Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Apa Dampak Gencatan Senjata Israel-Hamas

Hamas dan Israel menyepakati gencatan senjata sementara. Kampanye boikot Israel belum akan menghentikan perang.

26 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG dimulainya gencatan senjata antara Israel dan Hamas pada Jumat, 24 November lalu, rombongan pengungsi dan pasien yang dievakuasi dari Rumah Sakit Indonesia di kawasan Bayt Lahiya, sekitar tiga kilometer dari perbatasan utara Palestina dan Israel, telah tiba di Jalur Gaza selatan. Mereka kemudian tinggal di dua bangunan sekolah di dekat Rumah Sakit Eropa di Khan Yunis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Alhamdulillah, kami baik-baik saja. Kami sudah dievakuasi ke selatan,” kata Fikri Rofiul Haq, relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), pada Kamis sore, 23 November lalu. “Kami sebenarnya memutuskan sampai napas terakhir berada di Rumah Sakit Indonesia di Gaza untuk dapat membantu rakyat Palestina. Sekarang sudah tak ada lagi orang di sana. Pengungsi tak ada, dokter enggak ada. Korban luka-luka tak ada.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fikri adalah satu dari tiga relawan yang putus kontak sejak 11 November lalu. Mereka selama ini berada di sekitar Rumah Sakit Indonesia. Menurut Fikri, sejak saat itu jaringan Internet di sana putus, listrik padam, dan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membombardir kawasan tersebut.

Pada Senin, 20 November lalu, tank-tank IDF mengepung rumah sakit itu. Serangan mereka menghancurkan lantai dua rumah sakit yang dibangun dengan bantuan dana pemerintah Indonesia itu. Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza menyatakan sedikitnya 12 orang tewas dalam serangan tersebut. Israel berdalih ada markas Hamas di bawah tanah gedung itu, tapi pemerintah membantah tuduhan tersebut.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan Indonesia mengutuk sekeras-kerasnya serangan Israel ke rumah sakit tersebut. “Serangan tersebut merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum humaniter internasional. Semua negara, terutama yang memiliki hubungan dekat dengan Israel, harus menggunakan segala pengaruh dan kemampuannya untuk mendesak Israel menghentikan kekejamannya,” ujarnya melalui siaran pers dari Beijing.

Atas izin IDF, Palang Merah Palestina mulai mengevakuasi para pengungsi dan pasien dari Rumah Sakit Indonesia sejak Senin, 20 November lalu. Fikri dan relawan MER-C ikut dalam gelombang ketiga yang diungsikan pada Rabu, 22 November lalu. “Saat itu keadaan masih perang. Kami diangkut bus. Ada empat bus. Banyak juga ambulans yang mengangkut korban luka-luka, 10-20 ambulans,” tutur Fikri. “Karena situasi sangat mencekam dan orang pada takut, mereka naik berebut. Di satu bus bisa 100 orang lebih.”

Menurut Fikri, situasi di selatan ini jauh lebih aman. Tak terdengar ada serangan Israel seperti saat dia masih berada di utara. Stok makanan cukup memadai, tapi air masih langka karena mesin-mesin penjernih air belum bisa beroperasi penuh lantaran keterbatasan bahan bakar. “Gencatan senjata sudah berlaku pukul 7 pagi tadi. Sampai pukul 12 ini, saya tak mendengar serangan-serangan kembali,” ucapnya pada Jumat, 24 November lalu.

Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata sementara selama empat hari yang dimediasi Qatar pada Kamis, 23 November lalu. Dalam kesepakatan itu, Hamas akan membebaskan 50 dari 240 orang yang mereka tawan saat menyerang Israel pada 7 Oktober lalu. Adapun Israel akan melepas 150 tawanan Palestina. Selama periode itu, perang dan pergerakan pasukan akan berhenti dan lebih banyak bantuan kemanusiaan diizinkan masuk Gaza, termasuk bahan bakar, yang sebelumnya dilarang Israel.

Ibnu Burdah, guru besar kajian Timur Tengah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, menilai kesepakatan tersebut lebih menguntungkan Israel. “Posisi Hamas terlihat sangat lemah dalam perjanjian ini karena posisi Hamas sudah sangat terdesak. Dia bisa bernapas itu sudah suatu hal yang bagus, apalagi sampai empat hari,” katanya, Kamis, 23 November lalu.

Menurut Ibnu, Israel punya dua tujuan dalam perang ini, yakni menghancurkan Hamas dan membebaskan tawanan. Dengan gencatan senjata itu, Israel bisa mencapai tujuan kedua. “Sementara tujuan pertama tidak gagal karena dalam perjanjian itu bukan Israel yang mundur dari Gaza. Ini hanya penghentian perang sementara,” ucapnya.

Ibnu memperkirakan perang ini masih akan berlangsung lama dan baru berhenti bila ada perubahan sikap Israel. Kampanye boikot produk Israel di berbagai negara memang marak, tapi tak akan banyak berpengaruh. Menurut dia, kampanye boikot pengiriman senjata dan bantuan militer ke Israel mungkin lebih berpengaruh. “Saya kira yang lebih konkret itu boikot pengiriman senjata. Cuma, persoalannya, yang mengusulkan ini kan yang paling bersemangat Iran. Arab Saudi juga berteriak. Saudi ada pergeseran dari sikap awal, kini lebih lantang,” ujarnya.

Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman meminta semua negara menolak pemindahan paksa warga Palestina dan menghentikan ekspor senjata ke Israel. “Kami menuntut penghentian segera operasi militer Israel di Gaza,” tutur Salman, seperti dikutip Al Arabiya, dalam Konferensi Tingkat Tinggi BRICS, organisasi kerja sama internasional yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, pada Rabu, 22 November lalu.

Embargo senjata juga digaungkan sejumlah serikat buruh di berbagai negara setelah serikat-serikat buruh Palestina berseru agar semua serikat buruh di seluruh dunia berusaha menghentikan pengiriman senjata ke Israel. “Ketika Israel meningkatkan kampanye militernya, serikat buruh Palestina berseru kepada rekan-rekan kami di dunia dan semua orang yang mempunyai hati nurani untuk mengakhiri segala bentuk keterlibatan dalam kejahatan Israel. Yang paling mendesak adalah menghentikan perdagangan senjata dengan Israel serta semua pendanaan dan penelitian militer,” kata koalisi serikat buruh Palestina dalam pernyataannya pada 16 Oktober lalu.

Yang paling mencuat adalah ketika ratusan demonstran berunjuk rasa di Pelabuhan Oakland, California, Amerika Serikat, pada awal November lalu. Tiga pengunjuk rasa mengikat diri di tangga Cape Orlando, kapal yang diduga membawa pasokan militer ke Israel. Demonstrasi ini membuat keberangkatan kapal tertunda selama sembilan jam.

Tapi, Ibnu Burdah menambahkan, embargo senjata ini tidak mungkin efektif. Sebab, Israel termasuk negara industri senjata yang mampu menghasilkan senjata sendiri dan bahkan mengekspornya. Riset dan pengembangan senjata Israel, seperti rudal dan laser pertahanan, diperkirakan sudah maju dan beberapa digunakan dalam perang di Gaza kali ini. “Saya kira Israel butuh juga perang ini. Itu artinya Gaza menjadi semacam laboratorium untuk menguji senjata baru. Dan biasanya, setelah perang ini dan senjata baru digunakan, pemesanannya tinggi, kayak promosi begitu,” tuturnya.

Ibnu mengatakan perang ini akan berakhir, tergantung sikap Amerika Serikat. Amerika adalah pemasok senjata dan bantuan militer terbesar ke Israel. “Kuncinya saya kira adalah perubahan pengambil kebijakan di Washington, pemimpin Amerika. Ada pergeseran sikap. Saya kira itu baru akan berpengaruh,” ujarnya.

Omar Barghouti, pendiri gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) terhadap Isael, menilai dunia perlu membangun kekuatan masyarakat yang cukup untuk membuat pembuat kebijakan mengubah kebijakannya. “Hukum internasional dan hak asasi manusia universal memang diperlukan, namun tidak cukup. Lembaga dan kekuatan masyarakat selalu diperlukan agar alat-alat tersebut dapat mempengaruhi perubahan kebijakan,” katanya.

Menurut Barghouti, gerakan BDS menyerukan peningkatan mobilisasi global untuk menghentikan genosida yang sedang berlangsung, menerapkan gencatan senjata permanen, mencabut pengepungan mematikan agar barang dan jasa penting dapat masuk ke Gaza tanpa hambatan, dan memberikan perlindungan PBB terhadap warga Palestina di mana pun sebagai langkah pertama. “Namun, untuk mencapai hal tersebut, kita perlu memaksimalkan tekanan pada pemerintah yang lebih bersahabat terlebih dahulu untuk menjatuhkan sanksi yang tepat sasaran dan sah terhadap Israel dan yang paling penting adalah embargo keamanan militer yang komprehensif. Kita perlu mengajak lebih banyak negara untuk menyerukan pengusiran/penangguhan dari forum internasional seperti yang dilakukan terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan," kata dia.

Kami, kata Barghouti, juga perlu mekan negara-negara anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC) agar pengadilan tersebut segera mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi para pemimpin Israel yang terlibat dalam genosida guna membantu menghentikannya, seperti dulu dituntut oleh Afrika Selatan. “Untuk meningkatkan tekanan, BDS menyerukan peningkatan boikot strategis dan divestasi terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam apartheid dan genosida Israel dan memaksimalkan upaya besar serikat pekerja dalam aksi damai Block the Boat (pemboikotan kapal kargo tujuan Israel) untuk mengganggu pengiriman senjata ke Israel dan solidaritas efektif serupa," ujarnya.

Gencatan senjata ini sedikit-banyak akan memberi jeda kehidupan bagi masyarakat di Gaza. Sekitar 200 truk pengangkut bantuan kemanusiaan dan bahan bakar dilaporkan telah masuk ke Gaza. Namun perang ini belum selesai. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan perang belum berakhir hingga tujuan perang selesai, antara lain bebasnya semua tawanan dan kehancuran Hamas. “Untuk saat ini, kami tidak tahu besok bagaimana. Jangankan satu jam, lima menit kemudian, kami tidak tahu keadaannya bagaimana,” kata Fikri Rofiul Haq.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jeda di Gaza". Artikel ini telah diperbarui pada 28 November 2023.

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus