JANGAN gampang-gampang main babat kayu hutan. Ini pesan yang harus didengar para pengusaha pemegang HPH (hak pengusahaan hutan), kalau mau kayunya diterima pasar internasional. Ketika fajar tahun 2000 menyingsing, pasar internasional hanya mau menerima kayu yang memiliki sertifikat ekolabeling. Artinya, pada pergantian abad itu pengusaha hutan sudah harus menerapkan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), dan sertifikat ekolabeling adalah perangkat pengukurnya. "Dengan sertifikat itu, bisa diketahui apakah pengusaha hutan asal main tebang atau tidak," kata Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI), badan yang punya otoritas memberi sertifikat ekolabeling.
Terlambat atau tidak—karena fakta bahwa hutan kita sudah rusak parah—itu soal lain. Tapi sertifikasi ini adalah cara untuk melindungi hutan dari kerusakan yang lebih serius. Bisa diduga, keluarnya sertifikasi ini tidak mudah. Meski LEI sudah berdiri pada 1994, baru empat tahun kemudian lembaga yang diketuai oleh mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim itu mendapat Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (lihat: Ada Perak, Ada Tembaga). Namun, sistem baru ini juga tersendat-sendat. Dari 16 pemegang HPH yang mendaftar untuk sertifikasi itu, baru dua perusahaan yang selesai diaudit LEI. Bisa ditaksir, 370 HPH sisanya tak mungkin kelar diaudit sebelum tahun 2000.
Apakah itu berarti kayu-kayu Indonesia akan tersingkir dari pasar internasional? Tidak seburuk itu. Menurut Mubariq, sertifikat ekolabeling itu hanyalah merupakan market instrument. "Kalau pasar tidak mempersoalkan kayu yang dibeli berasal dari hutan lestari atau tidak, atau pasar sudah yakin akan barang yang dibeli, tidak masalah," katanya. Untuk itulah ekolabeling tidak pernah dibebankan menjadi suatu kewajiban bagi perusahaan kehutanan. "Tapi ekolabeling tetap penting," tutur Mubariq.
Tampaknya, pentingnya ekolabeling itu disadari benar oleh pengusaha HPH, paling tidak mereka yang sudah mendaftar untuk diaudit. Nyatanya, sistem penilaian sertifikasi LEI membuat perusahaan pemegang HPH dan para auditornya kecewa karena tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Dari dua HPH yang sudah diaudit, PT Diamond Timber Raya di Bengkalis, Riau, mendapat peringkat perak (dua)—dari lima peringkat yang ada. Sedangkan PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI) di Kalimantan Timur hanya berperingkat tembaga (empat).
Diamond Timber diaudit oleh PT Tanindo, yang terpilih setelah menang lelang, selama tiga minggu pada Oktober 1998. Mereka meneliti area contoh seluas 16 hektare dari 90 ribu hektare luas hutan Diamond. Yang benar-benar mereka teliti adalah dampak dari area yang ditebang, terutama banyaknya anakan pohon yang hancur. Dalam hal ini, nilai yang didapat Diamond tidaklah bagus. Menurut tim Tanindo, setelah penebangan, Diamond memang melakukan penanaman, tapi dengan cara sembarangan, tidak memasang tiang penjaga pohon. "Saya lihat kondisi pembibitan masih buruk," kata Hendrayus, Manajer Proyek Kehutanan Tanindo. Juga rel untuk lori pengangkut kayu yang tembus area hutan dianggap terlalu besar.
Cuma, Diamond bisa mendapat nilai tinggi karena sumber alamnya masih banyak dan semua itu belum disentuh dan dikelola. Kawasan Diamond, yang terdiri dari banyak rawa, memiliki jenis kayu yang berkualitas, yaitu meranti dan ramin. "Lolosnya mereka dalam bidang produksi, menurut dugaan kami, adalah sumber daya alam yang masih bisa diperbarui," kata Hendrayus. Dengan rapor seperti itulah, Tanindo melaporkannya ke LEI dan lembaga inilah yang kemudian memutuskan Diamond berhak mendapat peringkat perak.
Lalu bagaimana ceritanya ITCI yang cuma dapat peringkat tembaga? Vonis ini tidak cukup mengejutkan karena sejak berdirinya, tahun 1969, ITCI dikenal luas telah menerapkan prinsip pengelolaan hutan lestari. Tak mengherankan bila ITCI kemudian sempat dikenal sebagai salah satu pemegang HPH yang masuk sepuluh besar terbaik dalam pengelolaan HPH. Dengan rapor baik seperti itu, ITCI dengan yakin mendaftar sebagai HPH pertama yang siap diaudit.
Tapi rupanya hasilnya buruk bagi ITCI. Menurut Sudjatmiko, Manajer Perencanaan ITCI, yang menyebabkan nilai ITCI jeblok adalah unsur kebakaran hutan. Sekitar Agustus 1997, kawasan hutan ITCI mulai terbakar dan makin meluas pada Januari-Februari 1998, ketika terjadi kebakaran hutan besar-besaran di Kalimantan. Alhasil, hampir 60 persen atau sekitar 170 ribu hektare hutan ITCI terbakar habis. "Saya kira ITCI apes. Kalau saja diaudit sebelum kebakaran, hasilnya pasti berbeda," kata Jamartin H.S. Sihite dari PT Forindo Bangun Konsultan, perusahaan yang mengaudit ITCI.
Menurut Sudjatmiko, sebenarnya pihak ITCI sudah menanyakan perlu tidaknya proses audit ditunda karena kebakaran, tapi pihak LEI menyatakan audit jalan terus. Maka Sudjatmiko memutuskan untuk terus ikut proses audit ekolabeling. "Kami adalah yang pertama mengajukan laporan tertulis tentang kinerja ITCI untuk proses audit tahap pertama (sebelum turun ke lapangan)," katanya.
Melihat hasil audit terhadap ITCI yang mengecewakan, tidak aneh kalau Sudjatmiko mempertanyakan tolok ukur yang digunakan LEI, terutama soal kebakaran hutan. Karena pihak ITCI menganggap bahwa kebakaran itu adalah sesuatu yang force majeur, yang disebabkan oleh faktor di luar jangkauan, bukan sesuatu yang sengaja dilakukan. "Kalau sudah begini, mau complain bagaimana?" kata Sudjatmiko.
Setelah melakukan audit pada dua HPH, tampaklah bahwa ukuran-ukuran yang ditetapkan LEI perlu dipertanyakan kesahihannya. Pertama adalah waktu untuk meneliti di lapangan yang hanya sekian minggu. Menurut PT Tanindo, paling tidak mereka butuh waktu tiga bulan, bukan tiga minggu. "Karena waktu yang mepet, persentase anakan pohon yang hancur tidak sempat dihitung cermat," kata Hendrayus dari Tanindo.
Keberatan lain adalah kesempatan tim panel II dalam memutuskan hasil penelitian lapangan asesor/auditor yang hanya mendapat waktu sehari. "Sehingga kami yang di lapangan tidak sempat memberikan umpan balik," kata Martin dari Forindo, asesor ITCI. Yang juga dipertanyakan adalah tolok ukur, yang menurut pihak asesor ternyata tidak tepat bila diterapkan di lapangan.
Hal-hal seperti ini menyebabkan pihak auditor, yang hanya bertugas meneliti dan mempresentasikan data ke LEI, menyimpan tanda tanya untuk hasil audit ITCI. "Ini bisa mengakibatkan rasa enggan pada perusahaan kehutanan lainnya untuk ikut proses sertifikasi," kata Martin. Kekurangan-kekurangan ini tampaknya disadari oleh pihak LEI—lembaga yang kini sudah merambah ke ekolabeling kelautan—yang kini sedang meninjau ulang sistem sertifikasinya,
Bagi Emmy Hafild, Direktur Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) tak beresnya sistem ini makin menebalkan keyakinannya bahwa sertifikasi ekolabeling tidak akan efektif untuk meredam dan mengurangi kerusakan hutan di Indonesia. "Untuk masyarakat yang kesadaran lingkungannya sangat tinggi, ekolabeling baru efektif," kata Emmy, yang tidak yakin ada perusahaan pemegang HPH yang mampu lulus ekolabeling. Artinya, semua pemegang HPH itu perusak hutan?
Bina Bektiati, Agus Hidayat, Agus S. Riyanto, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini