MERIAM lima inci di geladak USS Bowen dan John Rodgers sibuk
menghantam sasaran penting, jauh ke balik garis pertahanan yang
dikuasai Suriah di Libanon. Gempuran gencar itu dilancarkan
selama tiga hari berturut-turut -- sejak Jumat pekan silam.
Fregat dan kapal perusak itu adalah dua dari 12 kapal perang
Armada Keenam AS yang berjaga-jaga di perairan Libanon, untuk
melindungi pasukan penjaga perdamaian mereka, juga tentara
Prancis dan Italia.
Juru bicara Marinir AS Charles Rowe menyatakan, meriam-meriam
itu terpaksa digunakan karena sebelumnya dari arah timur Beirut,
tembakan roket mengganas, membahayakan keselamatan orang
Amerika. Memang, rumah duta besar AS di Beirut Timur terancam
tembakan roket, begitu pula gedung kedutaan Amerika di Beirut
Barat. Namun, yang lebih serius ialah sudah tercatat empat
marinir AS tewas dan 25 terluka gara-gara posisi mereka
campur-aduk dengan posisi pasukan Kristen Falangis -- setidaknya
itulah yang dituduhkan sebuah sumber dari kalangan Druz.
Apakah benar sebabnya begitu sederhana? Jelas tidak. Korban di
kalangan Prancis lebih besar: 16 tewas, 44 luka-luka. Sebagai
protes, Prancis unjuk perasaan dengan menerbangkan dua bomber
Super-Etendard-nya di angkasa Beirut. Disusul dua jet tempur AS,
F-14 Tomcats. Tapi yang pahng memancing kemarahan Presiden
Suriah Hafez Assad tetaplah gempuran USS Bowen dan John Rodgers
-- yang mengirimkan 30 sampai 60 roket ke posisi artileri
Suriah. Sebagai balasan Suriah, Ahad silam, menembaki kota
pelabuhan Byblos dan beberapa desa kunci, seperti Bourj,
Hammoud, Ashrafiyeh, Doura, dan Sin el-Fil. Itu pun tidak cukup.
Pada hari yang sama, Radio Damaskus menyiarkan perintah harian
Assad: semua pasukan Suriah diharuskan membalas tiap serangan
Amerika, baik dari darat, laut, maupun udara. Adakah ini awal
dari sebuah peran besar yang tidak bisa dihindarkan? Jawabannya
belum tersedia sekarang.
Suriah, dengan 40.000 tentara yang sangat terkonsolidasi di
Lembah Bekaa dan sekitar Beirut berikut penasihat militer Uni
Soviet yang dipinjamkan sementara, kelihatannya bukan saja
memanfaatkan "kekosongan" yang ditinggalkan Israel, juga
cenderung bermain api terlalu jauh. Apalagi angkatan darat
Libanon belum berhasil menguasai keadaan, sementara pasukan
perdamaian juga tidak dapat bergerak leluasa. Kendati Presiden
Ronald Reagan mengirimkan tambahan 2.000 marinir lagi
memperkuat 1.200 orang yang sudah ada, jumlah ini tidak membuat
suhu perang di Libanon menjadi lebih dingin.
Sementara itu, minggu lalu sebuah fregat Uni Soviet membuntuti
kapal pengangkut Dwight D. Eisenhower di lepas pantai Beirut.
Perilaku kapal itu baik sekali," lapor Kapten Kent Siegel dari
kapal tempur USS Tawara. Fregat Soviet itu agaknya ingin
menyampalkan isyarat pada AS agar berhati-hati.
Tanpa isyarat Soviet pun sudah jelas bahwa situasi Libanon makin
rawan. Masalahnya kini adalah bagaimana supaya peningkatan
krisis bisa dicegah, dan konfrontasi terbuka, misalnya AS lawan
Suriah, dapat dihindarkan. Dalam hal yang disebut terakhir,
andai kata Washington memang punya persiapan matang, tentulah
ada yang sudah dapat dibahas dalam pembicaraan antara utusan
khusus AS Robert Mc Farlane dan Hafez Assad. Ternyata sebegitu
jauh, dialog dua jam itu tidak menjembatani kedua pihak. Juga
upaya juru penengah Arab Saudi Pangeran Bandar bin Sultan.
Ganjalannya? Konon karena golongan Druz, yang didukung Suriah,
menuntut agar Tentara Libanon keluar dari pegunungan Shouf,
wilayah kekuasaan mereka turun-temurun.
Bentrokan senjata yang menginjak pekan ketiga di Libanon memang
bermula dari usaha memperebutkan pegunungan Shouf. Meski
Presiden Amin Gemayel menyadari bahwa operasi Shouf bukanlah
tugas mudah bagi tentaranya, ia belum mau mundur dari rencananya
semula: Shouf harus dikuasai. Untuk melancarkan gerakan
tentaranya yang tersendat-sendat di sekitar pegunungan itu, maka
dikerahkan perlindungan dari lima jet Hawker Hunter. Malang bagi
Gemayel, dua Hawker tertembak -- satu mencebur ke laut, dan satu
lagi masih sempat mendarat.
Posisi yang diperebutkan Druz dan tentara Libanon ialah kota
kecil strategis Souk El-ghrab, 13 km di tenggara Beirut, yang
merupakan salah satu kunci masuk ke Ibukota Libanon. Mayoritas
penduduk Souk adalah Kristen, tapi mereka tidak dapat berbuat
banyak. Kota itu dikepung ketat milisi Druz, yang banyak dibantu
gerilyawan Palestina.
Kecamuk berdarah di Libanon kini makin rumit karena Amal,
pasukan sukarela golongan Syi'ah, ikut bergerak dari arah
selatan Beirut. Mereka terlihat menggunakan kedok hitam. Tentara
Merah Jepang, menurut surat kabar Yomiuri Shimbun juga ikut
beraksi di pihak Druz. Dalam keadaan serba tidak menentu,
Gemayel menegaskan, "yang paling penting sekarang ialah
menghentikan pertempuran."
Diakui Gemayel, kehadiran pasukan Suriah memang merepotkan. Ia
bahkan menuduh Suriah berada di balik segala pergolakan yang
membuat Libanon tambah berantakan. Meskipun begitu, Gemayel
cenderung mengatasinya lewat penyelesaian politlk dan ia
menyebut-nyebut pelimpahan kekuasaan yang lebih pantas untuk
golongan Syi'ah dan Druz.
Gemayel, yang dianggap masih bisa bertahan semata karena
dukungan AS, tampaknya semakin pasif. Benar, angkatan darat
Libanon (berkekuatan 32.000 orang), yang diandalkannya sekarang,
bukan tidak mungkin akan muncul sebagai kekuatan paling tangguh,
kelak. Namun, selagi mereka dicurigai mewakili satu kelompok
tertentu saja, golongan Kristen umpamanya, selama itu pula
diragukan peran dan potensinya sebagai faktor pemersatu.
Apalagi, pemerintah pusat tidak kuat -- setidaknya karena
Gemayel tetap dipandang hanya mewakili kepentingan Kristen
Falangis.
Jadi, tidak heran jika pemimpin Druz, Walid Jumblatt, segera
memanfaatkan "kekosongan" yang ditinggalkan Israel. Kini malah
dikhawatirkan, unsur-unsur yang tidak langsung mendukung Druz
tiba-tiba berhasil menggalang persatuan. Jika ini kesampaian,
maka kejatuhan Gemayel sudah bisa diramalkan. Bukankah Jumblatt
(lihat: Sebelum Pecah Perang Saudara) sudah mengingatkan
kemungkinan terjadinya perang saudara?
Yang tidak kurang mengerikan dari perang saudara memang sudah
terjadi -- hanya dalam tempo lima hari sesudah pasukan Israel
bergerak ke selatan, awal September. Diperkuat pasukan tank
Suriah, Druz melancarkan gerakan pembersihan di Kota Bhamdoun
yang terletak di jalan raya Beirut-Damaskus. Di sini, menurut
laporan Goskun Aral, juru potret Newsweek, lebih kurang 300
mayat bergelimpangan di jalan-jalan. Sebagian mayat menunjukkan
tanda-tanda diseret keliling kota.
Sementara itu, tersiar pula desas-desus tentang pembantaian di
Libanon. Disebut-sebut 450 orang tewas, dan 1.000 luka-luka.
Akibat berita itu, ribuan orang jadi panik dan meninggalkan desa
mereka, baik Druz ataupun Kristen Falangis.
Libanon adalah negeri yang selalu mengandung 1001 kemungkinan.
Sesudah Druz "diduga" melakukan pembantaian, Ahad lalu,
berlangsung upacara berkabung di kamp pengungsi Sabra dan
Shatila di Beirut Barat. Sehelai bendera hitam dikibarkan, 500
orang berkumpul di sekeliling kubur massal, tempat sekitar 300
orang Palestina dan Libanon terbantai di tangan Falangis dan
tentara Israel, setahun yang lalu. Teror pembunuhan tiga hari
berturut-turut yang menelan korban sekitar 1000 orang itu masih
lekat dalam ingatan mereka. Di pihak lain, Falangis, yang masih
terlibat pembantaian Sabra dan Shatila, kini justru mengimbau
sebuah komite internasional untuk menyelidiki pembunuhan orang
Kristen yang dilakukan para Druz, di beberapa desa, dua pekan
ialu.
Sementara hiruk-pikuk pembantaian dan dentuman roket
bersahut-sahutan, pemimpin PLO Yasser Arafat menyusup ke
Tripoli, basis PLO di Libanon, Sabtu silam. Kehadirannya di
sana diduga erat kaitannya dengan pergolakan Libanon dan
keterlibatan PLO.
Kini di AS juga sedang dipermasalahkan: Apakah tentara Amerika
menghadapi situasi permusuhan di Libanon? Apakah penempatan
tentara semacam itu tidak perlu mendapat dukungan Kongres? Pro
dan kontra ramai juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini