Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjuangan sperma untuk membuahi indung telur mengilhami empat pemuda dari Ramallah, Tepi Barat, membuat permainan online. Dinamai Spermania, permainan itu diproduksi melalui PinchPoint Inc, perusahaan yang didirikan Khaled Abu al-Kheir, Basel Nasr, Tareq Doufish, dan Ammar Tazami pada Juni 2013.
"Kenapa tidak ada yang pernah membuat video game tentang sperma?" kata Tazami. Mereka lalu menemukan video dokumenter BBC di YouTube tentang perjalanan sperma, dan mantap dengan rencana tersebut. Meski kisah sperma pada dasarnya sederhana, Spermania tak membiarkan pemainnya menang mudah.
Sperma yang berenang di tuba falopi divisualisasi menghadapi banyak tantangan. Bagian dalam saluran penghubung indung telur dengan rahim itu tidak lurus saja, tapi bergelombang, meliuk, dan melengkung. Sperma juga mesti beradu dengan virus, sel darah putih, dan asam pengganggu kekebalan tubuh.
Tadinya Al-Kheir cs sempat khawatir Spermania akan jadi kontroversi karena mengangkat soal sperma. Di luar dugaan, teman dan keluarga mereka mendukung ide itu. "Ini tentang sperma, tapi bukan pornografi," kata Al-Kheir. Kini Spermania, dengan jargon "perlombaan untuk hidup", bisa diunduh di Google Play.
Spermania menarik perhatian tak hanya karena tema permainan yang nyeleneh, tapi juga kontras dengan tempat kelahirannya, Palestina, yang terlibat konflik tiada henti dengan Israel. Ramallah, markas PinchPoint, merupakan pusat kawasan Tepi Barat—kantor PinchPoint tepatnya berlokasi di Struggle Street Nomor 8. Sehari-hari Ramallah menjadi semacam ibu kota bagi Palestina, tempat dijalankannya urusan administratif dan ekonomi.
PinchPoint unjuk gigi sebagai perusahaan video game pertama Palestina yang disokong pemodal ventura, Sadara Venture. Menurut Saed Nasef, salah seorang pendiri Sadara, ia bertemu dengan Al-Kheir—kini Direktur Utama PinchPoint—di sebuah acara kewirausahaan. "Kami melihat kualitas wirausaha yang kuat pada dia," kata Nasef. Ia pun mengambil risiko berinvestasi pada perusahaan yang masih hijau di wilayah konflik itu.
Ironisnya, suasana konfliklah yang menghadirkan minat Al-Kheir pada video game. Ketika berusia 6 tahun, Al-Kheir mendapat Âvideo game pertama dari orang tuanya, sebuah produk bajakan asal Cina yang segera membuatnya kecanduan. Ia jadi gemar bermain game setelah intifadah, pemberontakan warga Palestina atas pendudukan Israel pada Desember 1987. Ketika itu sekolah sering ditutup dan jam malam kerap diberlakukan. "Saya sering berada di ruangan, lebih banyak bermain video game setelah itu, karena saya punya banyak waktu luang."
Hal yang sama dialami Doufish, Kepala Bagian Pengembangan PinchPoint. Menurut dia, video game adalah pelarian dari stres akibat ketidakpastian kondisi lingkungan. "Hidup keras dan tidak stabil. Tidak mengherankan jika kami menghabiskan banyak waktu bermain video game di depan TV," kata pria yang belajar pemrograman komputer secara otodidaktik ini. Meski belajar di jurusan teknik elektro, Doufish sering mencuri waktu ke laboratorium komputer Universitas Birzeit. "Bayangan membuat game sangat kuat sejak saya kecil."
Kini, Al-Kheir menyatakan, ilmu komputer sangat populer di Palestina. Menurut dia, ada bakat kuat pengembang dan pemrogram game. "Tapi hampir tidak ada penampung bakat pengembang video game di Palestina," ujarnya. Terlebih situasi politik belakangan masih tak mendukung perkembangan industri video game. "Peristiwa di sini mempengaruhi kami dan membuat kami stres," kata Al-Kheir, merujuk pada 50 hari agresi militer Israel di Jalur Gaza.
Ia sendiri pernah gagal memasuki industri game pada 2008. Ketika itu, Apple membuka App Store untuk pengembang game di seluruh dunia agar bisa mempublikasikan karya mereka. Ia pendaftar pertama dari kawasan Timur Tengah dengan permainan tentang orang yang digantung, ÂiHang. Masalahnya, ia kesulitan menjual produk itu karena Apple tak mengenal Palestina sebagai wilayah yang terdaftar dalam sistemnya. "Apple tidak bisa membayar saya. Bank-bank Palestina tidak ada dalam daftar Israel." Ia mencoba membuka akun bank di Israel dan Yordania, tapi gagal. iHang akhirnya tak pernah dipublikasikan.
Ada masalah lain yang tak kalah mengganggu hingga kini: Palestina tak punya bandar udara dan tak bisa mengatur perbatasan. "Bepergian ke luar negeri menjadi lebih sulit. Perlu uang dan waktu lebih," kata Nasr, salah satu pengembang game PinchPoint. Padahal pria yang pernah mengenyam pendidikan master bidang animasi di Universitas California, Amerika Serikat, ini berharap bisa terhubung dengan studio video game lain di luar negeri untuk belajar dan berbagi pengalaman.
Atmi Pertiwi (The New Yorker, Wamda, Reddit)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo