Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Karena Berbeda Terbentur Aturan

Sekelompok alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan uji materi Undang-Undang Perkawinan. Mereka meminta pasal yang menyatakan perkawinan mesti "satu agama" dinyatakan tak berlaku.

8 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA sejoli itu akhirnya memutuskan menikah setelah berpacaran lebih dari setahun. Meski memiliki agama berbeda, Ratna dan Bimo—bukan nama sebenarnya—menganggap perbedaan tersebut bukan penghalang untuk "bersatu". Apalagi keluarga mereka akhirnya menyetujui keputusan itu. "Awalnya sih menentang, tapi kemudian memberi restu," kata Ratna kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Keduanya juga bersepakat pernikahan itu tak perlu membuat mereka pindah agama.

Halangan muncul dari aturan yang ada. Undang-undang menyatakan pernikahan mesti satu agama. Menghadapi hal ini, Ratna dan Bimo lalu menyiapkan strategi agar pernikahan mereka diakui negara. "Agar hak dan kewajiban suami-istri diakui secara hukum," kata Ratna.

Setelah berdiskusi panjang, keduanya mengambil langkah terbilang nekat: mengakali sistem administrasi perkawinan. Ratna, yang berasal dari keluarga Kristen, dan Bimo, yang beragama Islam, memutuskan pernikahan dengan mengadopsi dua tata cara agama.

Di rumah keluarga Ratna, beberapa waktu lalu, keduanya menikah dengan cara Kristen dan dicatatkan pada kantor catatan sipil sebagai "pasangan Kristen". Sedangkan di kediaman Bimo, keduanya melangsungkan pernikahan secara Islam dan tercatat sebagai "pasangan muslim". Jadi, "Kami masing-masing punya dua buku nikah dari tempat yang berbeda," kata Ratna.

Untuk menyiasati aturan catatan sipil sebelumnya, keduanya membuat kartu tanda penduduk baru dan mengisi kolom "agama" sesuai untuk keperluan pernikahan itu. Di KTP "tembakan" itu, Ratna tertulis beragama Islam, sementara Bimo tertulis sebagai Kristen. "Apa boleh buat, kami terpaksa menempuh ini," kata Ratna.

Kisah "Ratna dan Bimo" hanyalah sebagian dari kisah mereka yang "mengakali" aturan untuk menikah lantaran terganjal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini memang secara tegas mensyaratkan adanya agama yang sama sebagai syarat perkawinan yang diakui negara.

Kondisi inilah yang membuat empat alumnus dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia prihatin. Mereka adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra. Awal Januari lalu, setelah berdiskusi dan membahas Undang-Undang Perkawinan tersebut panjang-lebar, mereka sepakat mengajukan uji materi undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi. Yang mereka gugat pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."

Setelah perbaikan dilakukan di sana-sini, Juli lalu kelimanya mendaftarkan gugatan mereka ke lembaga penguji undang-undang itu. Mereka meminta Mahkamah menyatakan pasal 2 ayat 1 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kamis pekan lalu, sidang permulaan uji undang-undang tersebut dimulai. Sidang dipimpin hakim konstitusi Wahiduddin Adams dengan anggota dua hakim konstitusi, Muhamad Alim dan Arief Hidayat.

Ada sejumlah poin yang dijadikan dasar untuk menguji pasal 2 ayat 1 ini. Antara lain, pemaksaan negara terhadap setiap warga negara, yang dianggap melanggar hak beragama. Hak itu diakui dalam UUD 1945, dalam Pasal 28e ayat 1 dan 2, Pasal 28l ayat 1, serta Pasal 29 ayat 2.

Menurut salah satu penggugat, Damian Agata Yuvens, pemerintah—dalam menjaga hak atas kebebasan beragama—wajib memfasilitasi kegiatan keagamaan ataupun kepercayaan warga negara. Hal itu, misalnya, dalam memberikan izin pembangunan rumah ibadah atau pemberian hari libur saat hari keagamaan.

Kendati demikian, menurut dia, pemerintah tak bisa memaksa warga negara beribadah di rumah ibadah yang telah dibangun atau beribadah pada hari keagamaan. "Bila pemaksaan dilakukan, pemerintah telah melanggar hak kebebasan menjalankan ibadah," ujar Damian. Peran pemerintah di sini, kata dia, adalah mengimbau, bukan memaksakan. Nah, menurut Damian, logika ini sama dengan aturan perkawinan. "Pelaksanaan ajaran agama dan kepercayaan dalam perkawinan seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab dari masing-masing warga negara."

Dalam aturan perkawinan, kata penggugat, posisi warga negara tidak dapat memilih melaksanakan atau tidak melaksanakan ajaran agamanya. "Ketika tidak melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan, berarti perkawinan yang dilangsungkan menjadi tidak sah," demikian mereka menuliskan dalam gugatan. Perpanjangan tangan kuasa negara dalam mengurus aturan ini adalah pegawai pencatat perkawinan.

Persoalannya, menurut mereka, petugas memiliki pandangan sendiri mengenai pernikahan beda agama. Jadi, sekalipun mereka yang melangsungkan perkawinan beda agama berpandangan boleh dilakukan, pencatat perkawinan menganggap sebaliknya. "Sehingga perkawinan yang terjadi dianggap tidak dapat dicatatkan atau tidak dianggap sah," kata Anbar. Pada akhirnya perkawinan yang dianggap tidak sah ini akan berimbas pada pengakuan hak dan kewajiban dalam perkawinan. "Suami atau istri bisa lari dari tanggung jawabnya atas pasangan atau anaknya."

Dalam pemaparannya, para pemohon juga menyebutkan adanya penafsiran terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan yang membuat penerapan aturan ini berbeda-beda. Keabsahan perkawinan pun menjadi bergantung pada penafsiran mengenai hukum perkawinan dari tiap individu.

Perbedaan tafsir ini juga terjadi pada berbagai penetapan hakim. Ada hakim yang menyatakan perkawinan beda agama dan kepercayaan dapat dilakukan, tapi ada pula yang menyatakan tidak boleh dilakukan. "Terbukanya ruang penafsiran ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang adil sesuai dengan UUD 1945," kata Anbar.

Hakim konstitusi Arief Hidayat menyebutkan konstitusi Indonesia menganut Pancasila dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama dari Pancasila inilah yang menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. "Negara kita bukan sekuler dan tidak berdasarkan agama," kata Arief dalam sidang Kamis pekan lalu. Dia mengingatkan para pemohon agar memuat argumen berdasarkan landasan filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa. "Kalau itu kita batalkan, nanti perkawinan di Indonesia menurut apa? Bisa juga minta dinyatakan tidak bertentangan tapi harus dimaknai," ujarnya.

Damian menegaskan, uji materi atas pasal 2 ayat 1 ini bukan berarti tak mengakui perkawinan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar Ketuhanan ini, menurut dia, tetap berlaku sesuai dengan aturan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Argumentasi mereka ini, kata Damien, sudah jelas.

Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus