TEROR berlangsung terus menerus -- sesuatu yang bukan asing lagi
bagi rakyat El Salvador. Terutama sejak digulingkannya Presiden
Carlos Humberto oleh suatu junta sipil-militer, Oktober 1979.
Dan belakangan ini aksi teror itu semakin meningkat. Rakyat yang
tak tahu sebab musababnya hanya mengatakan itu 'aksi subversif'.
Ketika sebuah bom meledak di gedug Kemenerian Perburuhan di
San Salvador, di kota El Salvador, akhir Februari, 6 orang
penduduk yang berada di dekatnya meninggal. Keesokan harinya,
dengan tenang petugas pembersih mengumpulkan bagian tubuh mayat
yang bertebaran. Seorang wanita yang membuka warung kopi di
tempat itu juga tewas. Kepalanya ditemukan terlempar jauh ke
luar gedung sedang bagian kakinya hilang entah ke mana.
Keganasan ini tidak hanya berlangsung di kota-kota, tapi juga di
desa. Ada 3 kekuatan yang langsung terlibat. Yaitu gerilya
Marxis, kelompok ekstrim kanan dan unsur militer. "Biang
pembunuh rakyat Salvador adalah alat keamanan pemerintah," kata
Robert E. White, bekas duta-besar AS di San Salvador. Ia diminta
kesaksiannya oleh Kongres AS.
White yang menjadi duta-besar di masa Pemerintahan Jimmy Carter
bahkan mengungkapkan bahwa tahun lalu sekitar 6.000 orang mati
dibunuh oleh alat keamanan pemerintah. Sebagian besar di antara
mereka adalah rakyat yang tak bersalah.
The Sunday Times, suatu koran London 22 Februari, membeberkan
pembunuhan massal yang terjadi tahun lalu di dekat perbatasan
Honduras. Di situ konon sedikitnya 300 orang desa, termasuk
wanita dan anak-anak, ditembak oleh pasukan keamanan.
Cerita The Sunday Times ini didasarkan laporan Earl Gallagher,
seorang pendeta Capuchin dari AS. Namun dalam waktu yang hampir
bersamaan Deplu AS membeberkan keterlibatan negara sosialis
mensuplai senjata untuk gerilya Marxis. Itu dimuat dalam dokumen
yang berjudul Campur tangan Komunis di El Salvador.
Menurut dokumen itu, Soviet, Kuba dan beberapa negara komunis
lainnya telah memutuskan akan mengirim senjata ke El Salvador
sebanyak 800 ton. Tujuannya adalah membantu gerilya Marxis
mendirikan negara komunis di El Salvador.
Pengiriman senjata itu sejak pertengahan Februari agak pelan,
tapi sempat masuk melalui Nicaragua sekitar 200 ton. Antara lain
berupa 1620 M-16 buatan AS dengan 1,5 juta peluru dari Viemam --
sisa persenjataan Ai yang ditinggalkan seusai perang Vietnam.
Dokumen itu juga menyebutkan bahwa jumlah gerilya
Marxis-Lininis di situ sekitar 4.000 orang dan beberapa ribu
pendukung lainnya.
Bantuan negara komunis tak hanya sekedar persenjataan. John
Bushnell, Penjabat Asisten Menlu AS, kepada pers mengatakan
bahwa Presiden Kuba Fidel Castro aktif menyatukan berbagai
fraksi dalam gerilya Marxis. Pernah Castro menyelenggarakan
suatu pertemuan di Havana dengan 4 kelompok gerilya yang
berbeda, Mei lalu. Castro berusaha membentuk front persatuan
guna memudahkan penyaluran bantuan Kuba.
Akibatnya, AS langsung naik pitam. AS meminta Kuba dan Nicaragua
agar segera menghentikan pengiriman senjata Menlu Alexander Haig
dalam acara jumpa pers pekan lalu mengemukakan bahwa AS bahkan
telah memperingatkan Nicaragua agar segera menghentikan
pengiriman senjata dalam waktu 30 hari. Jika tidak, katanya, AS
akan menghentikan seluruh bantuannya kepada rezim yang dikuasai
sayap kiri itu.
Tak hanya itu. Pemerintahan Reagan telah mengirimkan tambahan
penasihat militer ke El Salvador. Juru bicara Deplu AS, William
J. Dyess, mengatakan bahwa AS merasa perlu menambah 25 orang
penasihat militer dan US$ 25 juta untuk bantuan militer.
Sebelumnya bantuan AS untuk El Salvador sebanyak US$ 63 juta
dan 29 orang penasihat militer.
Walaupun begitu, AS tidak bermaksud mengirimkan pasukan tempur
ke negara itu, kata Presiden Ronald Reagan, akhir pekan lalu.
Selama ini ada anggapan bahwa AS akan mengirimkan pasukan tempur
dengan alasan untuk mengawal penasihat militernya, seperti dulu
di Vietnam.
Sebelum itu tersiar berita kemungkinan AS akan mendukung usaha
menggulingkan pemimpin junta Jose Napoleon Duarte. Seorang bekas
perwira intelijen El Salvador, Roberto D'Aubuisson,
mengungkapkan ia mengetahui berdasarkan kontak yang dilakukannya
dengan seorang pejabat AS bahwa Pemerintahan Reagan tidak
menentang bila terjadi kudeta. Maka Reagan perlu mengulangi lagi
bahwa pengiriman penasihat militer ini melulu untuk melatih
tentara El Salvador. Dengan kata lain, AS tak bermaksud
mengulangi kisah keterlibatannya di Vietnam yang juga semula
diawali dengan pengiriman penasihat militer.
Buat rakyat El Salvador hampir tidak ada pilihan. Mereka hanya
menanti suatu kekuatan yang mampu menghentikan aksi kekerasan
yang berlangsung selama ini.
Namun suatu usaha mendadak sedang ditempuh pemimpin junta
sipil-militer, Duarte. Ia telah mengumumkan suatu komisi akan
menyusun UU Pemilihan Umum. "Kami (AS) mendukung sepenuhnya
program pemilu itu," kata Dyess. "Kami percaya dengan pemilu
rakyat El Salvador akan memilih pemimpinnya dan menentukan masa
depan negaranya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini