Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hujan lebat tak bisa menggoyahkan aksi duduk massal ratusan warga Hong Kong di depan kantor utama pemerintah Hong Kong, Ahad malam dua pekan lalu. Para demonstran, yang sebagian besar berpakaian hitam dan mengenakan pita kuning, mengacungkan poster bertulisan "Memalukan" sambil menyatakan Cina telah kehilangan kredibilitas.
Demonstrasi dengan pengamanan ketat polisi itu merupakan bagian dari protes warga Hong Kong kepada pemerintah Cina, yang dianggap ingkar janji. Para aktivis prodemokrasi turun ke jalan karena Beijing menolak tuntutan pemilihan pemimpin Hong Kong secara demokratis pada 2017.
Dalam sebuah pengumuman yang disiarkan kantor berita Xinhua pada siang harinya, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Cina (NPC), parlemen Cina, menyatakan calon kepala eksekutif Hong Kong yang baru akan dinominasikan oleh sebuah komite. NPC menetapkan kerangka kerja yang mensyaratkan kandidat mendapat dukungan 50 persen lebih dari 1.200 anggota komite pencalonan, atau 601 suara. Calon kepala eksekutif Hong Kong mendatang juga dibatasi hanya dua-tiga kandidat.
Dalam pidatonya di hadapan para legislator Hong Kong, Senin pekan lalu, Wakil Sekretaris Jenderal NPC Li Fei menyebutkan keputusan itu "sah, adil, dan beralasan". Menurut dia, membuka peluang bagi kandidat justru akan menimbulkan kekacauan di masyarakat. "Hong Kong membutuhkan kepala eksekutif yang mencintai negara dan partai berkuasa di Cina," ujarnya.
Penentuan calon oleh komite itu jelas menutup kesempatan bagi aktivis prodemokrasi, karena kandidat yang memenangi pemilu dipastikan berasal dari kalangan loyalis Beijing. Hal ini bertentangan dengan janji Cina akan menggelar pemilihan umum langsung pada 2017. Kekecewaan tak terhindarkan.
Aktivis prodemokrasi sejak Juli lalu melakukan aksi massa menuntut keterlibatan yang lebih besar dalam pemilihan langsung kepala eksekutif Hong Kong. Mereka bahkan telah menggelar referendum tak resmi pada akhir Juni lalu untuk menentukan sendiri proses pemilihan itu.
Pendiri gerakan prodemokrasi Occupy Central with Peace and Love, Benny Tai, mengatakan, jika pemerintah Cina tak melakukan reformasi demokrasi pada pemilu 2017, mereka akan menyebarluaskan kampanye "era pembangkangan sipil" yang akan diakhiri dengan melakukan boikot dan melumpuhkan aktivitas ekonomi di Hong Kong.
Beijing dan para aktivis demokrasi Hong Kong memang telah lama berseteru. Perbedaan pendapat mulai mencuat saat Hong Kong yang menjadi koloni Inggris diserahkan kembali ke dalam kendali Partai Komunis Cina pada 1 Juli 1997. Hong Kong memang diberi otonomi khusus dengan sistem satu negara dengan dua sistem—warga diberi kebebasan tak terikat oleh Cina, termasuk kebebasan berbicara dan hak untuk memprotes. Namun Beijing dianggap terlalu mencampuri politik di Hong Kong.
Analis terkemuka dari Chinese University di Hong Kong, Willy Lam, menilai langkah Beijing yang mengawasi secara ketat proses pemilu di kota berpenduduk 7,2 juta jiwa itu sebagai tindakan kejam dan bentuk demokrasi palsu. "Beijing menganggap mereka bisa mengendalikan semua aspek kehidupan di Hong Kong," ujarnya.
Aktivis prodemokrasi mengancam bakal menutup distrik bisnis utama Hong Kong, yang mungkin dilakukan pada pertengahan September atau awal Oktober. Mereka juga mengingatkan bakal memboikot sekolah. Joshua Wong, aktivis pelajar berusia 17 tahun, mengatakan sedang mempersiapkan rencana pemogokan pelajar dan berharap mahasiswa juga bergabung. "Selain mempunyai tanggung jawab akademik, kami memiliki tanggung jawab sosial," katanya.
Namun tak semua kalangan setuju dengan gerakan pembangkangan sipil itu. Beberapa kelompok bisnis di Hong Kong justru mengkritik dan menuding gerakan itu hanya akan mendatangkan kerugian akibat kerusakan yang mungkin ditimbulkan.
"Politik adalah bagian dari kehidupan masyarakat di sini. Jika ada ancaman dari gerakan pembangkangan sipil yang akan mengganggu usaha dan mata pencarian pekerja Hong Kong, kami merasa harus bersuara," kata Kepala Eksekutif Kamar Dagang dan Industri Hong Kong Shirley Yuen.
Bakal sulit dihindari Hong Kong berpeluang terbelah, antara mereka yang menginginkan pemilihan umum bebas dan mereka yang tak ingin memusuhi Beijing karena dianggap telah mengangkat status Hong Kong menjadi pusat bisnis internasional.
Rosalina (Reuters, BBC, The Guardian, Channel News Asia, Sidney Morning Herald)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo