Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Wajah Baru dalam Pigura Lama

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Delapan belas tahun berkuasa, Mahathir Mohamad bukan tanpa seteru politik. Dan lawan kali ini ibarat sebuah klimaks: seorang ibu rumah tangga menantangnya "berduel" di Kubang Pasu, Kedah, daerah asal Mahathir. Wan Azizah Ibrahim, ibu rumah tangga dan bekas kawan sepergaulan itu, bahkan sudah mengeluarkan tekad mengalahkan sang Perdana Menteri di kampung halamannya sendiri. Tantangan Azizah adalah buntut sebuah pertikaian panjang di tingkat elite politik Malaysia. Pertikaian itu pula yang memicu kelahiran Partai Keadilan Nasional (PKN), April 1999, pimpinan Wan Azizah. Namun terlalu dini untuk menyebut apakah PKN akan menyumbangkan metamorfosis dalam konstelasi kepartaian di Malaysia. Azizah memang dengan tegas menyebut dasar kelahiran partainya adalah "menegakkan keadilan dan kebenaran" tanpa pretensi pribadi. Toh, orang tetap tidak bisa melupakan pertikaian politik Mahathir-Anwar, yang kemudian memicu seluruh perjuangan Azizah berikut kelahiran PKN. Sejarah kepartaian Malaysia harus ditarik ke belakang, sebelum negeri itu merdeka. Menurut UMNO (Baru) karya Chamil Wariya, pada 11 Mei 1946, di Istana Besar Johor Baru, lahirlah UMNO (United Malay National Organisation). Inilah pertama kalinya orang Melayu berorganisasi politik dalam corak kebangsaan—lepas dari batas-batas kedaerahan yang banyak mewarnai organisasi politik Malaysia sebelumnya. UMNO kemudian tampil sebagai tulang punggung Barisan Nasional, sebuah koalisi partai yang praktis menguasai pentas politik Malaysia sejak pemerintahan perdana menteri Malaysia pertama, Tunku Abdul Rahman. Partai ini kemudian pecah pada 1988 menjadi UMNO dan Semangat '46. Bersama dengan Parti Islam Sa-Malaysia Semangat (PAS)—juga sempalan UMNO—Semangat '46 kemudian masuk koalisi oposisi Angkatan Perpaduan Ummah (APU), yang terdiri dari empat partai. Adapun koalisi memang menjadi "model" kaum partai yang menggalang kekuatan di negara dengan sistem pemerintahan parlementer itu. Bahkan PKN mengaku "siap bekerja sama dengan semua partai yang memenangkan keadilan dan kebenaran." Barisan Nasional sebagai koalisi yang berkuasa, misalnya, terdiri dari 12 partai multinasional. UMNO, Gerakan Rakyat Malaysia, dan Malaysian Indian Congres bisa disebut yang paling berpengaruh. Ada juga koalisi berdasarkan ras, misalnya Democratic Malaysia Indian Party, yang merupakan koalisi dari Indian Progressive Front, Kongres Indian Muslim Malaysia, dan Malaysian Solidarity Party. Memang tidak semua partai memilih jalan koalisi. Pertumbuhan Bumiputera Bersatu Sarawak dan Sabah Chinese Party adalah dua dari belasan partai yang memilih berdiri sendiri—sembari entah mengembangkan diri atau memilih-milih koalisi yang cocok. Pertarungan antarkoalisi ataupun partai berlangsung lima tahun sekali. Pemilu berikutnya akan berlangsung selepas April 2000. Sumber TEMPO menyebutkan, Barisan Nasional kemungkinan besar masih bertahan dalam kekuasaan. "Dengan catatan, mereka harus mengoreksi semua kekhilafan dengan kritis dan segera. Rakyat Malaysia, yang umumnya muslim, akan mudah menyeberang ke PAS—sebuah pan partai Islam Malaysia—jika kekhilafan terus berjalan. Partai Keadilan Nasional adalah pilihan lain," ujarnya. Sementara itu, UMNO tampaknya optimistis terhadap Pemilu 2000. Pilihan Raya Sabah, di Sabah, Maret silam, memang menunjukkan keunggulan UMNO. Rumor pun pecah, bahwa partai berkuasa itu akan memperjuangkan percepatan pemilu mumpung "hawa kemenangan di Sabah" masih kuat berembus. "Percepatan itu diperkirakan sekitar Agustus atau September," tutur sebuah sumber TEMPO yang lain. Namun jalan masih panjang, setidaknya berduri, bagi partai terbesar di Malaysia itu. Pertama, para pengamat politik menyebut eksistensi UMNO kian sulit dibedakan sebagai "negara" atau partai. Kedua, pertikaian Mahathir-Anwar secara tak langsung membuka horizon baru bagi pemilih Malaysia dengan kelahiran PKN yang belum lagi setahun jagung tapi menjadi "idola baru" kaum reformis di negeri itu. Dan Mahathir tampaknya akan menemukan sandungan—lepas dari besar kecilnya. Entah dari Chandra Muzaffar, 52 tahun, profesor terkemuka di Universitas Malaysia, yang ikut memimpin dan merencanakan strategi PKN. Atau dari Wan Azizah, lawan yang harus dipikirkan Mahathir, di kampung halamannya sekalipun. Bukan semata karena perempuan itu menjadi simbol perlawanan baru. Tapi terutama, wajah barunya dalam pigura politik lama Malaysia seolah menjadi kontras yang ironis pada wajah Mahathir setelah 18 tahun dalam kekuasaan. Hermien Y. Kleden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus