Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Indonesia meluncurkan SVBI dan SUVBI.
Lelang perdana SVBI dan SUVBI memberikan optimisme.
Pengaruh dua instrumen baru BI pada rupiah masih dipertanyakan.
BANK Indonesia meluncurkan dua instrumen baru untuk menjaga nilai rupiah di tengah gejolak pasar global: Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI), yang masing-masing mulai dilelang pekan lalu dan pada 28 November pekan ini. Dus, BI kini punya tiga alat baru. Sebelumnya, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) meluncur ke pasar 15 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana efektivitas instrumen-instrumen ini? Capaian SRBI yang lebih dulu meluncur mungkin dapat memberikan sedikit gambaran. Agar SRBI benar-benar bisa memperkuat nilai rupiah, ada satu kondisi yang sebetulnya harus tercapai, yakni banyak pemodal asing membawa devisa dari luar untuk membeli SRBI sehingga pasokan dolar di dalam negeri bertambah. Kurs rupiah bisa lebih kuat. Begitu teorinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, sejauh ini SRBI malah lebih banyak dibeli perbankan dan lembaga keuangan dalam negeri. Hingga 21 November 2023, BI sudah melelang SRBI senilai Rp 168,8 triliun. Dari jumlah itu, hanya 16,1 persen yang merupakan duit milik asing. Tak banyak devisa masuk ke instrumen ini. Justru dana dalam negeri yang lebih banyak tersedot sehingga likuiditas rupiah makin ketat.
Ada satu efek samping yang perlu kita cermati jika BI menyedot likuiditas rupiah lewat SRBI dalam jumlah yang makin besar. Alih-alih menyalurkan dana menjadi kredit, perbankan akan lebih gemar melemparkan dananya ke SRBI. Maklum, ini instrumen tanpa risiko, likuid alias mudah dicairkan, imbal hasilnya relatif menarik pula. Walhasil, ekspansi kredit perbankan berisiko melambat.
Bunga kredit juga berisiko meningkat jika likuiditas ketat. Ujungnya, sedotan likuiditas melalui SRBI akan berefek seperti rem pada pertumbuhan ekonomi, tak ada bedanya dengan efek kenaikan suku bunga rujukan BI.
Mungkin efek itu yang sebenarnya diinginkan BI dengan menerbitkan SRBI. Tanpa menaikkan bunga rujukan, BI bisa menjalankan kebijakan moneter yang sangat kontraktif.
Itulah yang terjadi pekan lalu. Sidang Dewan Gubernur BI memutuskan tetap menahan bunga rujukan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada angka 6 persen.
Di sisi lain, sejauh ini pergerakan nilai rupiah tidak banyak terpengaruh oleh sedotan likuiditas lewat SRBI. Naik-turunnya kurs rupiah tetap lebih banyak terpengaruh oleh gejolak pasar global, terutama perkiraan arah pergerakan bunga The Federal Reserve.
Untuk mengatasi kekurangan itu, BI meluncurkan SVBI dan SUVBI. Lewat instrumen ini, BI berpotensi menyedot likuiditas dolar. Harapannya, pasokan dolar di dalam negeri berlimpah, cadangan devisa pun menguat. Efeknya secara langsung bisa menguatkan rupiah.
Dalam lelang perdana, pasar cukup antusias memburu SVBI. Nilai tawaran yang masuk mencapai US$ 266,5 juta, lebih besar dari target indikatif BI sebesar US$ 200 juta atau terjadi oversubscribed. BI akhirnya menjual SVBI dalam lelang perdana itu senilai US$ 236,5 juta.
Tentu instrumen ini akan efektif menguatkan rupiah jika likuiditas dolar yang masuk berasal dari luar negeri. Bisa saja pemiliknya lembaga investasi asing. Namun bagus juga jika devisa itu milik pengusaha Indonesia yang selama ini lebih suka menyimpan devisa hasil ekspor di luar negeri.
Siapa pun pemiliknya, pasokan dolar yang berlimpah di dalam negeri akan mampu menyokong stabilitas kurs rupiah. Ini yang harus kita cermati, bagaimana nanti hasil lelang SVBI dan SUVBI pada pekan-pekan mendatang.
Namun, sebagai instrumen penjaga rupiah, baik SVBI maupun SUVBI punya satu kelemahan: risiko pasar cukup besar. Ini instrumen jangka pendek, tenornya cuma 1 bulan hingga yang terpanjang 12 bulan. Instrumen ini juga sangat likuid, pemiliknya bisa menjualnya di pasar sekunder kapan saja. Devisa yang parkir di instrumen ini adalah hot money, bisa masuk atau keluar dengan cepat.
Untuk menahan hot money jika pasar global bergejolak kuat, BI harus memberi imbal hasil tinggi yang menggiurkan setiap kali menawarkan SVBI. Sementara itu, di pasar sekunder, harganya akan jatuh. Itulah risiko yang harus kita terima jika bank sentral makin banyak menerbitkan instrumen likuid berjangka pendek demi menjaga rupiah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menanti Manjurnya Instrumen Penjaga Rupiah"