertentangan dengan syariah, dan menyebut-nyebut nama Rasulullah dalam lagu haram adanya.
Di Pakistan yang sarat dengan politik identitas yang meneguhkan perbedaan ketimbang persamaan itu, tasawuf tidak mudah hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok salafi. Sejak 2001, serangkaian serangan dilancarkan ke sejumlah tempat suci kaum sufi, termasuk Rehman Baba dan Data Ganj Baksh. Bahkan puncaknya, pada 2010, seseorang yang berselempang bom meledakkan dirinya di sebuah padepokan sufi terkenal di Lahore, dan menewaskan 46 orang. IDRUS F. SHAHAB (THE INDEPENDENT, THE GUARDIAN, THE DAWN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo