EKOLABELING boleh dikatakan produk Barat. Ide "label lingkungan" itu bermula dari munculnya kesadaran aktivis lingkungan dari Amerika Serikat dan Eropa tentang bahaya dampak pemanasan global. Suara mereka padu dalam sebuah konferensi lingkungan di Stockholm, Swedia, tahun 1972. Dari pertemuan tersebut disimpulkan bahwa penyebab dari semua kerusakan di bumi adalah salah kelola hutan tropis.
Suara yang jauh lebih garang dan bulat tentang kelestarian hutan tropis muncul dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada 1992. Gongnya adalah pertemuan Organisasi Penghasil Kayu Tropik Internasional (ITTO) di Yokohama, Jepang, pada 1995, yang memutuskan perlunya sertifikasi ekolabeling. Keputusan terpentingnya adalah Target Kelestarian Hutan Tahun 2000, dan ekolabeling itu merupakan stempel bahwa sebuah perusahaan pengelola hutan telah menerapkan prinsip dan manajemen hutan lestari.
Indonesia, sebagai negara yang memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia, setelah Brasil, tentu saja membutuhkan stempel sebagai negara yang peduli pada hutan. Maka lahirlah LEI—Lembaga Ekolabeling Indonesia—pada 1994, yang semula masih berbentuk kelompok kerja independen di bawah pimpinan mantan menteri Emil Salim. Baru pada 6 Februari 1998, LEI punya Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan menyatakan siap melabeli perusahaan pemilik HPH di Indonesia dengan tanda lestari.
Untuk penerapan PHPL, LEI melatih banyak pihak untuk menjadi asesor atau auditor, yang jumlahnya mencapai 16 perusahaan. Para auditor itulah yang kemudian bertugas melakukan penelitian di hutan berdasar kriteria yang ditetapkan LEI. Kemudian mereka mempresentasikan faktanya ke LEI. Tak ada kata tidak lulus dalam penilaian ini, yang ada ialah perbedaan peringkat sertifikat ekolabeling: apakah emas, perak, perunggu, tembaga, atau seng.
Agar LEI bisa menentukan peringkat itu, mereka harus melalui dua tahap penelitian, yaitu penelitian administratif, yang dibuktikan oleh tim panel I, dan penelitian lapangan, yang dinilai tim panel II. Nah, setelah lewat dua pengamatan itulah PT Diamond Timber Raya berhak mendapat predikat perak, sedangkan PT International Timber Corporation Indonesia memperoleh tembaga. Sampai sekarang memang belum ada yang meraih emas—tak jelas apakah ini menunjukkan hutan kita memang benar-benar telah amburadul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini