Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOLEMAN B. Ponto memilih diam ketika rencana Kementerian Pertahanan membentuk badan intelijen mencuat. Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia ini hanya menjadi pembaca yang baik ketika masalah itu menjadi perbincangan serius di grup percakapan WhatsApp yang dihuni kalangan intelijen koleganya. "Saya tidak anggap penting," kata purnawirawan jenderal bintang dua ini pada Senin dua pekan lalu.
Soleman mulai terusik setelah tampil sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk "Wacana Intelijen Pertahanan" di sebuah stasiun televisi swasta. Dalam diskusi itu, Soleman tak sependapat dengan salah seorang narasumber yang menganggap penting pembentukan lembaga telik sandi di Kementerian Pertahanan. "Ini menjadi serius buat saya," ujarnya.
Sejak itu Soleman mulai bersuara. Tapi ia bukan mendukung, melainkan sebaliknya. Dia menuliskan penolakan rencana itu di blog pribadinya. Soleman menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Pertahanan Negara dan Peraturan Presiden tentang Kementerian Pertahanan, tugas Menteri Pertahanan sebagai komandan yang membuat kebijakan, sementara penyelenggaranya adalah Panglima TNI dan lembaga terkait menurut bentuk ancamannya.
Atas dasar ketentuan itu, Soleman menganggap informasi intelijen yang diperlukan Kementerian Pertahanan hanya bisa disuplai dari badan intelijen yang sudah ada, seperti Badan Intelijen Strategis TNI, Badan Intelijen Negara, dan Atase Pertahanan. Di luar itu, kementerian juga sudah punya Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan untuk menganalisis kebijakan. Soleman khawatir operasi intelijen oleh Kementerian Pertahanan justru mengembalikan kondisi seperti sebelum reformasi. "Waktu itu kan Menteri Pertahanan merangkap Panglima ABRI. Semua informasi ada di sana," ujarnya.
Rencana pembentukan badan intelijen pertahanan pertama kali mencuat ke publik pada Senin tiga pekan lalu. Ketika itu, seusai acara silaturahmi dengan tokoh Nahdlatul Ulama di kantornya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan pembentukan intelijen di kementeriannya penting. Apalagi semua kementerian pertahanan di dunia punya intelijen. "Selain intelijen dalam negeri dan hukum, harus ada intelijen pertahanan," katanya.
Menurut dia, badan intelijen tersebut nantinya berbentuk lembaga yang dikelola secara profesional agar tak tumpang-tindih dengan lembaga telik sandi yang sudah ada. "Soal anggaran, masih lebih mahal harga satu Sukhoi," ujarnya. Ryamizard mengatakan rencana pembentukan lembaga ini sudah dibicarakan dengan Presiden Joko Widodo. Belakangan, rencana itu menjadi polemik di ranah publik, termasuk di Dewan Perwakilan Rakyat.
Rencana pembentukan badan intelijen pertahanan ternyata sudah lama. Idenya sudah muncul setelah Ryamizard dilantik menjadi Menteri Pertahanan pada Oktober 2014. Bahkan Ryamizard sempat bertemu dengan Soleman B. Ponto untuk membahas wacana pembentukan lembaga telik sandi di Kementerian Pertahanan.
Pertemuan berlangsung empat mata selama lebih dari setengah jam di kantor Ryamizard pada 9 Desember 2014. Dalam pertemuan itu, Ryamizard meminta pandangan Soleman, yang menjabat Kepala Badan Intelijen Strategis TNI pada 2011-2013. Permintaan Ryamizard direspons Soleman dengan menyatakan kementerian itu sudah memiliki fungsi intelijen yang dikelola Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan. "Tak perlu bikin lagi," kata Soleman.
Ryamizard menanggapi pendapat itu dengan meminta Soleman membuat surat resmi ke Kementerian Pertahanan. Isinya, pertimbangan mengenai perlu-tidaknya membuat badan intelijen. Surat yang salinannya diperoleh Tempo itu berisi 22 butir penjelasan mengenai Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan yang dirancang serupa dengan organisasi intelijen di Kementerian Pertahanan lainnya di dunia. Jika dirasa tugasnya belum maksimal, Soleman menyarankan, "Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan itu harus direstrukturisasi." Surat dikirim ke staf ahli Ryamizard, tapi tak ada kelanjutannya.
Wacana pembentukan badan intelijen pertahanan belakangan kembali menggelinding ke Senayan. Ryamizard sempat melontarkan gagasan pembentukan badan intelijen saat rapat kerja bersama Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir 2015. Kala itu, di sela-sela paparan topik mengenai evaluasi program kerja kementerian, Ryamizard menyampaikan usul mengenai perlunya lembaga telik sandi untuk analisis kebijakan di kementeriannya. "Pak Menteri bilang kementeriannya selama ini belum punya instrumen," kata Mahfudz Siddiq, ketika itu Ketua Komisi Pertahanan, yang memimpin rapat.
Kegaduhan di Senayan mulai terjadi ketika Ryamizard kembali melontarkan rencana pembentukan badan intelijen dalam rapat bersama DPR pada Maret lalu. Mahfudz mengatakan Ryamizard merujuk pada Peraturan Presiden tentang Kementerian Pertahanan. Aturan yang terbit pada Mei 2015 itu membuka celah pembentukan badan intelijen pertahanan lantaran Menteri Pertahanan diberi wewenang memilih atase pertahanan Indonesia. Padahal selama ini atase pertahanan diusulkan Panglima TNI kepada Menteri Pertahanan untuk kemudian diajukan ke Menteri Luar Negeri.
Menurut Mahfudz, rujukan Ryamizard itu mengejutkan karena peraturan tersebut belum pernah dikomunikasikan ke Senayan. Saat itu Komisi justru menganggap peraturan itu bertabrakan dengan Undang-Undang TNI, yang menyebutkan intelijen dikelola TNI melalui Kepala Badan Intelijen Strategis. "Saat itu kami juga tak bilang setuju soal badan intelijen pertahanan," katanya.
Seorang pejabat TNI mengatakan keinginan Kementerian Pertahanan membentuk badan intelijen tak lepas dari komunikasi yang kurang baik antara Ryamizard dan Gatot. "Keduanya sering tidak klop," ucapnya. Situasi ini, kata sumber tersebut, salah satunya berimbas pada koordinasi yang buruk dalam hal kebutuhan Kementerian Pertahanan terhadap data intelijen dari Badan Intelijen Strategis TNI. "Tak semua informasi disampaikan."
Mahfudz Siddiq mengakui soal ketidakharmonisan itu. Menurut Mahfudz, saat ia memimpin Komisi Pertahanan, agak sulit menyandingkan Ryamizard dan Gatot secara bersamaan dalam rapat di Senayan. "Sulit dihasilkan rumusan kalau dibicarakan bareng. Chemistry mereka enggak nyambung," ujarnya. Menurut dia, Komisi sudah sepakat memisah rapat antara Ryamizard dan Gatot. "Kecuali ada kondisi darurat dan terpaksa."
Gatot menyangkal hubungannya dengan Ryamizard kurang harmonis. "Itu kan hanya kabarnya," katanya. Menurut dia, institusinya selalu melaporkan data intelijen kepada Kementerian Pertahanan. "Kalau tidak, bagaimana mengeluarkan kebijakan pertahanan?"
Dia juga membantah anggapan bahwa komunikasi yang buruk dengan Ryamizard menjadi pemicu rencana pembentukan badan intelijen pertahanan. "Tanyalah ke Menteri Pertahanan. Kami pasti mendukung apa yang sudah ada di peraturan."
Adapun Ryamizard mengakui ada pihak yang mengedepankan ego sektoral atas pengelolaan informasi intelijen. "Informasi yang penting-penting pasti tak dikasih," ujarnya. Tapi dia enggan mengungkapkan identitas pihak tersebut. "Saya tak ingin ribut lagi. Tapi ada yang begitu." Prihandoko, Aditya Budiman, Mitra Tarigan, Arkhelaus Wisnu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo