Palu itu jatuh. Ia berdebam dengan keras di hati nurani para simpatisan Anwar Ibrahim: enam tahun penjara. Inilah ujung peradilan terhadap mantan deputi perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim. Persidangan kontroversial itu berlangsung selama lima setengah bulan sebelum Hakim Paul Agustine membacakan vonis pada 15 April, pukul 09.23 waktu setempat. Anwar terbukti bersalah untuk empat tuduhan korupsi.
Tarikan napas dan suara-suara gumam menyebar di ruang sidang, begitu keputusan itu dibacakan. Berdasarkan undang-undang Malaysia, vonis ini ibarat lonceng kematian bagi karir politik Anwar Ibrahim.
Ia dilarang terlibat kegiatan politik apa pun selama lima tahun terhitung sejak keluar dari penjara. Sebuah keputusan yang tidak ringan. Namun kehidupan penjara, dengan caranya sendiri, agaknya telah meneguhkan Anwar. "Saya tidak terkejut," ujar Anwar dengan tenang kepada para reporter di dalam ruang sidang.
Yang lebih terkejut justru orang-orang di sekitar Anwar dan dunia internasional. Protes merebak di Malaysia, menyusul dibacanya keputusan itu. Demonstrasi pecah di jalan-jalan dan di luar gedung pengadilan, tempat para pendukung Anwar menjeritkan teriakan reformasi. Polisi antihuru-hara dan pasukan penjinak bom bekerja keras membubarkan massa. Reaksi internasional mengalir ke Malaysia.
Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore memberikan reaksi keras. "Keputusan terhadap Anwar Ibrahim akan membawa Malaysia kepada kemunduran ekonomi dan politik," ujarnya. Sekretaris Gedung Putih, Joe Lockhart, bahkan menganggap "ada catat yang sangat serius dalam proses peradilan".
Menteri Luar Negeri Inggris Robin Cook mendesak pemerintah Malaysia menangani pengadilan banding Anwar dengan adil dan segera. Sedangkan Presiden Filipina Joseph Estrada—politisi Asia pertama yang memberi komentar terhadap keputusan pengadilan Anwar—mengatakan keputusan itu "amat disayangkan." Amnesti Internasional menyebut vonis itu sebagai cermin penyalahgunaan hukum dan institusi negara oleh pemerintah dengan tujuan politik. "Gerbang penjara boleh mengurung Anwar. Tapi perdebatan publik tentang hak asasi dan kebebasan politik tak akan mudah dipadamkan," demikian pernyataan lembaga itu.
Anwar sudah setuju untuk naik banding. Permintaan itu langsung diajukan tim pengacaranya seusai hakim membacakan keputusan. "Kasus ini belum selesai," ujar Pawancheek Merican, salah satu anggota tim pengacara pembela Anwar.
Naik banding (dan keputusan bebas) memang penting diperjuangkan bila Anwar masih berniat bertarung dalam pemilu. Dan ini bukan soal mudah. Istri Anwar, Wan Azizah, pesimistis bahwa suaminya bakal memenangkan banding. "Saya harus realistis," ujar Azizah. Absennya Anwar dalam waktu sekian panjang—2003 bebas, dilarang berpolitik hingga 2008—bagaimanapun akan berpengaruh. Sebab, pelan tapi pasti, Anwar akan menghilang dari peredaran.
Tapi politik Malaysia bisa diibaratkan politik yang mengulang sejarah—saat Anwar boleh menyandarkan harapan. Mahathir ditendang dari UMNO (United Malays National Organisation) 1969 setelah peristiwa kerusuhan etnis Cina-Melayu. Mahathir dituduh sebagai tokoh fanatik Melayu dan dipenjarakan 20 bulan. Setelah itu ia memimpin gerakan antipemerintah dan menjadi perdana menteri. Selebihnya adalah kekuasaan dan status quo, hingga hari ini.
Akankah Anwar akan menjadi comeback kid seperti halnya Mahathir? Sulit menjawab pertanyaan ini, lebih-lebih dari balik gerbang penjara. Namun setiap peristiwa politik selalu bisa dibaca dari dua sisi. Dan Anwar boleh berbesar hati tatkala ia menengok ke sisi lain dari masa enam tahun itu: Palu Hakim Paul Agustine ibarat pembaptisan Anwar menjadi martir baru dalam pentas politik Malaysia. Sebuah pembaptisan lewat seruan reformasi, lewat keprihatinan dunia internasional, lewat letupan kaum demonstran di jalanan ibu kota. Dan, lewat pertanyaan: apakah Anwar bukan hanya korban dari cara mempertahankan sebuah status quo?
Hermien Y. Kleden (sumber: Associated Press, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini