Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Empat Dekade Pasca-Pembantaian Khmer Merah

Kamboja mengenang penyelamatan Vietnam dengan duka dan gembira.

9 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Masyarakat Kamboja saat merayakan peringatan 4 dekade penggulingan rezim Khmer Merah, 7 Januari 2019. REUTERS/Samrang Pring

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PHNOM PENH - Pada puncak genosida "ladang pembantaian" rezim Khmer Merah yang menghancurkan Kamboja selama lebih dari tiga tahun pada 1975-1979, Srey Heng mengatasi rasa laparnya dengan menangkap serta memakan katak, siput, dan serangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saat itu tubuh saya hanya kulit dan tulang," kata Srey Heng, yang diwajibkan kerja paksa oleh Khmer Merah di unit tenaga kerja keliling untuk anak-anak dan dipaksa menggali kanal, kepada Reuters.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ribuan orang yang selamat dari genosida Khmer Merah pimpinan Pol Pot di Kamboja menandai 40 tahun kematian para korban dalam sebuah peringatan di Phnom Penh pada Senin lalu. Sekitar 60 ribu orang berkumpul di stadion ibu kota, tempat para penari dan pemain menggelar acara yang mengingatkan pada upacara pembukaan Olimpiade.

Acara ini diselenggarakan oleh Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang berkuasa untuk mengenang invasi militer Vietnam yang membebaskan mereka dari kekejian Pol Pot. Pada 7 Januari empat dekade lalu, tank-tank Vietnam meluncur melalui Phnom Penh, yang menjadi kota hantu selama genosida Kamboja. Mereka datang untuk menggulingkan rezim Pol Pot, pemimpin ultrakomunis yang berhasil melarikan diri dengan sebuah jip pada menit terakhir.

Kedatangan militer Vietnam mengakhiri teror brutal selama 3 tahun, 8 bulan, dan 20 hari yang mengakibatkan kematian jutaan rakyat Kamboja. Perdana Menteri Hun Sen, mantan komandan Khmer Merah yang membelot dan membantu menggulingkan mereka, telah berkuasa selama 33 tahun berkat bantuan Vietnam.

Meski ada alasan kuat untuk merayakan penggulingan salah satu rezim paling brutal pada abad ke-20 tersebut, momentum ini masih menjadi perseteruan politik di Kamboja. Sebagian besar acara ini didedikasikan untuk pencapaian Hun Sen, yang mendapat kecaman dari kelompok-kelompok hak asasi karena intimidasi terhadap lawan-lawan politik. Juga karena memenangi pemilihan umum yang dikritik secara luas, Juli lalu.

Oposisi partai yang berkuasa, termasuk Sam Rainsy, mengecap 7 Januari sebagai awal pendudukan oleh musuh bersejarah. Pasukan Vietnam tidak meninggalkan tanah Kamboja sampai 1989, dan selama periode itu, Hun Sen menjabat perdana menteri, posisi yang dipertahankannya sejak 1985.

Juru bicara pemerintah, Phay Siphan, memuji 7 Januari karena menyelamatkan hidupnya. "Tanpa Vietnam, saya akan segera dibunuh karena sudah berada di penjara," ujar Siphan.

Siphan mengatakan bahwa Sam Rainsy, yang telah lama mengejek Hun Sen sebagai boneka Vietnam, tidak memiliki pemahaman tentang pentingnya 7 Januari karena tidak hidup di bawah rezim Pol Pot. "Sam Rainsy tinggal di luar negeri. Mereka tidak pernah mengalami penderitaan akibat pembunuhan Khmer Merah," tutur dia.

Seorang kritikus terkemuka pendudukan Vietnam, Pen Sovann, diangkat sebagai Perdana Menteri Kamboja oleh Vietnam pada 1981 sebelum dipindahkan dan dipenjara selama 10 tahun. Dia kemudian bergabung dengan partai oposisi CNRP pimpinan Sam Raisy pada 2012 sebelum meninggal empat tahun kemudian.

"Tanggal 7 Januari adalah hari kemenangan, tapi juga hari yang menyedihkan (karena) Vietnam melanggar otonomi Kamboja," kata Sovann kepada The Phnom Penh Post pada 2001. "Setelah 7 Januari, dari tahun ke tahun Vietnam memberi tekanan terhadap semua jenis kebebasan berekspresi di Kamboja, dan nasib Kamboja diputuskan oleh Vietnam."

Sementara itu, di luar acara dan politik Kamboja yang masih memanas, para penyintas seperti Srey Heng, yang kini menjual air minum dan minuman ringan, masih mengalami trauma akibat genosida. "Banyak kerabat saya meninggal karena Pol Pot akibat kelaparan," kata dia. "Saya bahkan tidak tahu apa yang terjadi kepada yang lain."

Diperkirakan 1,7 juta sampai 3 juta warga Kamboja tewas di tangan rezim komunis ekstremis. Sebagian besar korban meninggal karena penyiksaan, kelaparan, penyakit, atau kelelahan di kamp kerja paksa. Lainnya dipukuli hingga mati selama eksekusi massal.

Seang Tharuon, 69 tahun, kehilangan 11 saudara kandung dan kedua orang tuanya. Dia dipaksa oleh Khmer Merah untuk menikahi suaminya. Seperti banyak orang lain, Seang Tharuon dievakuasi dari Phnom Penh oleh Khmer Merah pada awal pemerintahannya yang mengerikan.

Dia berjalan sejauh lebih dari 100 kilometer dari pedesaan untuk kembali ke Ibu Kota ketika rezim jatuh pada 1979. "Mereka hanya mengizinkan kami makan nasi sebulan sekali," ujar Seang Tharuon kepada Reuters ketika membeli minuman dari warung Srey Heng di luar stadion.

Di pusat kota Phnom Penh, mantan tentara Khmer Merah, Prum Punly, berjalan pincang dengan satu kaki saat memberi makan burung di tepi sungai. Dia kehilangan satu kakinya karena ranjau darat saat berperang melawan pasukan pemerintah Kamboja yang didukung Amerika Serikat pada 1975, ketika Khmer Merah berkuasa.

"Saya terlalu muda untuk memahami politik," kata pria 67 tahun itu. "Itu kekacauan."

Youk Chhang, salah satu penyintas genosida Khmer Merah dan Direktur Pusat Dokumentasi Kamboja, mengatakan, rekonsiliasi antara mantan tentara Khmer Merah dan penyintas sulit dilakukan. "Kamboja masih bergulat dengan warisan menyakitkan genosida dan kekejaman massal," kata dia. REUTERS | AL JAZEERA | SITA PLANASARI AQUADINI


Masa Kelam di Kamboja

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus